Di tengah penjelasan Mas Agung, aku mondar mandir di area dalam Pendopo Ageng yang berukuran 3.500 meter persegi itu, mengambil gambar.
Para penari itu menarik perhatianku. Aku memotret dan merekam video dari berbagai sisi.
Ada penari perempuan dan pria. Memakai topeng. Gemulai mengikuti gendhing gamelan yang lembut. Rancak saat adegan "berkelahi" mengikuti pukulan bersemangat penggendang.
Ritmenya mengikuti irama adegan. Nuansanya megah. Di bawah lampu gantung artistik ala Eropa.
Di sebalah kiri, para pemain gamelan dengan berbusana beskap, merajut gendhing. Di sebelah kiri dalam dan kanan, ada seperangkat gamelan yang tidak dimainkan. Ditutup kain.
Sementara para pengunjung yang dibagi per 10 orang/ pemandu wisata, menyaksikan tarian di area pendopo yang disebut-sebut mampu menampung lima sampai sepuluh ribu orang itu.
Pendopo Ageng ini kaya ornamen-ornamen arsitektur Jawa seperti tiang/ saka berbentuk persegi. Tiang-tiang kayu ini menyangga atap joglo. Konon kayu diambil dari pepohonan yang tumbuh di Alas Kethu, hutan yang dahulu dimiliki Mangkunagaran, di perbukitan Wonogiri. Â
Di lingkup ornamen ragam hias Jawa lainnya, para penari menyajikan sebuah kisah dalam seni tari.
"Salah satu penarinya, orang asal Jepang," jelas Mas Agung.
Kami sesekali duduk bersimpuh di lantai marmer dari Italia, medengar penjelasan pemandu wisata yang sudah puluhan tahun memandu wisata itu.
Gayanya yang kocak dan grapyak (ramah) khas "wong Solo", membuat suadana segar dan akrab.