"Belajarlah dari nenek moyangmu bagaimana caranya menghubungkan rahim-rahim itu, karena silaturahmi menimbulkan kecintaan dalam keluarga, meluaskan rezeki, dan menunda kematian." (HR. Tirmidzi).
Kutipan kalimat di atas tak jarang atau seringkali kita membacanya, karena banyak berseliweran di ragam artikel maupun postingan di media sosial. Kalimat yang menginsirasi sekaligus mengingatkan tentang pentingnya merawat jalinan silaturahmi.
Terkait dengan silaturahmi, aku ingin  bercerita tentang acara yang baru saja kubikin bareng teman-teman kompasianer. Acara kecil-kecilan saja, "temu kangen" sekalian halbil pasca lebaran.
Eh sebelum bercerita, boleh tonton dulu acaranya di video ini ya.
Informal, santai namun berharap ada makna mendalam yang bisa dipetik di dalamnya. Makna  tentang pertemanan, tentang merawat silaturahmi dan tentang salah satu sahabat yang berpulang. Â
Bercengkerama, di saung persawahan dengan panorama menawan bagi kami yang jarang banget melihat sawah. Sedap dipandang. Makin sedap dengan nikmat menu nasi liwet dan "ubo rampenya".
Ada lalapan, karedok, sayur asem, sambal teri, ayam bakar plus goreng, tahu tempe. Menu khas Sunda dari dapur Kampung Tematik Mulyaharja, tempat kami berkumpul.
Nasi liwet atau sego liwet, aku sengaja memilih paket menu kuliner, yang merupakan salah satu ikon kuliner Indonesia itu untuk acara kami. Di samping jarang mengonsumsinya, juga aku melihat dari sisi lain, bahwa sahabat itu seperti nasi liwet atau sego liwet (istilah Jawa). Why?
Aku ibaratkan teman itu seperti sego liwet yang gurih dengan aroma yang berselera. Menyenangkan. Â Kalau di Jawa, nasi liwet dikenal sebagai nasi gurih atau nasi wudhuk.
Rasa gurihnya nikmat. Makin sedap dengan pelengkap ayam suwir, telur pindang, sayur labu siam lalu dituangin areh. Wuiih. Jadi ingat Sego Liwet Yu Sani, Solo Baru. Heehe Â