Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 201 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Click] Diorama dari Kereta

14 Oktober 2016   22:15 Diperbarui: 18 Oktober 2016   09:33 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu fragmen. Bagimu sajian fragmen-fragmen di sepanjang rel Jakarta-Bogor menjadi menu beraneka rasa. Sedap, terkadang pedas, juga getir menyayat hati.

 “Mengingatkanku pada kematian,” itu komentarmu, melihat senja temaram yang akan karam. Kehidupan akan berganti gelap. Kematian bagi kehidupan siang hari dan kelahiran bagi kehidupan malam.

“Bukankah akan lahir kehidupan lain?” tanyaku.

Kamu tersenyum. “Lahir, tua, sakit, mati. Alami khan Mas?”

Aku merinding dengernya, apalagi melihat matamu tak lepas ke siluet senja. Ekspresimu seperti bersenyawa dengan karamnya surya. Jika sudah begitu, aku akan sentuh dan genggam jemarimu. Memastikan kulitmu hangat. Menjauhi kedinginan yang merayap.

Atau suatu ketika.

“Bayar Mas!” katamu setengah berteriak. Saat aku menawar pisang rebus dagangan Simbok tua di luar Stasiun Bogor, kala itu. Padahal aku sekadar menggodamu. Aku tau, sifatmu. Gak tegaan. Bentuk belas kasihmu.  Gampang kasian sama orang. Termasuk para penjual kaki lima yang ‘sepuh-sepuh’ itu. 

Dan aku selalu saja merasa bahagia, bila ‘teriakanmu' terdengar semakin keras di telingaku. Aku akan tertawa. Hahaa. Kamu pun berlagak cemberut dan menorehkan segurat merah di kulit lenganku.

*

Kaca jendela kereta mengeruh. Aku tak peduli menatap jauh dibaliknya. Menikmati lamunan.  Lamat mulai beranjak redup memasuki senja, di langit yang memerah. Suara roda-roda besi serasa mengiring kelebatan lamunan. Sang surya sebentar lagi akan ke peraduan. Berganti rembulan. Mataku tak lepas memandang siluet-siluet di garis cakrawala. Bagai miniatur. Patung-patung bernyawa. Berserak rumah-rumah pinggiran rel kereta juga sawah-sawah kecil. Langit. Awan. Hujan. Semua berlari. Teratur dikomandoi kaki-kaki besi berlistrik. Yang sekarang menjadi istimewa buatku.  Istimewa.

“Seperti diorama,” mengiang ujaranmu dulu.  Dan aku terlambat belajar dari kisah-kisah dibalik kaca itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun