"Kopi itu  hangat, namun akan menjadi dingin, jika kamu mengabaikannya."
 Bangunan kedai itu benar-benar mengesankan  nuansa "lama". Berpintu "ciantang" atau pintu kayu berlipat  bercat biru, khas digunakan dalam arsitektur toko-toko dan warung di masa kolonial Hindia Belanda.
Sekilas orang mungkin mengira itu toko klontong atau toko peracik obat tradisional. Bukan. Itu adalah penampakan toko yang sudah beralih fungsi menjadi sebuah kedai kopi. Produsen kopi bubuk, tepatnya. Kedai yang awalnya toko klontong dan beroperasi sejak tahun 1925.
Jika Anda sudah mendengar nama Kopi Bah Sipit, itulah "sosok" kedainya. Sederhana dan setia "membawa" nuansa zaman keemasan di era kolonial. Ya, kedai itu eksis sejak sebelum "Sumpah Pemuda" ditulis dan dibacakan.Â
Bisa jadi para pemuda di Buitenzorg masa itu, ada yang pernah mampir di kedai itu, berinteraksi meski mungkin tak sepenuhnya bebas di masa penjajahan. Siapa tau?
Kopi "Mewah" di Antara Kita
"Biarkan kopi apa adanya, setiap campuran akan merusak rasa nikmatnya."
Tak dipungkiri, kopi menjadi teman sarana sebuah komunikasi antar personal. Dari bilik-bilik kamar, teras rumah, pos ronda hingga ruang-ruang publik.
Kopi menjadi sarana nikmat obrolan santai, sampai diskusi serius. Membayangkan masa hitam putih zaman kemerdekaan. Kepulan asap air kopi mendidih, kepulan asap rokok, menjadi teman setia para pejuang di "ruang-ruang diskusi bawah tanah".
Bayanganku, mungkin banyak peran kedai kopi di Bogor, dan di seluruh nusantara. Termasuk Kedai Kopi Tua, Bah Sipit. Aroma produk-produk kopinya berasa mewah menyeruak diantara ruang privat dan ruang sosial.