Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Napak Tilas Peninggalan Hindia Belanda di Pulau Bidadari, Onrust dan Kelor

27 Oktober 2015   23:18 Diperbarui: 28 Oktober 2015   00:37 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Benteng Martelo di Pulau Bidadari (foto Ganendra)"][/caption]

Bangunan berbahan batu bata merah itu nampak tua dan rapuh. Dikelilingi air laut, bangunan itu masih berkesan ‘wibawa’ dan menyimpan banyak cerita. Warna merah kusam dengan tatanan yang sudah tak rapi. Beberapa batang bambu ukuran sedang menopang ‘pintu utama’ yang lebih menyerupai sebuah lubang. Tingginya sedikit di atas kepala. Sementara beberapa lubang mirip ‘jendela’ kondisinya juga tak beraturan. Waktu telah menggerus bangunan yang berbentuk benteng itu. Benteng bekas pertahanan Hindia Belanda di pinggiran laut. Pulau yang tinggal secuil menempati salah satu gugusan di Kepulauan Seribu. Penampakan yang menyimpan kisah-kisah jaman Hindia Belanda menjaga Batavia dari serangan laut para musuhnya.

Benteng Martelo di Pulau Kelor. Itulah bangunan benteng pertahanan jaman Hindia Belanda yang dibangun pada 1850. Benteng itu menempati sebuah pulau kecil, Pulau Kelor. Waktu dan masa membawa sejarah yang panjang, hingga benteng ini masih dapat dinikmati dan menjadi sejarah menyangkut masa kekuasaan Hindia Belanda. Saat ini Benteng Martelo itu menjadi salah satu daya tarik wisata wilayah ‘Jakarta Laut’, di Kepulauan Seribu, bersama dengan bangunan bersejarah lainnya di pulau sekitarnya. Diprediksi oleh arkeolog, benteng Martelo di Pulau Kelor itu akan lenyap pada 50 tahun mendatang.

[caption caption="Benteng Martelo di Pulau Kelor (foto Ganendra)"]

[/caption]

Beruntung aku masih bisa menyaksikan sisa-sisa kewibawaan benteng yang berfungsi sebagai pertahanan laut itu bersama kawan-kawan Kompasianer yang datang dari Jakarta, Bandung, Solo, Bogor serta Jogjakarta. Kami menjadi bagian dari Blogtrip Pesona Bahari Indonesia kerjasama Kompasiana, Kementerian Pariwisata dan PT Seabreeze Indonesia yang digelar 2 hari, Sabtu (24/10/2015) dan Minggu (25/10/2015). Agenda utamanya adalah menelusuri pesona bahari Indonesia di Pulau Bidadari, Onrust dan Kelor. Satu pulau, yakni Cipir tak sempat disinggahi. Pulau-pulau yang sudah masuk Rencana Induk Kotatua Jakarta sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 tahun 2014. Pulau Onrust, Bidadari, Kelor dan Cipir telah dimasukkan sebagai bagian Kotatua Jakarta karena dalam sejarahnya, kawan pulau tersebut bagian tak terpisahkan dari Batavia sejak abad 16-18.

Aku merasakan bagai ‘napak tilas’ jejak-jejak Hindia Belanda di pulau-pulau luar Jakarta itu. Kami menapaki pulau-pulau yang saling bertetanggaan yang masuk wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Perahu kayu menjadi sarana utama yang kami gunakan. “Napak tilas” menjadi semakin lengkap dengan pendampingan seorang Arkeolog DKI Jakarta, Bapak Candrian Attahiyat. 

[caption caption=" Bapak Candrian Attahiyat, Arkeolog DKI Jakarta yang menemani selama napak tilas di tiga pulau. (Foto Ganendra)"]

[/caption] Beliau banyak memberikan informasi detil mengenai sejarah yang ada di ketiga pulau. Sebuah perjalanan berharga, bukan hanya senang berwisata bahari namun juga senang menambah pengetahuan tentang wisata sejarah di kawasan pulau Onrust dan sekitarnya. Nah berikut ini kisahku ‘napak tilas’ di ketiga pulau, Pulau Bidadari, Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Amazing.

