Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sehari, Menjadi "Baduy"

27 Juli 2023   01:12 Diperbarui: 27 Juli 2023   02:34 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di jembatan Akar Baduy. Acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan

 

Mencecap rasa masakan keseharian perempuan Baduy yang sederhana. Melipat jarak melintasi hutan dengan cara orang-orang bersahaja. Berasa, sehari menjadi orang "Baduy".


Jika teman-teman menonton video Reels Instagramku di atas, itulah gambaran singkat saat acara bareng teman-teman kompasianer "sehari" di Baduy. Acara "KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy 2023" yang digelar Komunitas KPK dan Koteka Kompasiana, pada Sabtu 22 Juli 2023 lalu. 

Gak tepat "sehari" seeh, paling tidak dari pagi, saat datang ketemu Aojan, nama panggilan dari Pulung teman Baduy Luar yang kukenal setahun lalu. Aojanlah yang menjemput di Stasiun Rangkas Bitung sekaligus menjadi pemandu selama kami berkegiatan di Baduy, hingga kepulangan sebelum waktu mahgrib.

Rencana "Saba Baduy" ajakin teman-teman komunitas, sebenarnya sudah kupendam lama. Terhitung sejak aku datang ke desa Suku Baduy Luar, Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten, tahun lalu. Aku datang, saat itu ada perayaan Hari Anak Nasional [HAN] Baduy 2022. Perayaan itu dilakukan nasional oleh pemerintah pusat. HAN Baduy dipusatkan di kampung Kadu Ketug, Baduy Luar kawasan Ciboleger.

Perayaan dilakukan hybrid secara nasional bareng dengan anak-anak suku-suku adat nusantara lainnya, seperti anak-anak Suku Dayak Meratus Kalimantan, Suku Anak Dalam Jambi, Suku Mentawai dan lain-lain.

Dan gak kebetulan bahwa aku dan teman-teman, datang ke Baduy tanggal 22 Juli 2023 lalu itu, terhitung sehari sebelum tanggal Hari Anak Nasional yakni 23 Juli.

Kembali ke cerita "Baduy Trip". Rombongan trip diikuti 9 orang dari rencana awal 10 orang. "Last minute" satu peserta terpaksa batal, karena "tak kekejar waktu" kereta.

Ngetrip ke Baduy itu, jika menggunakan kendaraan umum memang mesti diperhitungkan, karena lumayan jauh dari Jakarta serta sarana transportasi ke arah Baduy terbatas. Lebih mudah dan hemat kalau bawa kendaraan sendiri hingga ke Terminal Ciboleger.

Lokasi Baduy Luar, tak jauh dari terminal ini. Dari titik inilah, biasanya digunakan oleh pengunjung/ wisatawan "start" ke lokasi Gazebo, Jembatan Akar, dan ke Baduy Dalam. Titik ini hanya salah satu saja, banyak titik ain ke Baduy Dalam dengan jarak dan waktu tempuh berbeda-beda.

Nah karena acara kali ini hanya One Day Trip, alias tidak menginap, perhitungan waktu menjadi sangat penting. Mengingat kami datang dari domisili yang berbeda. Bahkan, Bang Aswi semangat 45 datang dari Bandung. Lagian jadwal kegiatan padat. "Narsis" foto-foto juga makan waktu, harus dihitung hahaha.  Pentingnya lagi, jangan sampai ketinggalan Commuterline di Stasiun Rangkas Bitung hehee.

Aku sendiri dari Bogor. Mesti berangkat pagi-pagi, abis subuh, dari Stasiun Bogor. Pulangnya pun sampai rumah di Bogor, jam 00.30 an WIB atau keesokan harinya. Yaa begitu, perjalanan di moda transportasinya total antara 10 -- 11 an jam.

Forget it! Karena terbayar dengan sebuah pengalaman, renungan, pembelajaran dan entah apalagi dari kehidupan masyarakat dan alam Baduy. Itulah sebabnya aku tak bosan datang kembali menengok kampung ini. Rekomen aja buat teman-teman untuk melihat kampung Baduy, meski cuma Baduy Luar.

Oke. Lanjut cerita tripnya yes. Semoga teman-teman berkenan membacanya. Cekidot.

Acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan
Acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan

Menu "Asin", Kesederhanaan Baduy


Nah videoku di atas itu agenda acara pertama, yakni experience makanan keseharian orang Baduy.

