[caption id="attachment_342291" align="aligncenter" width="580" caption="Salah satu sudut Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"][/caption]
JIKA anda sering melintasi Jl. Daan Mogot, Jakarta Barat atau arah barat dari terminal Grogol, maka anda akan melihat sebuah pasar tradisional di kiri jalan. Pasar Pesing, demikian orang menyebutnya. Tak diketahui mengapa orang menyebutnya demikian, yang jelas pasar ini memang berlokasi di kawasan Pesing. Namanya cukup aneh yaa, kata ‘pesing' khan artinya bau yang tak sedap. Pasar ini adalah pasar rakyat yang telah lama tumbuh dan menjadi ajang transaksi warga sekitarnya.
Seperti halnya umumnya pasar di berbagai tempat, pasar Pesing selalu hiruk pikuk dengan denyut nadi aktivitasnya. Pasar ini memegang urat nadi perekonomian bagi warga sekitarnya. Tak diketahui berapa statistik orang yang bergantung bermata pencaharian di pasar ini.
[caption id="attachment_342292" align="aligncenter" width="580" caption=" (Foto Ganendra)"]
Pelaku ‘bisnis' alias pedagang kecil melimpah ruah disini. Mulai dari pedagang makanan gorengan, kue-kue, roti, susu kedelai sampai penjual pakaian alias fashion. Ada juga barang-barang kebutuhan rumah tangga, dari ember plastik, gantungan baju, almari baju plastik sampai barang elektronik seperti setrika, kipas angin, ponsel dan lain sebagainya. Yang jelas semua harganya terjangkau masyarakat bawah. Soalnya pajak tempat kecil, paling kena retribusi. Namun bagi penjual yang membuka lapak agak lumayan besar seperti penjual sayuran, cabe, kol, kentang dan semacanya mesti merogoh ‘sewa' setiap harinya berkisar Rp. 30 ribu.
Pasar yang berada di tepian sungai Kali Angke, Jakarta Barat ini biasanya mulai menggeliat pagi-pagi hingga menjelang siang. Berlanjut kemudian di sore harinya. Transportasinyapun mudah. Ada jasa angkot warna kuning yang mempunyai rute ke daerah sekitar, seperti Kedoya, Kebun Jeruk, Pasar Puri dan lain-lain. Pokoknya pasar ini benar-benar telah menjadi pasar rakyat yang ‘hidup'.
Namun demikian, meski disebut pasar, tak terlihat bangunan ‘bangsal' besar seperti pasar umumnya. Malahan tak banyak bangunan permanen. Kios-kios kecil dibangun semi permanen. Pasar terbentuk dari kumpulan penjual yang berderet sepanjang jalan dari arah Jl. Daan Mogot hingga menjelujur sampai Pasar Kedoya yang lebih permanen. Beberapa pedagang kecil lainnya ‘pasrah' mengambil tempat di sisi kanan kiri jalan. Tempat yang tentunya sangat ramai oleh simpang siur kendaraan. Bahkan beberapa penjual menempati area di pinggiran rel kereta api. Dua buah jalur rel kereta listrik membelah di tengah pasar. Tak heran di jam-jam tertentu saat kereta melintas, palang pintu kereta yang sederhana menutup jalan, maka tak ayal jalanan penuh kendaraan yang mengantri. Macet? sudah pasti.
[caption id="attachment_342294" align="aligncenter" width="580" caption="Palang pintu persimpangan kereta api di Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"]
[caption id="attachment_342295" align="aligncenter" width="580" caption="Jalur kereta api yang melintas di Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"]
Melihat kondisi pasar yang sudah bertahun-tahun kukenal ini, ada beberapa masalah di ruang lingkup pasar yang mesti dicarikan solusi secepatnya. Pasalnya jika tidak maka pasar Pesing sebagai Pasar rakyat akan tidak bisa berkembang bahkan akan menyumbangkan masalah baru baik social maupun lingkungan. Lantas masalah apa yang terkandung di dalamnya? Sudah jamak masalah di area pasar adalah sampah (berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan), keamanan, dan penataan lokasi pedagang (lokasi lapak yang padat).
Sampah dan Sungai
Oh yaa diatas tadi sudah kusebutkan pasar ini ada di pinggiran kali/ sungai. Sungai memanjang yang bermuara ke Muara Angke di Jakarta Utara. Tak banyak yang dimanfaatkan dari sungai ini. Kondisinya selayaknya sungai di kota, tidaklah bisa disebut berair jernih. Tentu saja limbah rumah tangga mengalir kesini. Dan lagi kemungkinan limbah pabrik juga sedikit banyak ada. Bahkan terjadi pendangkalan di sisi pinggiran sungai. Agak kurang terawat nampaknya.
