Usaha kuliner tradisional ala Manado menjadi pilihan duet pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Bekasi, Jawa Barat ini. Merintis dari nol dan meyakini menjalani sepenuh hati, bisnis bukan sekadar sebagai mata pencaharian. Mereka ingin kuliner tradisional menjadi tuan rumah di negeri sendiri di bawah serbuan aneka kuliner mancanegara terkhusus di perkotaan. Mereka ingin menjawab rasa kerinduan penikmat kuliner tradisional nusantara dimana saja. Mereka ingin membantu para ibu rumah tangga dan siapa saja yang butuh penghasilan. Mereka ingin bisnis sebagai ajang ladang beramal. Siapa dan apa bisnis unik yang digeluti dua wanita cantik berkacamata ini?
Ini cerita tentang pelaku usaha yang kukenal sekira 3 bulan lalu. Bertemu tanpa sengaja di sebuah ajang festival yang digelar di sebuah mal kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Aku ingat waktu itu, aku tertarik dengan sebungkus kemasan yang dipajang di meja salah satu stand. Ada ikan kembung, atau kalau di Manado disebut ikan Tude. Dikemas dalam vakum dengan olahan diasap. Ternyata itu produk olahan pertama yang disajikan oleh pemiliknya, dua perempuan asal Bandung dan Denpasar Bali.
Riani Perdanasari dan Putu Novi Santi namanya. Keduanya membangun bisnis kuliner Manado dengan brand "Uptude." Uniknya, Riani asli Bandung dan Putu asli Bali, membangun usaha kuliner Manado. Lintas budaya kuliner. Kok bisa?
Mereka berdua awalnya rekan kerja di sebuah perusahaan multinasional kawasan Pondok Indah, Jakarta. Hingga pada suatu titik, Riani - panggilan akrab wanita berjilbab itu - memutuskan pensiun dini dari perusahaan multinasional, di kawasan Pondok Indah Jakarta pada tahun 2016. Sementara Putu - panggilan akrab wanita berambut cepak - masih lanjut bekerja di perusahaan itu.
Merintis usaha kuliner menjadi pilihan. Berawal dari obrolan keduanya lalu memutuskan konsep usaha, melakukan riset dan ujicoba dari rumah di Dukuh Bima, Kota Legenda, Bekasi, Jawa Barat. Pilihan jatuh kepada kuliner tradisional khas Manado.
"Gak mau kuliner kekinian. Capek ikutin tren, temporer. Cari yang khas, yang belum banyak. Saya suka makanan Manado dan Padang. Tapi kalau kuliner Padang sudah banyak," tutur Riani saat ngobrol denganku, didampingi Putu di kawasan Jakarta Barat, Kamis 6 November 2018. Â
Konsep usaha yang dipilih bukan model resto ataupun warung yang butuh tempat menggelar masakan. Bukan buka tempat. Tapi lebih spesial. Seperti oleh-oleh, bawa pulang. Harapannya orang makan di rumah. Â Itulah sebabnya Riani dan Putu prioritas untuk memperkuat brand. Â
Ikan Tude dan Standarisasi Produk
Beruntung mereka memiliki teman yang mau mengajari mengolah masakan Manado. Olahan yang dipilih pertama kalinya berbahan ikan Tude dengan cara asap. Pertimbangannya bahan mudah didapat dan belum banyak yang 'main' ikan Tude. Cuma mereka meraciknya dengan citarasa yang lebih bisa diterima lidah banyak orang, tanpa meninggalkan karakteristik kuliner Manado.
"Biasanya khas pedas hardcore, kita agak bikin smooth, ngikutin lidah Jakarta," tutur Riani yang mempertimbangkan market bisnisnya nantinya di Jakarta sekitarnya. Meski belakangan ternyata banyak permintaan dari daerah lain.
Bahan ikan Tude itulah yang kemudian dijadikan nama brand, menjadi Uptude. Mereka berdua meyakini brand itu sangat penting.