Angkot Kang Cecep, teman Aojan yang kami carter dari Stasiun Rangkas Bitung - Terminal Ciboleger, sampai pas tengah hari, waktu makan siang. Setelah foto-foto sejenak dan jajan di minimarket setempat, lanjut jalan kaki ke rumah Aojan di Kampung Kadu Ketug 3.

Membayar tiket masuk Wisata Baduy @Rp. 5000 saja. Di kampung Baduy Luar [apalagi Baduy Dalam] sarana transportasi hanya satu, kaki. Ga boleh ada kendaraan.

Di Terminal Ciboleger saat acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan
Di Terminal Ciboleger saat acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan

Menyusuri jalan tanah, berbatu melewati rumah-rumah khas Baduy yang terlihat dari mata, mirip semua. Rumah panggung kayu dengan ukuran dan arsitektur mayoritas sama. Banyak teras rumah [khususnya di sepanjang jalan utama] disulap menjadi "butik". Dengan aneka ragam kain tenun Baduy, selendang, baju hitam khas Baduy, plus pernak-pernik kerajinan lainnya.

Rumah Aojan agak "ngumpet" di belakang rumah lainnya. Aku pernah tersesat, saat dulu nyari rumahnya. Tahun lalu sempat menginap semalam di rumah yang dihuni dengan orang tua istrinya, Pinah. Jadi gak heran saat Amel, Nadus dan lainnya yang terpisah dari rombobgan, karena keasyikan berfoto, bingung cari rumah Aojan. Hehehe

Perut udah lapar. Dan masakan Pinah pun disajikan di piring-piring seng. Sebelumnya aku sempatin tengok anaknya yang baru lahir bulan lalu itu. Sengaja kubawain setelan baju bayi untuk putrinya.

Menu masakan ala Baduy sekilas tak beda dengan menu keseharian kita. Khas "kampung". Cuman "serasaku" orang Baduy suka rasa asin-asin. Garam menjadi pemegang rasa. Minim bumbu masak. Meski mungkin ada sebagian yang pakai. Bayangin, gimana di Baduy Dalam ya?

Nasi putihnya, bener-bener putih. Dengan teman lauk tempe, tahu, telur, yang berasa orisinil. Seonggok garam, disediakan.

"Ini kalau kurang asin," kata Aojan sambil menyodorkan sebiji benda putih padat, garam.

Makan masakan Baduy di rumah Aojan. Foto Aojan
Makan masakan Baduy di rumah Aojan. Foto Aojan
Aku senang dengan rasa tempe, tahu telurnya. Rasanya original. Kalau di rumah aku memang sukanya tempe goreng tanpa dibumbui. Agaknya itu yang banyak aku makan. Dan tentunya ... pete! Ada pete rebus dan goreng yang disediakan.

Sepertinya pete menjadi bahan konsumsi yang disukai warga Baduy kaya pohon pete di hutan. Pete sekaligus menjadi komoditi yang dijual ke pengunjung. Beberapa teman bahkan membeli untuk dibawa pulang.  Meski aromanya bikin "puyeng" bagi "hatersnya", tapi pete jadi makanan "mewah" bagi penggilanya. Hahaha

Oya, disajikan juga kopi khas Baduy plus gula aren bikinan sendiri. Kopi itu biasanya dinikmati orang Baduy menggunakan "somong" atau gelas yang dibikin dari bambu. Meski di Baduy Luar sudah banyak yang menggunakan gelas biasa.

Buat tau aja, bapaknya Aojan sering bikin sendiri. Beliau penikmat kopi dengan gigitan gula aren saat lagi "ngudut" alias merokok. Seperti yang kulihat saat berbincang-bincang malam hari, kala itu. Waktu aku menginap di rumahnya, akhir tahun lalu.

Yang jelas, aku merasakan nuansa kesederhanaan makanan ditambah suasana kampung [dalam arti sebenarnya]  itu merasuk dalam rasa hati. Mengingatkan  masa kecil dulu. Hilang beban dan carut marut pikiran. Rasa yang mungkin sulit kita peroleh di hiruk pikuk laju kompetisi kehidupan perkotaan.

Selesai menikmati "rasa" Baduy melalui makanannya, acara lanjut ke trip berikutnya. Sebelumnya belanja dulu produk Baduy. Aku beli baju hitam Baduy, gula aren. Juga beberapa teman lain. Plus pete pastinya. Hehee

Jarum jamku sudah menunjuk angka 14.00 wib, saat kami meninggalkan piring-piring makanan kami. Jembatan Akar Baduy yang popular itu menjadi tujuan berikutnya.

