Merdeka…merdekaaa!
Pekik ini mengiang di telinga siapa saja seiring bulan Agustus tiba. Yaaa Hari kemerdekaan yang telah 71 tahun dirayakan, direnungi, disedihkan, digembirakan dan banyak lagi maknanya yang dipersepsikan beragam banyak orang. Termasuk saya pribadi. Dan itu sah-sah saja, bahkan anak-anak bangsa ‘merdeka’ menghayatinya dengan dunia bermainnya. Bermain lomba tujuhbelasan yang menjadi ritual melekat setiap bulan 8. Dan bagiku itu adalah penghormatan pada diri bangsa sendiri.
Ada satu kata yang melekat dalam kemerdekaan. Kemerdekaan berujung pada kebebasan, kekangan dan lalu bebas memilih dan menentukan. Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa bernusa, beragam suku dan adat budaya yang menyatu dalam kata rumah Indonesia. Dan modal keberagaman identitas, kebhinekaan identitas itu tak dapat dipungkiri adalah unsur yang membangun negeri dalam satu semangat mendirikan Negara Indonesia. Sooo, itu yang membuat individu memiliki teman, tetangga, sebangsa yang berbeda atas dasar eksistensi kemerdekaan. “Pelangi itu indah, karena berwarna warni,” kata orang.
Kristanto seorang teman di kampong dulu, berkeyakinan berbeda denganku yang menjadi sahabat karibku sejak kecil hingga dewasa. Sebangku sejak usia sekolah di SD, SMP hingga SMA. Tak menjadi masalah. Dan memang kami tak pernah mempermasalahkan. Itu cerita sederhana saja. Lalu cerita-cerita mengalir ditengah perjalanan Agustus ke Agustus, dari usia kemerdekaan yang semakin menua. Apa yang terjadi?
Kebhinekaan dilumuri dengan momen-momen intoleransi. Adat timur yang ramah dan santun menjaga toleransi antar adat suku, agama, antar ras, antar golongan beriak-riak kecil lalu membesar. Kasus bukan hanya terkait ‘perbedaan pandangan’, namun kasus sarat muatan agama, suku mewarnai sedemikian maraknya.
Bagaimana isu-isu SARA menjadi ‘bensin’ yang mudah membakar. Atau kasus-kasus terkait rumah ibadah. Dulu kasus Ambon, kasus gereja di Bogor, kasus pembakaran vihara di Tanjung Balai Karimun, dan sederetan gerbong kasus lainnya yang menciderai makna ‘toleransi’ dan lebih dalam lagi terkait hak warga negara di negara bhinneka ini. Minoritas ditindas oleh angka numeric mereka yg menjadi mayoritas, atas dasar SARA. Toleransi yang menjadi ‘nyawa’ atas kebebasan individu yang bertanggungjawab, semakin ‘terancam maut.’ Dimana hak-hak sebagai warganegara jelas-jelas dilindungi UUD 45, belumlah nampak terimplementasikan dalam bentuk kehidupan sehari-hari secara luas. Kebhinnekaa disikapi sebagai ancaman.
“Banyak isi diskusi sudah ada ijinnya lengkap dibubarkan bukan oleh preman lagi, tapi aparat,” katanya saat acara Gema Bhinneka Merdeka, di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Hal yang mengkhawatirkan lagi, pendamping hukun dari LBH juga menjadi target ancaman. Bahkan berujung ke pidana. Sebuah fragmen kemunduran toleransi ke jaman orde baru. Dan semestinya hal itu tidak didiamkan saja. Berani menyuarakan, karena jika diam saja, maka makin luar biasa.
Toleransi terkait dengan keberagaman. Intoleransi timbul dari harga menghargai. Identitas negeri yang beragam tak dapat dipungkiri. Negara yang dibangun dari darah-darah pendahulu dari ujung barat sampai timur. Membawa identitas budaya yang beragam, maka kebhinnekaan adalah fakta yang melahirkan negeri kepulauan ini.
Bagi Rocky Gerung, seorang dosen Filsafat di fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, soal budaya, kebudayaan, saat ini tak melihat situasi budaya hadir, baik dalam soal politik, ekonomi. Seluruh wilayah telah diisi bukan oleh kebudayaan namun oleh kekuasaan. Pandangan yang berdasar bahwa banyak mereka yang masuk lingkaran kekuasaan ‘berpaspor’ HAM, berkumpul dengan para pelanggar HAM. Ini ironis.
“Kekuatan terbentuk dari kebhinekaan,” ujarnya di acara yang sama.
Keprihatinan terhadap fenomena menyangkut persoalan intoleransi yang mucul dari keberagaman ini, salah satu yang memotivasi Robi bersama 23 LSM dan forum pemuda mengikat sebuah janji menjaga kebebasan dan keberagaman di Indonesia. Rudolf Dethu pendiri Forum MBB (Muda, berbuat, Bertanggungjawab) menggagas Deklarasi Aliansi Kebhinekaan pada 11 Agustus 2016 lalu.
Deklarasi ini adalah bentuk dari pandangan sebagai warganegara yang dituangkan dalam komitmen bersama. Disamping sebagai upaya untuk terbiasa vocal, berani menyampaikan pendapat berekspresi, juga sebagai bentuk konsolidasi diri membangun koordinasi dari orang-orang yang berpandangan sama. Terkait hak sipil bahwa kita boleh memilih yang dimau namun penting bertanggjawab. Kebebasan menggunakan hak untuk menentukan pilihan.
Tentu saja ‘protes’ bukanlah sebagai bentuk anjuran orang untuk minum minol. Jelas penyalahgunaan tidaklah dibenarkan. Namanya muda, berbuat, bertanggungjawab.
“Ada kata bertanggungjawab sebagai pilihan kita,” jelas Rudolf.
Sooo, ragam pandangan kebhinekaan, mungkin pro dan kontra. Tentu hal biasa. Namun yang harus dicermati adalah keberagaman pandangan, baik dari individu atau pun kelompok di negeri ini memiliki hak yang sama. Kebhinekaan yang tak abai terhadap kebebasan. Kebebasan dalam koridor toleransi. Dan negara hadir untuk mengakomodasi. Karena kebhinekaan semestinya bukan ancaman. Ancaman itu adalah dari masyarakat sendiri. Dan saat angka numeric di masyarakat, minoritas atau pun mayoritas memiliki otoritas menentukan mana yang benar, mana yang baik, maka ini akan menjadi ancaman yang serius sekali. Ancaman bagi negara yang dibangun atas pondasi kebhinekaan.
Selamat HUTRI ke 71…. Merdeka!
#PilihanGue
@rahabganendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H