Itu memicu banyak bertebaran penjual bakso Wonogiri. Apalagi citarasa bakso Wonogiri enak disukai banyak orang, menjadikan bakso Wonogiri cepat berkembang.
Lambat laun bakso begitu lekat dengan kota gaplek, Wonogiri itu. Â Meski sebenarnya bakso adalah makanan khas Tionghoa.
Perjalanan bakso Wonogiri menyebar ke banyak daerah di nusantara, tak lepas dari sejarah para perantaunya khususnya perantau yang berprofesi sebagai pedagang bakso.
Bakso Wonogiri, Pintu Rezeki "Boro"
Wonogiri itu sebagian besar warganya merantau.  Merantau atau "boro"  seperti  menjadi tradisi yang turun tenurun sejak dulu.
Jika ada seorang anak yang menginjak dewasa, tak bersekolah, atau lulus sekolah tingkat atas, lalu tak mampu meneruskan pendidikan, maka pilihannya adalah, "boro". Kota yang menjadi tujuan adalah kota besar seperti Kawasan Jabodetabek.
Mengutip  data yang diberitakan media  joglosemarnews.com diketahui jumlah penduduk Wonogiri lebih dari 1 juta jiwa. Dari jumlah itu sekitar 30 persen merantau.
Hal itu mengingat daerah Wonogiri itu termasuk gersang. Sektor pertanian kurang menjanjikan karena susah air. Intinya lapangan pekerjaan sangat terbatas. Ditambah lagi ada mental yang berkembang di masyarakat bahwa, untuk mengubah nasib, menuju "sukses" hanya bisa diraih dengan "boro". Merantau ke kota besar.
Nah mereka yang "boro" kebanyakan berprofesi berdagang. Berdagang, jamu, mie ayam sampai bakso. Mengingat minim keahlian dengan pedidikan terbatas.
Sekadar contoh, "Bagong" nama panggilan tetangga depan rumahku di Wonogiri, dengan bekal pendidikan terbatas, tak cukup untuk bekal  bersaing kerja di perusahaan. Dia merantau berjualan bakso di kawasan Cililitan Jakarta. Berpuluhtahun menghidupi keluarganya dengan berjualan bakso.
Faktor lain, terpicu kesuksesan dari perantau lain dari kampungnya yang merantau, berjualan bakso. Seperti kesuksesan Bakso Lapangan Tembak dan Bakso Titoti yang kuceritain di atas.Â