Meski hari liburnya tak tentu, bahkan boleh dibilang tak ada hari libur, namun Wito bisa mengajukan izin ataupun mencari pengganti untuk sementara, saat dia berhalangan. Wito pun bebas mendapatkan ruang untuk menjalankan ibadahnya sendiri.
"Mau jumatan, bebas-bebas saja. Saling menghormati di sini," katanya. Â
Pembicaraanku beberapa saat terpotong, oleh panggilan pengunjung yang bertanya. Hingga kemudian aku melanjutkan mendokumentasikan momen di dalam vihara. Tentunya aku berusaha memposisikan sedemikian rupa, menjaga etika agar tidak mengganggu pengunjung yang berdoa dan bersembahyang.
Meski tak banyak, kulihat beberapa orang turut hunting foto. Berburu momen. Memang Imlek menarik untuk diabadikan. Patut disyukuri Imlek bisa dirayakan dengan suka cita oleh saudara-saudara kita.
Seperti kata Wito.
"Cukup...cukuplah. Kalau gak bisa bersyukur, gak ada puasnya Mas," katanya sambal tertawa, saat kutanya, rahasia dapur bayarannya.
"Hooh...bener..bener..." jawabku.
***
"Berapa kilo, Om?" kata penjual buah area Suryakencana Kawasan vihara Dhanagun. Ibu itu  memasukan beberapa butir jeruk ke dalam kantong plastik.
Ehh iya. Aku agak meleng karena sembari melihat-lihat foto di display kameraku.
"Sekilo aja. Pilihin yang bagus-bagus ya," kataku.
Jeruk-jeruk kulhat menis-menis. Tapi aku lagi malas milihin, "nyawa belum ngumpul" selepas keasyikan jepret-jepret foto di vihara. Hehehee. Â Biasanya aku agak rewel milih kalau beli buah di kaki lima. Karena agak buru-buru pulang, jadi biar cepet aja. Gak milih.