Makan masakan Baduy di rumah Aojan. Foto Dokpri 
Makan masakan Baduy di rumah Aojan. Foto Dokpri 
Eksotiknya Jembatan Akar Baduy 


Seperti di video atas itulah Jembatan Akar Baduy yang popular itu. Jembatan yang menjadi jalur penghubung menuju Baduy Dalam. Kami menempuh perjalanan ke jembatan eksotik itu dengan cara orang Baduy, jalan kaki. Yaiyalah lewat hutan.

Sebenarnya awalnya tujuan kami ke Gazebo, tapi kuubah ke Jembatan Akar. Itu setelah ngobrol dengan Kang Cecep, angkot berani ke Cakuem. Lokasi start terdekat menuju Jembatan Akar. "Dekat" versi orang Baduy loor. Bagi orang kota, ya tetep jauh hahaha.

Lagi pula Jembatan Akar lebih menarik bagiku. Meski sebenarnya lebih jauh dibanding Gazebo kalau ditempuh dari kampungnya Aojan. Bisa 2 jam.

Jalanan ke Cakuem, ampun deh. Jalanan beraspal turun naik rusak. Beberapa titik rusak parah. Bahkan teman-teman terpaksa turun karena "kasihan" angkotnya. Yang sesekali "gajruk" terantuk batu-batu jalan yang berserakan.

Dari Cakuem, hiking menembus hutan Baduy Luar. Hanya sedikit rumah Baduy yang kami lintasi. Seperti kata Aojan, kampung ini tak banyak rumah.

Menyusuri jalan setapak, dengan pemandangan hijau pepohonan, segar juga. Cuma jalannya turun naik. Tanjakan dan turunan. Beberapa titik lumayan wadidaw, di sisi jurang.

Jalanan tanah, gak kebayang betapa licinnya kalau hujan. Kami beruntung, hujan ridak turun hari itu. Padahal minggu-minggu sebelumnya, Aojan sudah "wanti-wanti", bahwa kalau sore hari sering hujan. Waktu itu aku bilang padanya, "Ntar situsional saja. Kalau hujan ya balik kanan."

Satu kali istirahat di teras rumah warga Baduy Luar. Lumayan bisa ambil nafas setelah meniti tanjakan. Maklum saja, biasa hikingnya di mal. Naik tanjakan tinggal naik escalator hahaha.

Sekitar sejam perjalanan sampai di Jembatan Akar. Ternyata bareng dengan rombongan wisatawan lain. Mereka menggunakan jalur yang berbeda dengan kami. Antrelah untuk foto-foto di atas jembatan ikonik Baduy itu.

Aku takjub dengan jembatan yang konon sudah digunakan se abad lalu. Tak jelas tahun pastinya.didirkan Suku Baduy.

Aku di jembatan Akar Baduy. Foto Aojan. 
Aku di jembatan Akar Baduy. Foto Aojan. 
Konstruksinya sederhana saja. Bambu-bambu Panjang ditumpuk-tumpuk lalu dijulrkan ke akar-akar pohon yang menjalar. Pohononnya besar dan tua. Anehnya meski terlihat ringkih namun kuat dan kokoh saat jembatan dilewati. Tapi tetap saja "Ngeri-ngeri sedap", liat Sungai Cisimeut di bawahnya.

Aku taksir Panjang jembatan sekira 30an meter. Sebenarnya hanya bisa dilalui satu orang. Kalau berpapasan, satu orang harus berhenti dan agak minggir sejenak. Ada untaian bambu di sisi kanan kiri, bisa sebagai pegangan. Tapi jangan diduduki ya.

Saat di jembatan, sempat melintas seorang ibu Suku Baduy yang menggendong anaknya sambil membawa kayu bakar. Juga seorang nenek Baduy yang menggunakan selendang menggendong kayu bakar. Tanpa alas kaki. Nampak mereka masih prima. Buah dari kebiasaan hidup melintasi medan hutan.

Pastinya pengalaman ke Jembatan Akar ini, menyenangkan. Jerih payah menyusuri jalanan hutan terbayar dengan pemandangan yang mempesona sekaligus melihat karya epic Suku Baduy, Jembatan Akar.

Catatan Sekkilas Tentang Baduy

Tiga kali aku ke Baduy Luar, dengan misi berbeda-beda, aku merasa menyukai kampung-kampung ini. Kampung dengan nafas hidup, mengikuti ritme adat istiadat kearifan leluhurnya. Meski di Baduy Luar tak seketat Baduy Dalam, sudah sedikit tersentuh pengaruh kehidupan luar, secara kasat materiil, namun kampung ini masih bersahaja. Tenang. Hidup dengan norma-norma adatnya.

