Saat di jembatan, sempat melintas seorang ibu Suku Baduy yang menggendong anaknya sambil membawa kayu bakar. Juga seorang nenek Baduy yang menggunakan selendang menggendong kayu bakar. Tanpa alas kaki. Nampak mereka masih prima. Buah dari kebiasaan hidup melintasi medan hutan.
Pastinya pengalaman ke Jembatan Akar ini, menyenangkan. Jerih payah menyusuri jalanan hutan terbayar dengan pemandangan yang mempesona sekaligus melihat karya epic Suku Baduy, Jembatan Akar.
Catatan Sekkilas Tentang Baduy
Tiga kali aku ke Baduy Luar, dengan misi berbeda-beda, aku merasa menyukai kampung-kampung ini. Kampung dengan nafas hidup, mengikuti ritme adat istiadat kearifan leluhurnya. Meski di Baduy Luar tak seketat Baduy Dalam, sudah sedikit tersentuh pengaruh kehidupan luar, secara kasat materiil, namun kampung ini masih bersahaja. Tenang. Hidup dengan norma-norma adatnya.
Ada tantangan besar bagi masyarakat Baduy yakni pengaruh dunia luar. Baduy Dalam sudah teguh dengan prinsip hidup adat istiadatnya. Lokasi yang jauh dari dunia luar, memungkinkan untuk itu. Sementara Baduy Luar yang mudah diakses menghadapi tantangannya lebih besar, seiring dengan kunjungan wisatwan.
Aku berharap, modernisasi seperti "longgarnya" aturan bagi Baduy Luar seperti naik kendaraan, penggunaan gadget, dan lain-lanya tidak menimbulkan efek minus bagi kehidupan sosialnya. Berharap kearifan adatnya bisa menjadi benteng untuk tetap bertahan dengan kehidupan kearifannya.
Mungkin itu yang dikhawatirkan oleh para pemangku adat Baduy yang sempat meminta akses internet diblokir di area Baduy [Luar] belum lama ini. Buatku, itu adalah bentuk upaya mereka menjaga diri masyarakatnya.
Nah sebagai pengunjung, kita juga harus turut menjaga dong. Minimal dari sisi perilaku kta sendiri saat berkunjung ke Baduy/ wisata lainnya.
Contoh "sepele" soal sampah. Baduy sudah menjaga diri dengan tidak "nyampah". Para pengunjung mestinya juga demikian. Bertanggungjawab pada sampahnya sendiri. "Bawa sampah, bawa pulang juga." Jangan sampai preseden buruk Gunung Rinjani yang ditutup gegara banyaknya sampah terulang lagi di destinasi lain, termasuk Baduy. Masak seeh, ngakunya pecinta alam, tapi nyampah, ngerusak alam. Paradoks kan?
Dari sisi perekonomian, di Baduy, UMKM tumbuh subur. Kerajinan tas koja khas Baduy, hasil tenun, selendang tenun, gula aren, madu hutan, kopi Baduy, ikat kepala, baju khas Baduy dan lain-lain banyak dijajakan. Sebagai pengunjung kita bisa mensuportnya. Paling gampang, ya "nglarisi" membeli sesuai yang kita mau. Syukur-syukur kita bisa turut memasarkannya. Sekarang sudah jamak komoditi Baduy dipasarkan di sosmed maupun marketplace.
Bikin konten di sosmed dan tulisan tentang Baduy seperti di Kompasiana ini, juga turut membantu publikasi.