"Pengennya nanti orang kalau ingat makanan Manado, ingat Uptude," kata Riani, wanita jebolan Institut Teknologi Bandung itu.
Oleh karena itulah manajemen modern diterapkan Riani. Gol-nya memberikan produk yang berkualitas. Ilmu dari pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya betul-betul digunakan sebaik-baiknya. Dibantu dengan partnernya, Putu.
Ikan Tude yang menjadi pilihan jenis Como yang tak banyak di pasaran. Ciri-cirinya mata "belo". Ukurannnya pun lebih besar dari yang biasa ditemui di warung-warung.
 "Sekilo isi 5 ekor. Sama supplier terkadang dicampur ukuran besar kecil, kita gak mau. Minta yang ukurannya harus sama, soalnya dijual per ekor. Sekarang agak lancar, tapi masih mau cari supplier lagi," jelas Riani. Â
Perjuangan memakan waktu panjang, mulai mencari sumber bahan baku, racikan yang pas selera. Setelah racikan dirasa sesuai, mereka memutuskan tes pasar pada April 2017. Bolak-balik, cari input terkait rasa, serta standar pemilihan baku.
"Rasa harus sama, standar. Ikan juga harus standar, besarnya sama," katanya. Â Â
Akhirnya pada Oktober 2017 tes berhasil. Rasa disukai. Â Bulan berikutnya mereka memberanikan diri launching.
Belakangan "material" (Ikan Tude) begitu Putu menyebutnya, susah didapat. Jadi bingung jual apa. Harga "material" naik, selisih Rp 6000. Biasa beli Rp 32 ribu, menjadi Rp 38 ribu. Produk dijual Rp 32 000, karena high cost di proses pengolahan. 3 bulan jalan tersendat bahan baku. Di satu sisi mereka harus jualan. Â Mereka pun mencari "material" alternatif lain.
Jawabannya? Ikan Cakalang. Mengapa?
"Orang banyak yang kenal dan masih satu genre kuliner Manado," jawab Riani.
Apalagi Cakalang tak ada duri-durinya. Itu cocok untuk diolah bagi generasi milenial yang tak mau repot buang duri. Â Praktis. Belakangan Cakalang ini menjadi best seller Uptude. Â Rerata suka dengan ragam pedas dan rasa gurih rempahnya.
Riani dan Putu sepakat untuk membangun brand Uptude dengan proses asap dan bumbu yang kuat. Bagi mereka olahan seperti itu bagus untuk kesehatan, karena tak ada minyak.
"Asap jadi signature kita," kata Riani.
Poin lain dan lebih penting lagi, mereka tidak mau memakai bahan pengawet. Soalnya pengawet bisa mengubah rasa, juga berefek tak bagus untuk kesehatan. Â
"Apalagi masyarakat kita makin ke sini makin aware dengan kesehatannya. Banyak orang yang memilih makanan yang tak pakai pengawet," tutur Putu, jebolan sarjana teknik dari Universitas Indonesia.
Itulah sebabnya produk mereka rerata pada suhu ruang hanya bertahan 4 harian saja. Untuk stok mereka menjual produk frozen. Biasanya produk frozen maksimal seminggu sudah "keluar" alias laku.
Frozen ini menjadi tantangan baru, soalnya banyak masyarakat yang belum tahu bahwa menjaga fresh, kesegaran itu bisa dengan frozen.
"Orang kadang berpikir frozen tak segar. Padahal setelah diolah, packing, langsung frozen berarti waktunya berhenti," jelas Riani yang menyandang Sarjana S2 dari ITB.
Belakangan, produk Uptude semakin lama berkembang. Produk menu pun bertambah. Setelah setahun beroperasi, Uptude tersedia menu Tude Asap, Tude Vakum, Tude Asam manis, Cakalang Pampis, Bebek Rica, Ayam Rica, Bawal Goreng,Tumis Sayur, Â Bumbu Tumis Sayur, Sambal Goraka, Sambal Cakalang bahkan ada Mealbox. Belum lama diluncurkan menu baru Tuna Woku. Â Beberapa produk seperti Cakalang Pampis cocok untuk dipakai bekal perjalanan, traveling dan lain-lain.