Ada tantangan besar bagi masyarakat Baduy yakni pengaruh dunia luar. Baduy Dalam sudah teguh dengan prinsip hidup adat istiadatnya. Lokasi yang jauh dari dunia luar, memungkinkan untuk itu. Sementara Baduy Luar yang mudah diakses menghadapi tantangannya lebih besar, seiring dengan kunjungan wisatwan.

Aku berharap, modernisasi seperti "longgarnya" aturan bagi Baduy Luar seperti naik kendaraan, penggunaan gadget, dan lain-lanya tidak menimbulkan efek minus bagi kehidupan sosialnya. Berharap kearifan adatnya bisa menjadi benteng untuk tetap bertahan dengan kehidupan kearifannya.

Mungkin itu yang dikhawatirkan oleh para pemangku adat Baduy yang sempat meminta akses internet diblokir di area Baduy [Luar] belum lama ini. Buatku, itu adalah bentuk upaya mereka menjaga diri masyarakatnya.

Nah sebagai pengunjung, kita juga harus turut menjaga dong. Minimal dari sisi perilaku kta sendiri saat berkunjung ke Baduy/ wisata lainnya.

Contoh "sepele" soal sampah. Baduy sudah menjaga diri dengan tidak "nyampah". Para pengunjung mestinya juga demikian. Bertanggungjawab pada sampahnya sendiri. "Bawa sampah, bawa pulang juga." Jangan sampai preseden buruk Gunung Rinjani yang ditutup gegara banyaknya sampah terulang lagi di destinasi lain, termasuk Baduy. Masak seeh, ngakunya pecinta alam, tapi nyampah, ngerusak alam. Paradoks kan?

Dari sisi perekonomian, di Baduy, UMKM tumbuh subur. Kerajinan tas koja khas Baduy, hasil tenun, selendang tenun, gula aren, madu hutan, kopi Baduy, ikat kepala, baju khas Baduy dan lain-lain banyak dijajakan. Sebagai pengunjung kita bisa mensuportnya. Paling gampang, ya "nglarisi" membeli sesuai yang kita mau. Syukur-syukur kita bisa turut memasarkannya. Sekarang sudah jamak komoditi Baduy dipasarkan di sosmed maupun marketplace.

Bikin konten di sosmed dan tulisan tentang Baduy seperti di Kompasiana ini, juga turut membantu publikasi.

Atau kita bisa mengajarkan sesuai kemampuan kita. Apa yang kita rasa bisa bermanfaat untuk pelaku UMKM itu. Contohnya, penggunaan digital secara arif. Penggunaan sosmed untuk marketing, bikin foto produk, bikin caption produk atau apapun yang mereka minta. Nampak sepele, tapi aku pikir sangat bermanfaat untuk mereka.

Dulu aku pernah melakukannya dengan seorang kawan fotografer.  Aojan juga pernah minta diajarin cara edit video di smartphone. Cuma belum kesampaian kulakukan. Mungkin suatu hari nanti. Aku lihat di sosmednya dia terkadang posting footage video, namun belum bisa "menjahitnya".

Aku yakin, banyakk "Aojan-aojan" lain di Baduy Luar yang memiliki keinginan sama. Juga keinginan lainnya. Kalau dari cerita-cerita seeh, warga Baduy Luar bisa mengoperasikan smartphone/ berinternet juga diajarin dari orang luar/ pengunjung. Mengingat aturan adat, tak memperbolehkan bersekolah.

Praktis tak banyak peluang kerja bagi orang Baduy. Lagi pula mereka tak mengenal merantau kalau masih mau jadi orang Baduy. Peluang mereka adalah memaksimalkan potensi diri dan kampung mereka yang sesungguhnya diajarkan leluhurnya, bahwa tanah Baduy mampu  mencukupi.

Termasuk bekerja menjadi pemandu wisatawan yang berkunjung ke kampung mereka, yang sesungguhnya menarik hati "orang kota." Orang kota yang rindu pada kehidupan arif dan bersahaja ala "kampung" pada masa dulunya. Termasuk aku. Kalau kamu?

@rachmatpy 

 

Di jembatan Akar Baduy. Acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan
Di jembatan Akar Baduy. Acara KPK Gerebek & Koteka Trip Baduy pada Sabtu, 22 Juli 2023. Foto Aojan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun