Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan Termangu di Atas Istana

17 Desember 2015   03:48 Diperbarui: 20 Desember 2015   16:46 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: Rusman_Biro Pers, Media, dan Informasi, Sekretariat Presiden)"][/caption]

APA KABARMU RAJA? Nampaknya semangat tetap bersinar di gurat-gurat wajah pekerja kerasmu. Aku memperhatikanmu, lekat dari barisan meja kedua dalam ruangan istana berlampu kristal. Disaksikan 6 raja dahulu dari balik lukisan di dinding-dinding kokoh ruangan, aku dan 99 Maharaja hadir ke istana untuk menyapamu. Bukan sidak, meski kami atasan tertinggi di tampuk negeri ini, atas nama rakyat. Bukan audit meski kami adalah ‘Maharaja’ datang kepada raja, sang pengabdi. Aku mengucapkan terima kasih atas undangan ke rumah rakyat yang dipercayakan padamu, hingga lebih setahun berjalan di pucuk kekuasaanmu.

*

Sabtu, 12 Desember 2015, hujan masih malu,  termangu di busa-busa awan, tertegun di atas istana raja. Raja kepresidenan. Membiarkan panas sang surya menebarkan kehangatan pada senyum para raja yang satu persatu melangkahkan kaki turun dari kereta kencana, bus biru tua berwarna. Aku, menapaki halaman luas nan bersih berubin cerah. Secerah hari itu di awan-awan istana negeri di tanah Jakarta. Panas cuaca di tengah hari itu berasa sirna dengan pohon-pohon di garis depan pintu istana. Hijau menyejukkan mata-mata yang berbinar bahagia menapak untuk pertama kalinya, istana raja kepresidenan.

Yaa, kakiku pertama kali mengukir jejak di ubin istana ini, memenuhi undangan bersama 99 warga Kompasiana. Meski aku bukan untuk kali pertama bertemu dirimu, Sang Presiden RI, Joko Widodo. Ratu dan raja sebelumnya aku beberapa kali bertatap muka. Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, meski tidak di istana. Khusus denganmu, aku mengabadikanmu dalam acara Jokowi Ngobrol bareng Netizen, Konser 2 Jari, pada pesta demokrasi 9 Juli 2014 di Taman Surapati Menteng, pesta yang mengantarkanmu ke tampuk singgasana. Satu suaraku menjadi pengusung salah satu roda yang berputar menuju jalur istana. Hingga pelantikanmu di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senin 20 Oktober 2014, aku mengabadikanmu.

[caption caption="Jokowi di acara Ngobrol bareng Netizen, 26 Juni 2014 di Lumire Hotel, Senen, Jakarta. (foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Jokowi di acara Konser Dua Jari, pada 5 Juli 2014 di Stadion GBK Jakarta (foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Jokowi dan Ibu Iriana saat pencoblosan 9 Juli 2014 di Taman Surapati, Menteng Jakarta. (Foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Momen selepas pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI ke 7, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senin 20 Oktober 2014. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Aku memilihmu, karena aku percaya nyala api kebaikanmu akan mampu membawa biduk negeri dari dian redup ke cahaya terang cita-cita. Dan kebersajaanmu akan menjadi teladan baru pemimpin negeri. Bagiku ‘hati’ di atas segala kekuatan untuk menggerakkan perubahan, mengangkat negeri dari keterpurukan. Kamu orang baik. Dan kamu sangat bersahabat. Tanpa jarak. Tanpa gengsi. Tanpa basa-basi, mengajak menikmati hidangan dari tanah-tanah negeri. Singkat, padat dan lugas, “Kita makan dulu.”

Dari ternak-ternak yang dirawat tangan-tangan berbudi, menjelma dalam bermangkok-mangkok sop buntut yang membuat lidah kami terlena. Sop buntut Solo kabarnya, dari kota yang tak jauh dari tanah kelahiranku. Nasi dari bulir-bulir padi yang ditanam ibu dan bapak tani, ‘pulen’ menghidupi. Kita makan yang sama. Tak ada beda. Raja, warga. Ini ada di desaku, di kampungku nun jauh disana. Makanan yang bersahaja. Aku, Ibu Roselina, Marlista, Listhia, Ibu Risma (asisten Teten Masduki) menikmati dalam satu meja. Dan aku baru membuktikannya, bahwa di istana megah yang telah merdeka 70 tahun, kami baru merasakannya. Hari ini. Hari istimewa? Tentu saja.

Dari kursi dudukmu, wajah lelah tak kau nampakan. Sunggingan senyum tak habis kau tebarkan tanpa paksaan. Saat satu demi satu aspirasi persoalan di sudut-sudut negeri tersampaikan dengan kemasan beraneka. Ada tangis buruh migran di tanah seberang yang minta perhatian lebih. Nasib pilu yang telah menjadi rahasia umum berkepanjangan, kembali dilontarkan. Fera Nuraini, tetangga perbatasan di Jawa Timur yang telah 10 tahun mengenyam udara tanah seberang, membawakan kabar kepedihan nasib saudara-saudara kita di Hongkong, Taiwan dan belahan negara lainnya. Untuk kau dengar, untuk kau upayakan, untuk kau hapus airmatanya.