Tak heran dalam 10 bulan Uptude sudah BEP (Break Even Point), meski sejak awal operasi, setahun ini belum pernah menaikan harga jual. Wuih. Â
Saat ini penggemar dan penikmat produk Uptude meluas, dari kalangan rumah tangga, perkantoran, dan umum. Bukan hanya di dalam negeri loor, tapi juga ke luar negeri. Strategi pemasaran diawali penetrasi mulai dari kawan-kawan, melalui sosial media, reseller dan menjadi sponsor.
Kalau yang di luar negeri melalui kawan-kawannya, dengan sistem hand carry. Ada yang ke Uganda, Ceko (Czech), Paris (Perancis), Belanda, Jepang. Ada versi pouch mudah masuk tas.
"Mereka kangen dengan makanan tradisional, jadi kalau pulang nenteng. Belum bisa lewat ekspedisi," kata Riani.
Alasannya ya itu, produk Uptude tanpa bahan pengawet jadi tak boleh terlalu lama di perjalanan. Bisa basi kan ya.
Untuk pasaran dalam negeri?
"Order di kota-kota besar yang ada ekspedisi JNE seperti Pekanbaru, Kalimantan, Bali, Surabaya dan lain-lain," jelas Riani.
Kenapa pakai JNE?
"Bagi kami, sampai saat ini JNE reliable. Setahu kami JNE jaringannya banyak, menjangkau banyak kota, ada call centre jadi lebih professional. Dan yang penting tepat waktu," jawab Riani yang diamini Putu.
Tepat waktu menjadi poin penting bagi produk Uptude. Usia produk yang maksimal hanya 4 hari, tak bisa berlama-lama dalam pengiriman. Pengalaman Riani, JNE selama ini tak mengecewakan. Profesional. Bahkan biasanya sehari bisa sampai.
"Kirim baju telat gak papa. Kalau ini gak bisa. Maksimal 2 hari di jalan," tambah Riani.Â
Jadi klop sudah, Uptude dan JNE bersimbiosis mutualisme, tak ada yang dirugikan. Sinergi yang semestinya dilakukan. JNE mendukung pertumbuhan UMKM dengan jaringannya yang luas yang dampaknya positif buat perekonomian nasional.Â
Biasanya pakai layanan transportasi online/ ojek online/ ojol, menghemat waktu. Tapi kalau biayanya lebih mahal, pilihannya ke JNE. Â
"Kalau biaya ojol di atas Rp 15 ribu, kita pakai JNE yang hanya Rp 9000 dua hari. Bisa isi 5 atau 6 produk," tutur Riani.
Charity, Disabilitas dan Impian Uptude
Uptude bukan bisnis semata, namun juga turut beramal. Program charity pernah dilakukan. Seperti saat terjadi musibah gempa di Lombok dan Palu, Donggala Sulawesi Tengah.
"Setiap pembelian produk Uptude, sebagian keuntungan kita donasikan. Bareng Yayasan Medicuss, kirim dokter, Â perawat dan obat-obatan," jelas Riani yang menjadi fundraiser.
Riani bahkan turut ke Lombok Barat selama 8 hari bareng Medicuss.
Riani juga ingin merekrut sumber daya manusia dari kalangan disabilitas. Misalnya untuk bagian administrasi. Baginya orang disabilitas tak kalah kemampuannya. Dia juga senang bisa memberi lapangan pekerjaan bagi mereka.
Saat ini Uptude menjadi UMKM binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Turut mensukseskan program-program "Ikan" Menteri Susi Pudjiastuti, seperti partisipasi di pameran, bazar dan lain-lain.
Untuk sertifikasi halal masih dalam proses. Riani dan Putu menyadari pentingnya sertifikasi tersebut, soalnya image kuliner Manado lekat dengan kuliner non halal. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H