Kasus sengketa tanah di Dago Elos, Bandung, kembali menjadi perhatian setelah Muller bersaudara, keturunan keluarga Belanda, serta  pelakui lainnya Jo Budi Hartanto dan seluruh Kroni PT Dago Inti Graha mengklaim kepemilikan atas tanah seluas 6,9 hektare di kawasan tersebut. Berbekal *eigendom verponding*, sertifikat peninggalan era kolonial, mereka mengajukan kepemilikan atas lahan yang dihuni oleh warga lokal sejak lama.
Menurut ahli waris Muller, klaim ini sah berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Cimahi yang menetapkan mereka sebagai pewaris pada 2013. Namun, warga Dago Elos tidak tinggal diam. Mereka telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka selama bertahun-tahun. Kasus ini kini sedang berproses melalui jalur hukum sebagai bentuk perlawanan warga terhadap klaim Muller bersaudara.
Salah seorang warga yang terdampak, Pak Iwan, menjelaskan bagaimana warga bersatu dan mengambil langkah hukum untuk mempertahankan hak atas tanah tersebut. "Kami, warga yang terkena dampak, sudah sepakat untuk memperjuangkan hak kami atas tanah ini melalui jalur hukum. Kami berusaha keras agar proses ini berkeadilan," ujar Pak Iwan dalam wawancara (02/11/24) . Baginya, tanah di Dago Elos bukan sekadar lahan, tetapi juga bagian dari sejarah dan identitas mereka sebagai komunitas yang telah tinggal di sana sejak lama.
Perjuangan warga Dago Elos dalam mempertahankan tanah leluhur mereka ini adalah gambaran nyata dari konflik agraria yang masih sering terjadi di Indonesia. Sengketa tanah ini memperlihatkan bahwa di tengah tuntutan hukum yang kerap berpihak pada kepentingan kelompok tertentu, masyarakat lokal masih harus memperjuangkan hak-haknya secara mandiri. Kasus Dago Elos juga mengingatkan kita akan pentingnya pembaruan hukum agraria yang berpihak pada keadilan dan hak warga, terutama bagi mereka yang telah lama menghuni dan bergantung pada tanah leluhur mereka.