Begitupula, harapan seorang wargamu, untuk dapat meliput kegiatan kepresidenan agar dapat menginformasikan dengan jujur apa adanya, tanpa embel-embel kepentingan politis media, kau sambut hangat. Thamrin Dahlan, sang Kompasianer senior pendukung Prabowo di masa pilpres, kau dengarkan aspirasinya. Jatah dua Kompasianer akan tercatat dalam agenda liputan kepresidenan. Kamu istimewa. Kamu mengistimewakan rakyat. Kamu pengabdi negara yang menyelami keinginan baik warga. Itu saja? Ada lagi aspirasi lain yang dengan serius terperhatikan. Kamu istimewa yang mengistimewakan.

Dan tiba saatnya kami mendengarkan apa yang akan tersampaikan olehmu. Berjalan cepat dan sigap mendekati mikrofon. Bukan hanya menjawab dari sekian aspirasi yang tersampaikan, namun ada informasi yang terselip yang mengiringi segala kondisi kiprah menjalankan tugas kepresidenan. Aah tentu tidaklah bisa dibilang sedang curhat, seperti kami. Serius sekali, mengisahkan bagaimana dirimu sempat naik darah (sedikit) saat ditanya oleh anggota Parlemen di AS soal upaya pemberantasan korupsi di Indoensia. Mempertahankan nama negeri menjadi dasar jawaban bahwa di Indonesia telah banyak pejabat yang dipenjarakan atas kasus korupsi. Bagaimana dibandingkan dengan AS?

Tak ketinggalan kisah tentang mengubah kondisi ke lebih baik. Bagaimana mengubah cara kerja, pola pikir, kebiasaan, tradisi-tradisi yang sudah lama menuju ke sesuatu yang baru. Sistem. mengubah system yang menjadi titik sentral, dan itu tidaklah mudah. “Sistem akan menjadikan orang terbiasa, terbiasa akan menjadikan orang sebuah kebiasaan dan menjadikan sebuah budaya, sebuah etos,” Itu yang tersampaikan. Dan hal itulah yang menjadi salah satu latar belakang aksi turun ke lapangan yang sering kamu lakukan. Bahwa dengan turun ke lapangan akan memperkaya masalah dan problem sehingga dalam membangun sistemnya akan lebih tepat.

Keprihatinanmu mendalam tentang ‘perang’ lovers dan haters yang berkepanjangan di sosial media. Kondisi yang tidaklah sehat dalam rangka membangun bangsa yang membutuhkan satu kesatuan. Ahh memang membingungkan, sementara dirimu tak ada masalah lagi dengan mantan rival, Prabowo, namun saudara-saudara yang di ‘bawah’ masih membawa aroma panas perseteruan. “Tak perlu ada lovers haters lagi, cukuplah kita menjadi lovers untuk Indonesia,” himbauan bijak yang kau sampaikan. Ahhh seandainya bisa demikian tentu akan segera berbuah manis untuk negeri.

Satu pesan penting khususnya bagi kami yang tersampaikan adalah harapan besarmu pada Kompasianer untuk lebih banyak menulis tulisan yang memberi rasa optimisme. Tulisan-tulisan yang menyadarkan pentingya integritas, kejujuran yang harus terus ditumbuhkan. Tulisan yang tentu bermanfaat untuk publik. Pesan yang kucatat di secarik kertas pemberian Bu Risma, asisten Teten Masduki yang duduk di sebelahku. Pesan yang wajib menjadi dasar bagi kami, para kompasianer, penulis Kompasiana. Jangan kita lupa dan jadikan sebagai niat dan tekad baik, bahwa tulisan yang berkualitas akan berimpek kebaikan.

[caption caption="Berfoto bersama di halaman istana negara, Sabtu, 12 Desember 2015. (Istimewa)"]

[/caption]

Teringang langsung di kepalaku. Bertahun-tahun menulis, sudahkah aku/ kita melakukannya? Sudahkah tulisan-tulisanku/ kita berimbas positif bagi publik dan negara? Sudahkah aku/ kita sevisi dan sejalan dengan RI 1 yang legal konstitusional ini soal menebar tulisan? Sudahkah….?

Pertanyaan yang terbawa hingga pelataran istana, tempat ‘kereta kencana’ bus berwarna biru tua menunggu setia, membawa kami keluar dari istana menuju habitat semula. Dan hujan masih malu turun, termangu di atas istana lewat tengah hari, seakan tak mau mengganggu para ‘maharaja,’ sang rakyat jelata bertemu dengan Presidennya.

@rahabganendra

*Mohon maaf, jika Pak Presiden Joko Widodo di artikel ini kusebut dengan kata ‘kau’, ‘mu’, ‘kamu’, ‘dirimu’ semata tetap dengan makna rasa hormat dan takzim terkandung di dalamnya. #Salam sehat selalu Bapak Presiden RI ke 7.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun