Achmad Soebardjo termasuk generasi awal pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Eropa, lebih awal dibandingkan Bung Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka. Pada masa kemerdekaan, ia adalah seorang aktivis mahasiswa dan berpengalaman sebagai wartawan di berbagai media massa. Lahir pada 23 Maret 1896 di Karawang, Jawa Barat, dari ibu berdarah Jawa dan ayah berdarah Aceh. Ayahnya seorang Teuku dari Aceh keturunan Panglima Sagi, Teuku Moh. Joesoef.
Nama yang diberikan sang ayah sebenarnya adalah Abdul Manaf, kemudian kakek dari pihak ibunya menambahkan nama Ahmad di depannya. Belakangan salah seorang kawan ayahnya dari Jawa Timur, Raden Mas Said, yang tengah berkunjung untuk mengucapkan selamat atas kelahirannya mengusulkan agar diberikan nama Jawa. Maka digantilah namanya menjadi Ahmad Soebardjo.
Sejak kecil, ia tertarik pada masalah-masalah dunia internasional. Ketertarikan terhadap peristiwa-peristiwa besar dunia tak luput dari perhatiannya. Sebut saja misalnya Revolusi China tahun 1911, Perang Balkan tahun 1912-1913, Perang Dunia I tahun 1914-1918, Revolusi Bolshevik tahun 1917, dan seterusnya.
Orientasi kosmopolitannya itu pula lah yang mengantarkan Subardjo untuk meninggalkan tanah air guna meneruskan studi ke Belanda dengan mengambil subyek hukum di Universitas Leiden. Aktivitas politik Subardjo di Belanda berlanjut. Dia membentuk organisasi bernama Perhimpunan Indonesia. Organisasi yang melahirkan tokoh-tokoh nasional yang berjasa besar dalam proses kemerdekaan Indonesia, seperti Dr. Sutomo, Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan lain-lain.
Sebagai seorang intelektual-pejuang, ia sangat lekat dengan ide atau gagasan. Baginya idelah yang telah mengubah dan membentuk sejarah umat manusia di dunia, tak terkecuali sejarah Indonesia. Setelah Republik Indonesia berdiri, Subardjo diangkat sebagai Menteri Luar Negeri pertama, meski kemudian hanya berjalan 3 bulan. Penyebabnya adalah adanya perbedaan prinsip dan pandangan politik. Soebardjo bahkan sempat menjadi pelarian dan penjara bersama Tan Malaka.Â
Setelahnya, saat Kabinet Sukiman berkuasa (April 1951-Februari 1952), Soebardjo diangkat kembali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Ia wafat pada 15 Desember 1978 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di rumah peristirahatannya di Cipayung Bogor. Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 2009. Untuk mengenang jasanya, nama Achmad Soebardjo diabadikan menjadi nama wisma di Pusdiklat, Senayan, Jakarta Selatan. (*)
@rahabganendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H