Â
Kuliner adalah budaya. Mengenal kuliner khas daerah berarti mengenal sejarah budaya dibaliknya. Budaya kehidupan yang mencitrakan masa lalu.Â
Aku suka menjelajah kuliner nusantara. Menjelajah cita rasa khas lidah dari beragam daerah di nusantara.
Menikmati cita rasa suatu menu kuliner seperti menyelusuri Lorong waktu ke masa lalu.
Ada apa di masa itu, hingga sebuah menu kuliner tercipta. Seperti apa kondisi sosial kemasyarakatan kala itu, hingga sebuah menu kuliner dihadirkan dan dinikmati di tengah-tengah masyarakatnya sevara turun temurun.
Itulah sebabnya ketika menikmati sebuah menu kuliner, selainmenikmati citarasanya, aku akan mencari tahu kisah-kisah dibaliknya.
Nah beberapa menu kuliner di bawah ini, Sebagian kecil yang lekat di lidah dan benakku. Kuliner khas dari beberapa daerah yang aku pernah kunjungi.
Menu yang menjadi favoritku dari waktu ke waktu. Sima ya. Mungkin menu ini favorit Anda juga.
Tiwul Wonogiri
Kuliner tiwul seperti menjadi ikon Wonogiri. Seiring dikenal sebagai Kota Gaplek. Gaplek itu singkong yang dibikin nasi tiwul.
Tiwul menjadi menu keseharianku di masa kecil. Maklum saja, beras untuk nasi putih masih tergolong mewah bagi keluargaku kala itu. Lagi pula, tiwul emang lazim dikonsumsi orang-orang desa di Wonogiri di era 1970an, 1980 an.
Sejarahnya, sejak era penjajahan Jepang Tiwul dijadikan pengganti nasi ketika harga beras tidak terbeli oleh masyarakat.
Di kampungku  di kawasan Wonogiri,  tiwol mudah didapat karena tanaman singkong banyak tumbuh di ladang-ladang. Tanah yang gersang di Wonogiri memang cocoknya untuk tanaman singkong. Singkong ini dikeringkan lalu dihaluskan hingga seperti tepung.
Sari sejarah tiwul ini, aku belajar tentang ketahanan pangan di daerahku, kala tak tergantung pada padi. Â
Hingga kini pun, tiwul dikenal sebagai jajanan pasar yang sangat merakyat. Tiwul  masih mudah kubeli di pasar-pasaar rakyat sebagai jajanan nasi yang ngangenin.
Harganya murah saja. Sebungkus porsi kecil, Rp. 3000 pun boleh.
Saat mudik, menu tiwul adalah menu wajib yang aku konsumsi selama di kampung halaman.
Soto Kerbau Kudus
Soto kerbau ini, menu yang baru  kunikmati pada Maret 2023, bulan lalu selain sate kerbau. Aku menikmatinya saat sedang di Kudus.
Aku pernah menulisnya bulan lalu di sini Pesan Toleransi, Semangkok Soto Kerbau Bu Jatmi.Â
Ini video Reels Instagram saat menikmati Soto Kudus Bu Jatmi.
Daya tariknya buatku karena keunikannya yakni olahan daging kerbaunya. Maklum saja seumur-umur tak pernah makan daging kerbau.
 Sempat agak aneh, karena familiar ke daging sapi dan kambing. Tapi yaa, sebagai pencecap rasa, tetap bikin menantang. Dan aku suka.
Menariknya lagi adalah latar belakang sejarah penggunaan daging kerbau pada olahan Soto Kudus iru.
Nah sejarahnya tuh, Soto Kudus terbentuk seiring dengan masuknya ajaran agama Islam oleh Sunan Kudus ke Kudus.
Sunan Kudus yang bernama asli Ja'far Shodiq adalah salah satu walisongo yang berjasa dalam penebaran ajaran agama Islam di tanah Jawa.
Sebelum Islam masuk, warga Kudus mayoritas adalah pemeluk agama Hindu. Â Â
Ajaran agama Islam mulai diajarkan dan disebarluaskan melalui pendekatan budaya agar mudah diterima oleh masyarakat pada kala itu. Â Â
Nah umat Hindu, menganggap sapi adalah hewan yang suci. Sebagai bentuk toleransi antara pemeluk agama Islam dengan Hindu. Sunan Kudus  melarang memakan dan menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau.
Tradisi mengkonsumsi daging kerbau berlanjut turun temurun. Ditaatioleh warga hinggakini.Itulah yang melatarbelakangi isian Soto Kudus yang kita temui saat ini.
