Cerita sedikit, kalau di Jawa, sego liwet seringkali menjadi bagian penting dari ritual masyarakat Jawa, seperti hajatan selamatan atau wilujengan. Sebuah ritual yang berawal dari tradisi di lingkungan keraton Solo, konon diadakan sejak jaman Mataram Islam.
Ada sisi makna penghormatan, menghargai di dalamnya. Seperti itulah ibarat teman bagiku. Bersepakat dengan makna lagu yang melukiskan persahabatan bagai kepompong. Â Meski lalu ada plesetan, "kepompong" itu adalah "kepo" dan "rempong". Ada benarnya juga hahaha.
Meski nasi liwet yang kami nikmati di acara temu kangen, beda pelengkap karena ala Sunda, namun aku bilang nasi liwet tetaplah sego liwet. Nikmat. Hehee. Â Â
Di Balik Ide Temu Kangen
Banyak momen di balik tercetusnya ide kumpul temu kangen ini. Kabar kompasianer yang sedang sakit, lama waktu tidak bertemu karena pandemi, dan utamanya karena belum lama ini kehilangan seorang teman kompasianer, Dizzman. Salah satu admin Komunitas Traveler Kompasiana/ Koteka yang aku kenal baik.
Karena sesuatu momen. Ada teman yang sakit, aku berinteraksi dengna Bang Yon Bayu, kompasianer senior. Keinginan itu muncul untuk membikin acara kecil-kecilan "mengenang Dizzman". Aku diminta "mandegani" dengan dukungan penuh dari beliau.
Karena acara "mengenang" bukan dimaksudkan untuk berbagi kesedihan, sekaigus biar lebih santai, tajuknya jadi, "Temu kangen kompasianer 2023". Manis tho?
Sengaja aku tidak menjadikannya sebagai acara komunitasku, Kompasianer Penggila Kuliner/ KPK. Tapi acara kompasiner pribadi. Pertimbanganku biar lebih mengena acara "mengenang almarhum", mewakili diri sendiri "sahabar Dizzman". Menjangkau person, tanpa bendera komunitas.
Lagian ini sponsornya person, kompasianer yang bukan pegiat komunitas. Gak enaklah. Meski beliau gak keberatan. Â Oke-oke saja. Â Meski demikian, KPK tetap sponsorin hadiah dong hehee.
Pilihan lokasi awal, aku pengennya ke destinasi di Kawasan Geopark Ciletuh, Sukabumi. Namun setelah mempertimbangkan durasi perjalanan yang terlalu lama untuk one day trip, aku pindah plane B. Apalagi aku merasa sayang dengan dana, kalau tersedot besar buat transportasi. Mending untuk sajian "madyang" atau kulineran saja. Â Agree tho?
Maka jadilah pilihan di Bogor saja. Awalnya bingung juga milih lokasi, soalnya harus menyesuaikan dengan selera banyak kompasianer dengan fisik dan mental beragam.Â