Lima lukisan karya eks penyanyi cilik, Sari Koeswoyo yang digelar tunggal, seperti menumpahkan keresahan perjalanan spiritual sang pelukisnya atas tanya, Lakonmu Apa...?Â
Lagu-lagu anak-anak di era 1970-1980an itu seperti teriang kembali, saat aku ketemu dengan eks penyanyi cilik, Sari Koeswoyo, artis legendaris keluarga Koeswoyo.
Cerita indah masa kecil dengan lantunan lagu-lagu para penyanyi cilik keluarga Koeswoyo itu, selama ini cutel. Putus. Seperti tahun-tahun yang hilang. Puluhan tahun cerita itu lenyap, seiring kiprah kehidupannya yang jarang disorot media.
Lalu "ujug-ujug" bertemu perempuan sepupu Chicha dan Helen Koeswoyo, sesama penyanyi cilik di "masa emas" silam. Rasanya "bling-bling" bisa ketemu artis idola masa kecil.
Itu mungkin dirasakan juga teman-teman kompasianer Komunitas Traveler Kompasiana [Koteka] yang menginisiasi kunjungan ke acara Gelar Karya Tunggal Sari Koeswoyo itu.
Di bawah ini video Reels acara kunjungan Koteka di acara Sari Koeswoyo.
Mendadak kisah tahun-tahun yang hilang itu seperti "nyambung" kembali. Meski dalam situasi, kondisi dan"lakon" yang berbeda. Ya berbeda. Perempuan usia kepala 5 itu bukan tampil bocah lagi. Tapi tampil sebagai sosok perempuan dengan kematangan hidup.Â
"Lakon" yang dperankannya saat ini adalah seorang seniman, pelukis. Paling tidak saat Mbak Sari ada di ruang garasi, diantara lukisannya.
"Wayang Sari" Halusinasi Sari Koeswoyo
Ruang Garasi milik Mbak Kana Fuddy Prakoso, sohib sekaligus sosok yang dianggap "guru" oleh Mbak Sari menjadi panggung lukisan-lukisan spiritual Sari Koeswoyo. Di ruang yang tak terlalu luas itu, tergantung 5 lukisan di kanvas berukuran 120 x 140 cm dan satu frame berukuran lumayan besar berisi beragam lukisan ukuran kecil.
Menikmati 5 lukisan yang merupakan rangkaian tema kontemplatif "Lakonmu Apa...?" itu, sebagai penikmat, aku merasa diajak merenungkan, berpikir kembali misteri-misteri kehidupan dari kacamata "kaum" feminis.
Secara kasat mata memang lukisan didominasi sosok perempuan yang dipersonifikasikan dalam sosok wayang imajinatif. Imajinatif, karena goresan bnetuk wayang dalam lukisan tidak mempredikatkan pada sosok tokoh wayang tertentu. Sosok-sosok yang seperti lazim kita kenal dalam kisah pewayangan Mahabarata dan Ramayana.
Sosok wayang feminis itu, "pyuur" sosok imajinatif. Kalau istilahnya Mbak Sari, sosok "halu/ halusinasi" yang ada dalam ruang rasa dan renungnya, saat mencipta lukisan.
Itu sebabnya penikmat dibebaskan untuk menginterpretasikan sosok wayang lukisannya itu, termasuk makna yang tersirat di dalamnya.
Aku pun awalnya sempat "terkecoh" saat melihat sosok wayang berkulit hitam dalam lukisan berjudul "Wahyu Temurun". Aku kira "Yudhistira" sosok sulung Pandawa Lima dalam wayang purwa. Baru "ngeh" setelah mengamati, bahwa wayang itu terlihat lebih feminis.
Atau mungkin penikmat juga akan bertanya-tanya dan menduga-duga saat melihat lukisan naga bermahkota di lukisan berjudul "Sudah Waktunya". Naga seperti Antaboga, ular raksasa yang dikenal dalam mitologi Jawa dan Bali.
Aku malah teringat dengan sosok naga yang berperang melawan Bima, dalam lakon Bima Suci. Kisah yang kulihat di televisi dalam pentas wayang orang dulu itu. Masih terekam baik di dalam otakku.
"Orang mau bilang ini Antaboga, boleh. Mau bilang ini naga lainnya, boleh. Bebas saja," kata Mbak Sari saat menjelaskan satu-persatu karya lukisannya itu.
Ya, sosok-sosok dalam lukisan itu memang tak mewakili tokoh pakem pewayangan, namun mewakili sosok-sosok imajinatif "halusinasi" pelukisnya, Mbak Sari. Menabrak pakem wayang namun tidak lari dari pakem wayang, seperti pakem dari bentuk-bentuk wayang. Mbak Sari lebih suka menyebutnya "Wayang Sari". Wayang ala Sari.
5 Lukisan, Lakonmu Apa...?
Seperti yang kutulis sebelumnya, bahwa 5 lukisan merupakan rangkaian tema "Lakonmu Apa...?"Â
Bagi Sari pertanyaan dalam tema "Lakonmu Apa...?" sebenarnya adalah semacam pengingat akan peran masing-masing individu.
"Cuma pengingat pada kita. Kita tahu gak seeh peran kita saat ini," jelasnya.
5 lukisan itu, menurut Mbak Sari sebenarnya tidak menutup kemungkinan nantinya akan bertambah dengan lukisan lainnya. Keenam, ketujuh dan seterusnya. Namun mari kita mengenal lebih jauh apa makna kelima lukisan itu.
Mari kita mengenal apa sebenarnya yang dimaksud sang pelukisnya, dengan "Lakonmu Apa...?" ini.
Menurut Mbak Sari, karya-karya lukisan yang digelar ini sebenarnya merupakan cerminan perjalanan spiritual yang digoreskan ke dalam kanvas dalam bentuk "Wayangnya Sari" yang menabrak pakem wayang namun tidak lari dari pakem wayang.