[caption id="attachment_342296" align="aligncenter" width="580" caption="Sampah dan pendangkalan di sungai serta alat berat pengangkat sampah, tak jauh dari Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"]
Sebagai sebuah pasar yang ramai aktivitasnya, maka sampah pasti selalu ada dan menjadi masalah apabila tidak ditangani dengan baik. Kondisi sekarang ini, saat lihat beberapa bagian pinggiran sungai menyimpan sampah karena perilaku sembarangan membuang sampah. Tak banyak memang tempat pembuangan sampah yang tersedia. Sehingga tak seimbang antara sampah pembuangan dan penampungnya. Apalagi bila frekuensi pengambilan sampah oleh pengelola tidak disiplin, maka sampah semakin menumpuk.
Tak jauh dari lokasi pasar, sekitar 200 an meter, dibangun mesin pengangkat sampah dari sungai Kali Angke. Jadi sampah yang mengalir di sungai diangkat untuk kemudian ‘didistribusikan' ke tempat pembuangan akhir (TPA). Perangkat ini dibangun oleh Pemerintah propinsi dengan maksud salah satunya mengurangi kawasan banjir tahunan. Jalan Tubagus Angke yang berada di sisi sungai setiap tahun hampir menjadi ‘sungai' karena luapan air dari Kali Angke itu. Dapat diprediksi salah satu faktor meluapnya air adalah karena timbunan sampah ‘made in' Pasar Pesing.
[caption id="attachment_342305" align="aligncenter" width="580" caption="Banjir yang terjadi Januari 2014 di jalan Tubagus Angke, 200an meter dari Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"]
[caption id="attachment_342306" align="aligncenter" width="580" caption="Banjir awal tahun ini, melumpuhkan arus transportasi di jalan sekitar Pasar Pesing. (Foto Ganendra)"]
Berjualan di Pinggiran Rel Kereta Api
Rel kereta api listrik yang melintas di Pasar Pesing tak luput dari ajang tempat berjualan. Saya lihat di beberapa titik nampak penjual mendirikan lapak jualan. Meja dan tenda seadanya. Jarak dengan kereta api saat melintas sangat dekat kurang dari semeter. Dan pemandangan ini memang jamak terlihat di Ibukota. Namun apakah akan dibiarkan demikian terus?
Tak jauh dari situ area antara dua lajur rel kereta api menjadi tempat parkir motor oleh warga yang mendirikan ‘rumah bedeng' di pinggiran rel. Akan menjadi sangat berbahaya bagi anak-anak dan warga setempat. Saya pikir dalam perkembangannya, jika tak dipikirkan solusinya maka akan menjadi masalah sosial di kemudian hari.
[caption id="attachment_342297" align="aligncenter" width="580" caption="Penjual menggunakan lahan di tengah-tengah, antara dua rel kereta api. (Foto Ganendra)"]
[caption id="attachment_342298" align="aligncenter" width="580" caption="Berjualan dekat dengan lintasan kereta api. (Foto Ganendra)"]
Lokasi Berjualan yang Minim
Berdesakan lapak jualan di pasar tentu menjadi pemandangan umum. Namanya juga pasar, bahkan siapapun dengan ‘bebas' biasa membuka lapak. Namun tentunya lokasi ada batasnya untuk menampung jumlah pedagang yang bertambah dari waktu ke waktu. Bu Andrean salah seorang penjual kelapa parut di Pasar Pesing mengatakan dirinya terpaksa bekerja di lapak orang lain, karena sudah tak ada tempat untuk dijadikan lapak di pasar Pesing.
"Tolong dong mas, bilang ke Pak Jokowi, cariin tempat untuk berjualan, disini sudah penuh," katanya pada saya.
Wah, keren juga ini, Pak Jokowi yang sudah jadi presiden dikeluhin soal pasar rakyat. Bukan ke Gubernurnya. Hmmm apa karena ibu itu tahunya pemerintah itu yaa Pak Jokowi aja yaaa. Entahlah.
"Sudah habis mas, ga ada tempat berjualan lagi disini. Saya aja sampai kerja sama orang. padahal pengen punya lapak sendiri," Jawabnya saat saya tanya soal lokasi lapak.
[caption id="attachment_342299" align="aligncenter" width="580" caption="Berjualan kelapa milik juragan, ingin buka lapak sendiri sudah tak ada lahan. (Foto Ganendra)"]
Keluhan Bu Andrean itu mewakili suara keinginan pedagang kecil lainnya. Bisa diamati dengan jelas, dampak dari terbatasnya ‘lahan' untuk membangun lapak merembet ke lokasi yang bahkan berbahaya untuk berjualan. Misalnya saja di pinggiran rel kereta api, seperti saya sebutkan di atas. Lantas jika pinggiran rel sudah tak memungkinkan lagi, kemana mau membuka lapak jualan?
