Dari kursi dudukmu, wajah lelah tak kau nampakan. Sunggingan senyum tak habis kau tebarkan tanpa paksaan. Saat satu demi satu aspirasi persoalan di sudut-sudut negeri tersampaikan dengan kemasan beraneka. Ada tangis buruh migran di tanah seberang yang minta perhatian lebih. Nasib pilu yang telah menjadi rahasia umum berkepanjangan, kembali dilontarkan. Fera Nuraini, tetangga perbatasan di Jawa Timur yang telah 10 tahun mengenyam udara tanah seberang, membawakan kabar kepedihan nasib saudara-saudara kita di Hongkong, Taiwan dan belahan negara lainnya. Untuk kau dengar, untuk kau upayakan, untuk kau hapus airmatanya.
Begitupula, harapan seorang wargamu, untuk dapat meliput kegiatan kepresidenan agar dapat menginformasikan dengan jujur apa adanya, tanpa embel-embel kepentingan politis media, kau sambut hangat. Thamrin Dahlan, sang Kompasianer senior pendukung Prabowo di masa pilpres, kau dengarkan aspirasinya. Jatah dua Kompasianer akan tercatat dalam agenda liputan kepresidenan. Kamu istimewa. Kamu mengistimewakan rakyat. Kamu pengabdi negara yang menyelami keinginan baik warga. Itu saja? Ada lagi aspirasi lain yang dengan serius terperhatikan. Kamu istimewa yang mengistimewakan.
Dan tiba saatnya kami mendengarkan apa yang akan tersampaikan olehmu. Berjalan cepat dan sigap mendekati mikrofon. Bukan hanya menjawab dari sekian aspirasi yang tersampaikan, namun ada informasi yang terselip yang mengiringi segala kondisi kiprah menjalankan tugas kepresidenan. Aah tentu tidaklah bisa dibilang sedang curhat, seperti kami. Serius sekali, mengisahkan bagaimana dirimu sempat naik darah (sedikit) saat ditanya oleh anggota Parlemen di AS soal upaya pemberantasan korupsi di Indoensia. Mempertahankan nama negeri menjadi dasar jawaban bahwa di Indonesia telah banyak pejabat yang dipenjarakan atas kasus korupsi. Bagaimana dibandingkan dengan AS?
Tak ketinggalan kisah tentang mengubah kondisi ke lebih baik. Bagaimana mengubah cara kerja, pola pikir, kebiasaan, tradisi-tradisi yang sudah lama menuju ke sesuatu yang baru. Sistem. mengubah system yang menjadi titik sentral, dan itu tidaklah mudah. “Sistem akan menjadikan orang terbiasa, terbiasa akan menjadikan orang sebuah kebiasaan dan menjadikan sebuah budaya, sebuah etos,” Itu yang tersampaikan. Dan hal itulah yang menjadi salah satu latar belakang aksi turun ke lapangan yang sering kamu lakukan. Bahwa dengan turun ke lapangan akan memperkaya masalah dan problem sehingga dalam membangun sistemnya akan lebih tepat.
Keprihatinanmu mendalam tentang ‘perang’ lovers dan haters yang berkepanjangan di sosial media. Kondisi yang tidaklah sehat dalam rangka membangun bangsa yang membutuhkan satu kesatuan. Ahh memang membingungkan, sementara dirimu tak ada masalah lagi dengan mantan rival, Prabowo, namun saudara-saudara yang di ‘bawah’ masih membawa aroma panas perseteruan. “Tak perlu ada lovers haters lagi, cukuplah kita menjadi lovers untuk Indonesia,” himbauan bijak yang kau sampaikan. Ahhh seandainya bisa demikian tentu akan segera berbuah manis untuk negeri.
Satu pesan penting khususnya bagi kami yang tersampaikan adalah harapan besarmu pada Kompasianer untuk lebih banyak menulis tulisan yang memberi rasa optimisme. Tulisan-tulisan yang menyadarkan pentingya integritas, kejujuran yang harus terus ditumbuhkan. Tulisan yang tentu bermanfaat untuk publik. Pesan yang kucatat di secarik kertas pemberian Bu Risma, asisten Teten Masduki yang duduk di sebelahku. Pesan yang wajib menjadi dasar bagi kami, para kompasianer, penulis Kompasiana. Jangan kita lupa dan jadikan sebagai niat dan tekad baik, bahwa tulisan yang berkualitas akan berimpek kebaikan.
[caption caption="Berfoto bersama di halaman istana negara, Sabtu, 12 Desember 2015. (Istimewa)"]
Teringang langsung di kepalaku. Bertahun-tahun menulis, sudahkah aku/ kita melakukannya? Sudahkah tulisan-tulisanku/ kita berimbas positif bagi publik dan negara? Sudahkah aku/ kita sevisi dan sejalan dengan RI 1 yang legal konstitusional ini soal menebar tulisan? Sudahkah….?
Pertanyaan yang terbawa hingga pelataran istana, tempat ‘kereta kencana’ bus berwarna biru tua menunggu setia, membawa kami keluar dari istana menuju habitat semula. Dan hujan masih malu turun, termangu di atas istana lewat tengah hari, seakan tak mau mengganggu para ‘maharaja,’ sang rakyat jelata bertemu dengan Presidennya.
@rahabganendra
*Mohon maaf, jika Pak Presiden Joko Widodo di artikel ini kusebut dengan kata ‘kau’, ‘mu’, ‘kamu’, ‘dirimu’ semata tetap dengan makna rasa hormat dan takzim terkandung di dalamnya. #Salam sehat selalu Bapak Presiden RI ke 7.