Ketika ketakutan berbicara melanda siapa saja, ketika kehidupan sosial tak lagi asyik untuk bercanda, ketika komedi makin senyap bak turun kasta, 30 komika hadir mewakili ruang-ruang hati kawula muda yang kehilangan keceriaan berbicara. Komika bernyawa, kawula muda menyala!
5 jam ketawa? Belum pernah. Tentu bukan sebab yang biasa jika bisa konsisten tertawa selama itu. Paling tidak 2 jam-an aku di tengah-tengah hiruk pikuk tawa anak-anak muda yang merasakan gairahnya. Menyala. Nyala tawa dari nyawa-nyawa komika yang seakan mewakili jiwa-jiwa yang haus akan ekspresi. Antara keberanian dan kecemasan di ruang-ruang hari. Ruang kehidupan sehari-hari, ruang sosial hingga ruang politik.
Pada narasi-narasi 30 komika yang berbagi panggung di ajang Local Stand Up Day sejak sekitar pukul 16.00 - 22.00 wib (break sejam)  yang digelar di Ballroom Kuningan City Mall, Jakarta, Sabtu, 7 April 2018 malam itu, mereka seperti menemukan identitasnya, menemukan jalur ekspresi dan  aspirasinya.
Mungkin tak semua pribadi terwakili, namun paling tidak ada ruh-ruh yang menemukan dan mengenalkan akan dirinya. "Itu saya!" ... "Itu gue banget" ... saat Komika Nopek dengan banyolan narkoba ala destro-nya. Menyuarakan kegoblokan mengkonsumsi barang -- yang dibilangnya - obat 'anjing' itu. Atau cerita "menikah karena sosmed' dari tuturan menggelitik Komika Hipdzi Khoir hingga mentertawakan cerdas inflasi Zimbabwe  dalam itungan angka-angka dan analogi 'batagor' ala Mukti Entut.Â
Menonton komedi sajian komika dari latar belakang beragam pandangan, pandangan politik dan perbedaan agama  itu, sebenarnya tak mudah. Butuh bekal 'pikiran terbuka'  menerima banyolan sensitif, roasting nan 'kejam' serta tampilan genre dark & blue yang tak bakal ditemukan di tayangan on air. Dah pasti yang tipikal 'baperan' bisa mati kepanasan dimare hahahaaa.
Tema-tema 'blue' dikemas vulgar, isu-isu sensitif, dibumbui kata sarkasyang tetap diterima publik penonton muda dengan tawa yang rela merogoh kocek Rp. 300 ribu (silver), Rp. 425 ribu (Golden)  hingga Rp. 550 ribu (Platinum) itu. Tawa yang mahal bukan? Hahaa Mungkin saatnya komedi itu memang menjadi barang mahal era saat ini. Mahalnya sebuah keceriaan. Mahalnya tawa candaan.
Jelas energy positif yang ingin dihadirkan melalui Stand Up Comedy. Saat perbedaan, kesenjangan pandangan semakin menganga. Bukan hanya di lingkungan keseharian namun yang lebih panas adalah perang di social media. Perang yang sesungguhnya, saat di dunia nyata nyali tak sebesar di dunia maya.
Isu-isu toleransi, intoleransi, yang menjadi kayu pembakar suhu politik yang memanas. Publik terdesain dalam kelabunya kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Â Stand Up Comedy berharap mampu menjadi salah satu obat, untuk dapat mengembalikan lagi keceriaan di tengah publik.
Ya, negeri ini seperti sudah sulit untuk bercanda. Orang gampang marah dan tersinggung. Sementara di pojokan sana, orang ketakutan bicara bebas. Benar-benar sudah tak asyik lagi saat segalanya menjadi komoditas ...segalanya. Â "Local Stand Up Day" bisa jadi sebagai jawaban atas kondisi menyedihkan itu.
Mengutip rilis, Patrick Effendy, salah satu pendiri MLI menggarisbawahi bahwa  orang ketakutan karena melihat di mana-mana orang terasa lebih gampang marah dan cepat tersinggung.
"Kita berharap orang-orang masih bisa berbicara bebas, tanpa perlu dihantui ketakutan," katanya.
Kehadiran Anies Baswedan di penghujung acara, sebagai mistery guest jelas  memberikan banyak makna. Yang tentu saja berbeda dalam benak kepala siapa pun yang menonton. 'Juru bicara' yang didapuk oleh Pandji Pragiwaksono khusus di malam itu, tak dpungkiri memberikan aura positif, sejalan dengan semangat  gelaran "Local Stand Up Day". Kehadirannya di tengah-tengah publik  yang disadarinya bukan pemilihnya itu, dibalas dengan antusisme penonton. Cantik bukan!
Jika perang kepentingan  itu memang eksis, benar-benar ada dibalik kelambu negara ini, dan merasuk dalam sendi-sendi tulang, biarlah itu hanya ada di tulang para oknum-oknum pelaku yang sudah tua-tua. Toh usia tak lama ditelan senja. Biarlah generasi pengganti kelak, kawula muda menghapusnya dengan tawa di tengah ragam perbedaan yang dipandang klimaks dengan optimis.
Cela dan tawa yang terpelihara, dan menjadi bahasa suara hati kawula muda yang mungkin akan mencatat sejarah lewat kata tawa. Tawa yang terus menyala. Tawa keberanian tanpa ketakutan berbicara dalam isi kepala beragam beda.
@rahabganendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H