Andris mulai berpikir, kondisi itu tak bisa dibiarkan terus menerus merugi. Ia berpikir bagaimana caranya biar tak jatuh rugi terus menerus. Dulu ayahnya sempat berhasil. Ia berkisah, ayahnya berangkat ke Jakarta menjual beras telah menggunakan brand sendiri pada produk berasnya. Bahkan sebelum beras datang, pembeli sudah antre.
“Kenapa saya tidak bisa, meski sistem memang sudah berubah?” Katanya saat wawancara by phone dengan Penulis, Jumat (21/10/2016) pagi.
Itu yang ada di benak Andris, dan membuatnya termotivasi untuk bangkit. Ia harus berhasil.
Beras Garut Harus Dikenal Banyak Orang
Misi untuk memperbaiki keadaan pasar beras Garutnya, mendorong Andris memutar otak. Dia yakin harus ada pembeda beras produknya di antara beras produk lainnya. Akhirnya Andris memutuskan memakai merek dari ayahnya dulu, yakni merek 1001, yang artinya “Di antara seribu hanya ada satu yang seperti ini.” Maksudnya jelas bahwa Andris ingin beras Garutnya dinilai spesial dengan keunggulannya. Filosofi dari suatu keunikan.
Umumnya beras dari beberapa pabrik penggilingan padi di Garut, saat tidak panen, mereka membeli gabah dari daerah lain. Gabah itu dibawa ke Garut dan diolah, dicampur dan dijual dengan merek beras Garut. Andris tak mau demikian. Baginya itu yang membuat pembedanya. Ia tetap mempertahankan orisinalitas beras Garutnya. Tidak dicampur. Walau pun dalam keadaan tak panen dan harga sedikit lebih mahal. Ia jadikan pembeda dari beras lainnya. Namun ternyata ‘pembeda’ beras Garut originalnya itu tak berhasil. Pasalnya, harga kalah oleh beras yang dicampur. Tak mampu bersaing harga. Pembeli lebih memilih beras tak original.
Tak patah arang, Andris tertuju pada sisi kualitas beras Garut. Ia mengaplikasikan ilmu dari bangku kuliahnya di jurusan mesin dengan membuat mesin yang menghasilkan beras Garut yang berbeda. Menghasilkan mesin yang bisa menggiling beras lebih putih bersih tanpa bahan kimia melalui proses mekanik. Hasilnya berasnya berbeda dari beras yang diproduksi pabrik lain. Lebih berkualitas. Sekali digiling bisa sekaligus dicuci. Hasilnya bisa menghasilkan beras lebih putih, bersih, dan mengilap.
Namun muncul permasalahan baru. Meski dari penjualan beras keuntungan sudah dirasakan, namun ada yang mengganjal. Harga beras Garutnya sudah lebih tinggi namun nama beras Garut tak sampai ke konsumen. Merek atas nama ‘beras Garut”, tak diketahui banyak orang. Pasalnya sebagus apapun beras yang dihasilkan, oleh para pedagang disalin karungnya dengan merek lain. Otomatis nama beras Garutnya tak sampai ke konsumen.
Ia prihatin dan miris dengan kondisi tersebut. Baginya beras Garut harus dikenal. Nama Garut harus dimunculkan. Lalu bagaimana cara mengangkat beras Garut?
Andris lalu terpikir bahwa harus memiliki brand sendiri. Jika ‘bergerak’ pemasaran di pusat akan diganti karungnya. Berarti ia harus ‘bergerak’ di daerah. Namun di daerah ada kendala. Ternyata banyak orang Garut yang belum mengetahui kelebihan beras Garut. Ia terpikir kembali filosofi 1001.
“Harus ada pembeda lagi,” pikirnya.