“Cuman tiga hari kok Mas.”
“Tak bisakah ijin dulu.”
“Mas…. Gur telung ndino. Gak lama itu Mas.”
Tawamu di seberang sana mencoba menghibur. Heeeeehh … aku menghela nafas, tak bisa berkata lagi. Yaaa, bener, cuma tiga hari saja kok mundurnya. Gak lama. Ya sudahlah. Kamu tugas dinas dari kantor ke Bangkok. Yaaa tiga hari saja. Fix! Mundur jadwal mengenalkanmu pada Ibu.
*
Pemandangan itu, tak istimewa menurutku. Tapi, tidak bagi Nawang. Tak heran ia suka tiap weekend ‘berkereta’ dari Jakarta pulang ke Kota Hujan, Bogor. Yaaa, dia selalu memandang keluar kaca kereta. Pemandangan di luar sana selalu mengagumkannya.
“Seperti melihat diorama. Selalu berganti kisah,” katamu. Meski tiap minggu di jalur yang sama, di jam yang sama, dari gerbong yang sama. Dan bahkan dengan keringat berdesakan penumpang yang hampir sama.
“Ada perjuangan. Belajar tentang tahan banting,” katamu sambil memegang bahuku menjaga keseimbangan berdiri diantara beraneka postur tubuh penumpang kereta.
“Bukankah aku akan melindungimu?” tanyaku.
“Harus itu Mas. Tapi aku tak mau rapuh,” jawabmu yang bikin senyumku kecut, sekecut keringat penumpang yang diramu jadi satu.
“Di situ ada nafas humanis,” ujarmu saat melihat anak-anak kecil berlari-lari di pinggiran rel. Kegirangan melihat kereta. Persis aku, waktu kecil. Mengejar kereta hanya untuk melambai-lambai pada para penumpangnya. Dan sedikit berharap ada sesuatu dilemparkan dari sana.