Wah bisa-bisa mereka berjualan di atas rel kereta api! Di atas rel! Seperti yang terjadi di Pasar Talad Rom Hub atau "Pasar Payung Tertutup" di Thailand. Akibat terbatasnya lahan di perkotaan, terpaksa berjualan di rel kereta api! Jadi saat rel lengang, mereka bisa berjualan di atasnya. Dan saat kereta api melintas, mereka buru-buru menyingkirkan dagangannya, dalam waktu 3 menitan! Dan itu dilakukan setiap hari 8 kali kereta yang melintas. Konon pasar ini malah menjadi lahan wisata turis. Namun tetap saja warga pedagang diposisikan dalam kondisi yang berbahaya setiap harinya, termasuk para pembeli. Lihat saja videonya DISINI. Ngeriii aah hehee.
Pasar Apung Wisata
Beragam kendala di atas, seperti sampah, lahan berjualan yang terbatas hingga di pinggiran rel kereta api mungkin bisa diberdayakan lokasi di atas air! Saat tanah lapang sudah tidak ada, sementara pasar rakyat berkembang seiring waktu. Berkembang perekonomiannya berkaitan pelaku bisnis di dalamnya. Sungai dengan debit yang lumayan bisa dikondisikan dan dibangun menjadi sebuah pasar rakyat. Tak usah muluk-muluk seperti pasar apung di kota besar lainnya, atau bahkan di Venesia Italia. Karena pasar apung ini bertujuan untuk membuka solusi bagi keterbatasan lahan yang ada sekarang ini. Berjualan di atas air dengan menggunakan perahu atau semacamnya. Saat ini perahu-perahu kecil beroperasi di sungai Pasar pesing ini. Keperluannya hanya mengangkut penumpang yang mesti memutar jalan. Jadi untuk mempersingkat waktu. Hanya dengan biaya Rp. 1000,- saja.
[caption id="attachment_342303" align="aligncenter" width="580" caption="Kali angke, indah juga yaaa. (Foto Ganendra)"]
[caption id="attachment_342304" align="aligncenter" width="580" caption="Murah saja hanya Rp. 1000,- sekali jalan. (Foto Ganendra)"]
Tentu bisa saja membangun pasar mentereng nan modern. Tapi untuk siapakah? Seperti banyak kasus terjadi seputar masalah pembangunan pasar, maka rakyat kecil menjadi korban. Pasar modern yang tentu harga sewanya juga ‘modern' alias mahal untuk ukuran pedagang kecil. Pasar akhirnya dikuasai oleh Kapital. Akhirnya konteks pasar rakyat pun akan tenggelam, hilang.
Pasar apung bisa menjadi salah satu obyek menarik. Bahwa di tengah-tengah metropolitan Jakarta, ada sisi kehidupan masyarakat yang unik untuk dilihat saat beraktivitas di pasar apung. Tak mudah memang mewujudkannya. Ada beragam masalah soal debit, pendangkalan yang perlu dilakukan pengerukan dan sebagainya. Juga soal tata kelola sampah ‘hasil' dari transaksi di pasar. Perlu dibikin sistemnya yang rapi dan cermat. Jika serius dilakukan, tentu bisa diatasi.
[caption id="attachment_342302" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi pasar apung/ terapung. (www.infobackpacker.com)"]
Disamping itu, tak menutup kemungkinan bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat yang berjualan disana. Edukasi tentang cinta lingkungan, menjaga kebersihan sungai, karena mereka menjadi merasa ‘memiliki' dengan ‘tinggal' di atasnya. Yang jelas upaya-upaya harus dilakukan demi kepentingan warga yang lebih luas. Jika pasar rakyat bisa dimiliki oleh rakyat, berkembang dan menunjang tingkat perekonomian masyarakat, mengapa tidak diupayakan upaya positif. Dan sebaliknya jika tidak dilakukan upaya, bisakah dibayangkan pasar rakyat di Pesing ini bisa tergerus lenyap karena tak terkelola dengan baik. Akhirnya pasar rakyat tempat bergantung sekian nyawa dari saudara-saudara kita yang merantau ke ibukota ini, bisa hanya tinggal nama. Jadi... "Kembalikan pasar ke rakyat!!" Hidup pasar Rakyat!! (eRGe)
@rahabganendra
Foto-foto kecuali Foto Ilustrasi pasar Apung (paling bawah) adalah dokumen pribadi.
Bikin Pasar Apung di Pesing, Kenapa Tidak? http://t.co/0vKIocvZcx #JktLebihBaik via @kompasiana #pasarrakyat— Rahab Ganendra (@rahabganendra) December 20, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H