[caption caption="Sarana napak tilas dengan menggunakan perahu kayu. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Menelusuri Wisata di Pulau Bidadari

Menjejakkan kaki di Pulau Bidadari setelah kapal ferry bertolak dari Marina Ancol, Jakarta Utara adalah kali kedua bagiku. Sebelumnya pernah datang ke pulau ini pada Maret 2015. Buatku memang tak mau lewatkan kesempatan mengunjungi pulau kecil ini namun mempunyai ‘simpanan’ wisata sejarah jaman Hindia Belanda yang menarik untuk diketahui. Apa saja?

Nah setelah mendarat di dermaga Pulau Bidadari, rombongan kami disambut oleh ‘tuan rumah’ dengan minuman selamat datang. Segar di cuaca nan terik khas aroma laut. Pepohonan rindang di sekujur tanah Pulau Bidadari, lumayan membuat sejuk sekitarnya. Tak berapa lama setelah acara seremonial dengan pihak panitia dan Kemenpar, kami bersiap menjelajahi pulau yang juga berfungsi sebagai resort ini.

Saat masuk melalui pintu utama setelah dermaga, aku melihat sebuah batu besar berwarna hitam. Ada patung bernuansa Belanda. Disitu terlihat ada sebuah prasasti yang ditandai oleh Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah DKI Jakarta. Ada tertera penjelasan singkat yang tertulis.

1. Sekitar abad XIX dibangun kembali benteng berbentuk bundar untuk mengawasi dan melindungi Pulau Onrust.

2. Penyerangan Inggris terhadap Pulau Onrust pada 1800-1812 menghancurkan benteng di pulau ini.

3. Pada tahun 1972 berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. CB 11/2/16/’72 ditetapkan sebagai suaka purbakala.

Selanjutnya ditemani Pak Candrian yang banyak pengetahuan tentang pulau ini, kami menyusuri tanah berpasir di Pulau Bidadari ini. Sepanjang jalan hal yang menarik adalah banyak meriam dan patung-patung berkarakter kostum Hindia Belanda. Patung ada di sepanjang jalan yang dilalui. Nuansanya jadi gimana getuu hehehe. Selain itu ada tanaman langka, dengan ukuran beragam, bahkan ada yang besar. Disebutkan bahwa 60 persen lokasi pulau ini adalah pohon. Pantas saja rindang dan sejuk, teredam panasnya. Eh ternyata pohon-pohon itu bukan pepohonan biasa namun pohon-pohon yang langka. Ya, banyak pepohonan ukuran lumayan dengan dilengkapi papan nama bertuliskan nama pohon yang bersangkutan. Ada Pohon Sentigi (pempis acidula), Pohon Perdamaian (baringtonia exelsa), Pohon Kepuh atau Kelumpang (sterculia foetida), Pohon Kayu Hitam (diospyros maritama), Pohon Kosambi, Pohon Glodokan (polyalthea longifolia) juga ada pohon Sejuta Cinta. Wuiih.

[caption caption="Meriam di salah satu sudut Pulau Bidadari. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Selain itu ditemukan pula hutan mangrove yang sangat dilindungi. Ada pagar pembatas, dan larangan mengambil maupun merusak bagian mangrove. Tentu saja karena, mangrove sangat penting sebagai salah satunya tempat hunian satwa laut, ikan dan terpenting lagi bisa menjadi sarana pelindung abrasi laut. Eh selain tanaman ada juga binatang yang dilindungi seperti biawak, rusa totol, dan juga Elang Bondol (elang maskot Jakarta). Sempat ketemu juga biawak ukuran sedang.

[caption caption="Seekor biawak melintas di Pulau Bidadari. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Nah yang paling menarik di pulau ini ada sebuah benteng pertahanan yang masih terjaga, mesti tak lagi utuh. Benteng Martelo namanya. Namanya sama seperti benteng di Pulau Kelor yang saya ceritakan di atas. Kok bisa ada benteng ya?

Menurut sejarahnya, Pulau Bidadari merupakan salah satu pulau yang pernah digunakan oleh pemerintah VOC sebagai tempat berlabuh sebelum menuju Jakarta atau Batavia. Pulau ini menjadi tempat garis pertahanan serangan laut dari musuh-musuh pihak Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng pertahanan untuk menjaga Jakarta. Salah satunya adalah Benteng Martelo di Pulau Bidadari yang tersambung juga ke Benteng Martelo di Pulau Kelor yang tak jauh jaraknya.

[caption caption="Benteng Martelo di Pulau Bidadari (foto Ganendra)"]

[/caption]

Jika diperhatikan benteng ini bersusun dari bata merah. Sudah berlumut meski bata merahnya nampak jelas. Kondisinya tidak lengkap lagi. Dibuat bertingkat-tingkat dengan penghubung model tangga untuk ke lantai bawah. Bentuknya model lingkaran penuh. Nampaknya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pertahanan. Ada lubang-lubang di sekelilingnya. Mungkin tempat meriam berada. Dengan desain melingkar maka senjata yang digunakan tentaranya mampu bermanuver 360 derajat. Jadi musuh dari segala arah bisa dibidik. Ada juga sebuah alat berukuran sedang yang sekilas seperti pelontar.

“Itu alat untuk membuat peluru meriam. tinggal dua buah yang ada disini,” jelas Pak Candrian.

Ada papan nama yang menyatakan bahwa benteng ini masuk dalam cagar budaya yang dilindungi pemerintah. Tentu harus dilestarikan yaaa, buat bukti sejarah bahwa Hindia Belanda pernah berkuasa disini. Bahwa penjajahan itu memang benar-benar ada.

Eh asyiknya lagi melihat lingkungan benteng ini, cocok untuk berfoto. Nuansa klasik jaman kolonial, jaman dulu banget kental terasa. Kabarnya lokasi ini konon pernah digunakan sebagai lokasi pengambilan video klip grup band ibukota, Java Jive.

Rekam Jejak Asrama Haji di Pulau Onrust

Setelah selesai menjelajahi Pulau Bidadari kami berkumpul sejenak di ruang Batavia yang lumayan luas. Disitu selain makan siang, kami diberikan pengarahan yang diberikan Pak Candrian dan juga penjelasan tentang pulau-pulau sekitar. Pasalnya kami akan melanjutkan napak tilas ke Pulau Onrust dan Kelor. Sebelum sore menjelang, kami bergegas ke dermaga untuk menumpang perahu kayu yang disiapkan. Ada dua buah. Rombongan pun dibagi dua. Aku masuk di perahu satu dengan 9 teman lainnya, termasuk Pak Candrian. Tujuan kami ke Pulau Onrust. Pulau tempat pertama kalinya kapal Belanda mendarat pada awal penjajahan di negeri ini dan kini menjadi Taman Arkeologi Onrust. Eh Pulau Onrust ini adalah pulau yang paling dekat dengan Jakarta. hanya perlu waktu 15 menitan saja dengan menggunakan perahu tradisional dari Pelabuhan Muara Kamal.

[caption caption="Prasasti di Pulau Onrust.. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Tak lama perjalanan dari Pulau Bidadari ke Onrust. Nama pulau 'Onrust' mengandung arti “Tak Istirahat” alias “Sibuk”. Pulau yang tak besar namun banyak bangunan yang sudah runtuh. Ternyata bukan hanya rombongan kami yang datang, turis pun turut berkunjung ke pulau ini. Turun dari perahu, kami berjalan menuju sebuah bangunan yang telah runtuh. Ada puing-puing. Namun ada pula yang telah dipugar. Banyak bekas bangunan di pulau seluas 7,5 hektar ini. Pulau ini menyisakan banyak peninggalan arkeologi, diantaranya sisa pondasi benteng yang luasnya hampir 2/3 pulau, kincir angin, ruang bawah tanah, komplek makam Belanda, dermaga, tanggul pantai, sisa pondasi meriam, dan beberapa bangunan sisa karantina haji.

Nah kami dan rombongan berkumpul di salah satu bangunan yang runtuh. Menurut Pak Candrian, ini adalah bekas bangunan rumah sakit masa Hindia Belanda. Rumah sakit yang dibangun untuk karantina rombongan haji pada masa itu. Yaaa, pulau Onrust ini pada 1911-1933 menjadi tempat karantina bagi haji yang datang dari Tanah Suci via laut selama 3 bulan perjalanan. Mengantisipasi segala penyakit yang terbawa rombonganlah tujuannya.

[caption caption="Peninggalan Barak Haji di Pulau Onrust. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Menurut Pak Candrian, pada masa itu banyak terjangkit penyakit malaria dan leptospirosis yang sempat menjadi wabah. Jadi maklum sekali, bangunan-bangunannya didesain tahan tikus sebagai binatang pembawa penyakit leptospirosis.