Sejarah yang menarik bukan? Bahwa sebenarnya budaya toleransi beragama sudah diajarkan sejak dulu kala.
Selat Solo
Sebagai warga yang berasal dari  Wonogiri, dekat dengan Solo, menu Selat Solo tak asing lagi.
Terakhir makan Selat Solo, pada tahun lalu di Selat Solo Mbak Lis yang ternama di Kota Solo. Biasanya di acara hajatan perkawinan tersedia menu selat ini
Inilah kuliner yang dikenal sebagai Bistk Jawa.  Merupakan perpaduan antara bistik dan salad.  Cita rasa manis, asam, dan gurih. Aroma rempah ringan yang khas. Dominasi warna kecoklatan  dari penggunaan kecapnya.
Mengulik sejarahnya, Selat merupakan makanan khas Solo warisan zaman pendudukan Belanda.
Awal mula Selat Solo  berawal sejak pembangunan Benteng Vastenburg yang terletak di depan gapura keraton Surakarta.
Di tempat itu sering dijadikan  lokasi pertemuan antara pihak Belanda dan keraton Solo.
Dalam seiap pertemuan selalu disajikan  makanan, yang disesuaikan selera Belanda yang makanan berbahan utama daging.
Sementara raja dari keraton Solo, Â terbiasa makan dengan sayur dan tidak terbiasa makan daging besar dengan olahan setengah matang.Â
Alhasil, dipadukanlah kedua selera itu. Daging diubah menjadi daging cincang yang dicampur sosis, telur, dan tepung roti. Dibentuk menyerupai lontong dan bungkus menggunakan daun pisang. Kemudiandikukus hingga matang. Daging yang sudah matang didinginkan, kemudian daging diiris tebal dan digoreng.
Isi dimodifikasi yang dikombinasikan dengan bahan-bahan, seperti kentang, buncis, wortel,ketimun, telur, slada. Jadilah perpaduan itu menjadi Selat Solo.
Nah dari sejarah itu, kita tahu bahwa makanan bisa menjadi sarana diplomasi. Mungkin ini yang disebut diplomasi meja makan. Â Â Â
Gudeg Jogja
Kalau dengan kuliner gudeg Jogjakarta, aku sangat familiar. Secara 9 tahun bermukim di Jogja.
Gudeg menjadi menu keseharian waktu itu. Olahan lezat Nangka muda. Apalagi mudah didapat. Â Dulu gudeg dikenal dari kawasan gudeg di Jalan Wijilan. Â Lokasi gudeg legendaris Yu Djum dan gudeg lainnya.
Menilik sejarah gudeg, unik. Konon kemunculan Gudeg diperkirakan bebarengan dengan pembentukan Jogja sendiri. Â
Melansir dari beragam sumber, sejarah singkat gudeg dimulai kala abad ke-16. Kala prajurit Kerajaan Mataram "babat alas" membuka hutan belantara untuk membangun peradaban.Â
Lokasinya sekarang ada di kawasan Kotagede. Di  hutan itu banyak pohon nangka dan kelapa. Lalu dikreasikanlah kedua bahan itu untuk konsumsi para prajurit.
Nama gudeg dulunya dikenal dengan sebutan Hangudek yang artinya Mengaduk.
Ini mengingat cara memasak gudeg adalah dengan cara mengaduk santan dan nangka muda dalam tungku besar. Akhirnya disebutlah Gudeg.
Awalnya gudeg hanya populer di kalangan prajurit, namun lambat laun diketahui oleh masyarakat umum karena bahan yang mudah ditemui dan rasanya yang lezat.
Dulu, gudeg hanyalah berupa sayur nangka muda yang dibumbui bersama santan. Lalu sekarang ditambah tempe, tahu, telur dan daging ayam.
Bersyukur, sekarang kitab isa menikmati aneka cita rasa gudeg, dari yang asli manis, hingga yang rasanya pedas.
Bahkan sudah ada  gudeg basah yang otentik hingga gudeg kering. Gudeg memang gak ada matinya.
Nah itu kuliner favoritku selama ini. Kuliner dari yang sejak masa kecil kukenal yakni tiwul, sampai yang berlakangan kunikmati, Soto Kudus.
Semua menerbitkan selera nikmat dengan kisah-kisah  bersejarah yang unik, dan layak untuk diketahui.
Jadi kita bukan hanya menikmati kulinernya, namun mengetahui asal usulnya.
Itu lebih memuaskan bukan?
Mari cintai kuliner nusantara kita. Salam kuliner.
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H