Mbak Sari mencoba memanusiakan wayang dan mewayangkan manusia dari sisi spiritual.
Kelima lukisan itu terbagi dalam 5 judul lukisan yakni Mbok Mbik, Bukan Wani Di Tata [perEMPUan], Sudah Waktunya, Portal Kehidupan dan Wahyu Temurun.
Dengan ragam warna, tone berbeda-beda, setiap lukisan "bercerita" tentang sisi spiritualitas pribadi pelukisnya.
Penikmat bebas menginterpretasikan makna di dalam lukisan sesuai kacamata pemahaman dan spiritualitas subjektif. Namun Mbak Sari berkenan memberikan gambaran kontemplasinya terkait makna dari setiap lukisan.
Aku coba uraikan satu-satu ya. Sebelum kuuraikan satu-satu, bolrhlah Simak video di bawah ini terkait penjelasan lukisannya oleh Sari KoeswoyoÂ
- Mbok Mbik [Mbok Emban]
Lukisan ini menampilkan dua sosok perempuan. Saling berhadapan dengan busana cenderung gelap seperti busana khas daerah. Berlatar belakang warna cerah.
Sosok itu ternyata adalah Emban, atau lazimnya dipanggil kesayangan dengan sebutan Mbok Mbik. Ini juga sosok perempuan hebat, di mana perempuan-perempuan pengasuh itu tutut berperan dalam mengasuh orang-orang yang pada kemudian hari akan menjadi orang yang hebat. Lebih hebat daripada Mbok Embannya sendiri.
- Bukan Wani Di Tata [perEMPUan]
Lukisan dengan objek wayang Sari ini digambarkan sosok perempuan dengan tangan-tangan menjulur di sekelilingnya. Seperti gambaran tangan yang ingin "cawe-cawe" mengatur Perempuan.
Mbak Sari lebih suka penyebutan istilah wanita dengan kata perempuan.
Btw penulisan judul "perEMPUan" dengan penekanan pada EMPU menyiratkan makna pentingnya perempuan. Mengingatkanku pada dosen yang ngajar filsatat Ketuhanan dulu, Alm Prof. Damarjati Supadjar. Beliau suka menyebut dengan kata perEMPUan.
Dalam lukisan itu, Mbak Sari ingin menunjukkan sosok perempuan yang bukan perempuan yang bisa diatur. Bukan dalam konotasi negatif. Perempuan bisa mengatur dirinya sendiri, karena Perempuan punya nalar dan hati yang lebih kuat.
Mbak Sari mendeskripsikan, saat sosok perempuan dalam situasi melambung tinggi atau pun saat jatuh, sering kali dituding-tuding dan diatur atur bahwa perempuan harus begini, harus begitu.
"Saat perempuan sudah mengerti siapa dirinya, tak perlu dia dibilang lagi bahwa dia suaminya A, suaminya B, tapi saya adalah saya,"Â terangnya.
- Sudah Waktunya
Lukisan ini menampilkan goresan naga bermahkota dengan selendang warna kuning. "Wis Wayahe" atau "Sudah Waktunya" dipilih menjadi judul lukisan ini.
Makna yang terkandung dalam goresan itu, menurut Mbak Sari, adanya keselarasan dan keseimbangan di dalam kehidupan ini.
"Bahwa harus ada api yang bisa menghangatkan, tapi jangan sampai kobong gede-gedean karena bisa membakar dan mematikan. Juga harus ada air yang merupakan sumber kehidupan tapi tidak boleh sampai menjadi air bah yang bisa menghilangkan banyak hal,"Â jelasnya.
- Portal Kehidupan
Lukisan ini tetap menampilkan feminis, Perempuan dalam sosok wayang. Dengan tone kemerahan, lukisan berjudul Portal Kehidupan ini menjunjung tinggi nilai Perempuan sebagai "jalan keluar" bagi adanya sebuah kehidupan.
"Makhluk yang bernyawa kalau mau hidup harus melalui pintu ini. Dan pintu ini hanya dimiliki para perempuan," jelasnya.
Jadi melalui lukisan ini, Mbak Sari mau menceritakan bahwa tanpa perempuan gak ada yang bisa hidup.
- Wahyu Temurun
Ini lukisan yang menurut Mbak Sari paling lama proses pembuatannya. Sempat berkali-kali "dilabur". Ganti ulang.
Lukisan dengan objek utama tetap sosok Perempuan Wayang Sari berkulit legam ini bercerita bagaimana seorang nenek mendapatkan wahyu dari Yang Maha Kuasa untuk memilih. Memilih siapa yang akan memimpin keluarga besarnya, negaranya atau kerajaannya.
Di dalam lukisan juga banyak simbol-simbol bermakna kepemimpinan. Seyogyanya sang pemimpin itu harus seperti apa.
Pemimpin harus bisa menjadi penjaga, penjaga waktu, berpengetahuan budaya, rela berkorban dan lain sebagainya.
Cukup dalam makna spiritual setiap lukisan yang digoreskan Mbak Sari. Sosok perempuan yang menjadi subjek utama kontemplasinya seakan menjadi pengantar pesan, bahwa "jangan remehkan peran perempuan". Perempuan itu punya lakon yang vital dalam setiap pentas kehidupan.
Dan saya sangat setuju pesan ini.
Sukses karyanya Mbak Sari!
Akhir kata, untuk yang ingin menikmati lukisan "Lakonmu Apa...? Silakan datang ya.
Gelar Karya Tunggal Sari Koeswoyo.
Tanggal 20 -- 31 Agustus 2023
Tempat: Ruang Garasi, Jl Gandaria IV/2 Jakarta Selatan.
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H