Nah, karena fungsinya adalah asrama, banyak bekas bangunan dengan tipikal panggung. Kenapa? tentu untuk menghindar dari tikus. Uniknya lagi bangunan dilengkapi dengan baja sedalam satu meter kebawah di setiap bangunan asrama.

“Dengan dinding baja yang ditanam itu, tikus tidak bisa masuk ke bangunan,” jelas Pak Candrian. Wuih udah mikir sampai segetunya yaaa. Hehehee.

Eh asrama haji itu dilengkapi juga dengan ruangan tampungan air bawah tanah! Jadi saat aku bareng rombongan ditunjukkan bekas penampungan air itu. Semacam ruangan bawah tanah. Saat salah satu teman meng-ecek, benar, ada air di ruangan bawah.

“Makanya salah satunya kenapa Pohon itu bisa besar sekali, karena banyak air dibawah. Tak kekurangan air,” kata Pak Candrian sambil menunjuk pohon di sebelahnya.

Selain itu ada makam ala Belanda di bagian belakang pulau di samping laut. Makam itu dipagari keliling berbentuk persegi panjang. Kondisi makam ada yang utuh dan ada juga yang rusak. Bentuknya khas makam asing. Selain itu disebelahnya, ada makam pribumi. Ada juga makam yang diduga tempat peristirahatan tokoh DI/TII Kartosuwiryo yang masih diberi bangunan kecil beratap. Ada tiga makam di dalamnya. Namun Pak Candrian tidak yakin mana yang menjadi makam tokoh yang dikenal pemberontak di masanya.

[caption caption="Makam yang diduga salah satunya makam Kartosuwiryo, tokoh DI/TII. (Foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Makam Belanda di Pulau Onrust. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Eh kami juga sempat mampir di sebuah bangunan yang ternyata museum. Museum Pulau Onrust. Museum ini menyimpan beragam benda peninggalan jaman Hindia Belanda. Di depan museum ada dua buah meriam masa perang Inggris – Belanda. Meriam yang terbuat dari besi baja yang sudah berkarat namun bentuknya masih mudah dikenali. Ukurannya sekitar panjang hampir dua meter.

[caption caption="Meriam masa perang Belanda - Inggris di depan museum Pulau Onrust. (foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Batu-batu peninggalan di dalam Museum Onrust. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Di bagian dalam museum banyak ditemukan benda-benda bersejarah. Mulau dari miniatur Onrust yang terbungkus kaca, batu-batu beraneka rupa, miniature kapal perang, lukisan, bola meriam dan lain sebagainya. Lengkap di bagian dinding dengan aneka teks penjelasannya. jadi kita bisa memperoleh informasinya dengan membaca sejarahnya di dinding museum itu.

Untuk diketahui, Pulau Onrust sempat hancur diserang Inggris pada 1803 dan 1806. Namun Belanda membangunnya kembali. Pada masa pendudukan Jepang, pulau ini dijadikan penjara kecil bagi penjahat kelas kakap. Pada masa Indonesia merdeka, pulau ini sempat dijadikan tempat karantina penyakit menular dibawah Departemen Kesehatan RI pada tahun 1960an.

Menguak Benteng Terdepan Pulau Kelor

Pulau Kelor menjadi bagian kawasan yang dilindungi bersama Pulau Onrust, Bidadari. Perhatian terhadap pulau ini sejak 1972 dengan adanya SK Gubernur KDKI Jakarta no 112/16/1972 yang menyatakan bahwa Pulau Onrust, Kelor, Bidadari dan lainnya sebagai pulau yang dilindungi dalam Monumenten Ordonantie. Menjejak ke Pulau kelor ini, tak jauh dengan Pulau Onrust. Sejauh mata memandang pulau ini sangat mudah dikenali. Karena selain sudah ada bangunan papan nama yang jelas tertulis Pulau Kelor, juga nampak Benteng Martelo nan gagah dari kejauhan.

Berdiri di pulau Kelor nan kecil disbanding Pulau Bidadari dan Onrust, benteng pertahanan itu berposisi sangat dekat dengan garis pantai. Ada beton-beton yang ditata berjajar di beberapa bagian pantai dekat benteng. Tujuannya jelas untuk menahan dan memecah ombak agar tak mengakibatkan abrasi lebih jauh.

[caption caption="Benteng Martelo di Pulau Kelor dari kejauhan. (foto Ganendra)"]

[/caption]

[caption caption="Benteng Martelo di Pulau Kelor dari kejauhan. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Menurut Pak Nasrudin salah seorang staf Museum Kebaharian DKI Jakarta bertugas di pulau ini, bangunan benteng harus dijaga. Pasalnya sudah cukup rapuh karena usia. Bahkan terlihat bambu-bambu menopang jalan masuk ke ruangan benteng.

“Jadi saya mohon untuk tidak naik ke atas, berbahaya bisa runtuh,” katanya.

Menarik dan membuat sedih juga, informasi dari Pak Candrian bahwa diprediksi bangunan Benteng Martelo yang didirikan pada tahun 1850 ini, hanya sanggup berdiri 50 tahun lagi. “Yaaa, pulau ini 50 tahunan lagi mungkin akan lenyap ditelan laut,” kata Pak Candrian. Yaaah, sayang banget yaa.

Puas di Pulau Kelor, karena hari beranjak senja, kami kembali ke Pulau Bidadari. Satu pulau lagi yakni Pulau Cipir tak sempat disinggahi. Dan perahu kayu pun bertolak kembali ke Pulau Bidadari tempat kami menginap malam itu. Perjalanan yang berkesan seharian itu. Bayangan masa lalu, masa penjajahan terlintas. Seperti apa peran pulau-pulau ini menangkis serangan musuh dari Inggris, bahkan juga dari Kerajaan Mataram. Hmmm, pulau yang tak kuketahui sejarahnya di buku Sekolah Dasar dulu. Dan baru kini aku tahu.

Cantiknya Paras Wisata Bahari Pesona Indonesia

Napak tilas ketiga pulau itu memberikan gambaran tentang Peninggalan Sejarah yang menjadi bukti bahwa tanah kita ini pernah dikuasai penjajah. Dan itu sangat perlu diketahui anak cucu. Paling tidak tersebarnya peninggaln bersejarah di seluruh penjuru tanah air menjadi cermin dan bagian masa lalu yang harus diketahui generasi penerus. Terkhusus Pulau Onrust, Bidadari dan Kelor mungkin hanya sekelumit, namun memberikan gambaran tentang Batavia, nama Ibukota jaman dulu yang pernah menjadi ajang perang oleh penjajah.

Dan pengelolaan pulau-pulau tersebut menjadi sebuah wisata bahari, wisata sejarah menjadi penting. Paling tidak bentuk perhatian pemerintah untuk melestarikan peninggalan itu. Mungkin hanya tinggal puing, namun ‘kecantikan-nya sejarahnya’ tetap ada dan menjadi daya tarik wisata. Satu hal lagi, pesona indahnya pulau dikemas menjadi wisata dengan segala modernitasnya membuat Pulau Bidadari, Onrust dan Kelor layak untuk dikunjungi. Selain bersenang-senang tentu juga menambah pengetahuan sejarah negeri.

[caption caption="Permainan air Banana Boat di Pulau Bidadari yang menarik. (foto Ganendra)"]

[/caption]

Seperti dalam benakku, terbayang dengan Pulau Bidadari yang menyuguhkan pesonanya, permainan air, benteng sejarah, suasana pantai memberikan pengalaman yang berkesan dan berharga akan pesona indahnya Indonesia.Terbayang dengan sejarah Pulau Onrust dan Kelornya yang memendam kisah bukti eksisnya penjajahan Hindia Belanda. Dan itu wajib dijaga bersama. Aku setuju banget dengan pandangan Pak Candrian, bahwa perlindungan dan pengembangan adalah bagaimana kita memanfaatkan kawasan bersejarah teluk Jakarta itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya usulan beliau menjadikan teluk Jakarta sebagai Open Air Museum, adalah langkah yang perlu menjadi perhatian pemerintah.

Sekian dulu kisah mengesankan blogtrip bareng Kemenpar dan Kompasiana ini. Terima kasih ‘napak tilas’ pulau-pulau bersejarahnya. Sangat bermanfaat.

Salam Wisata

@rahabganendra

Semua foto adalah dokumentasi Penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun