kuntum bergumam tanpa tenaga
layu dan kian layu
kelopaknya redup tanpa sinar keemasan
rindukah dia pada matahari?
yang menghangatkan mahkota dengan cahaya warna warni
“hey, ada warna keemasan disana, pekat”
“itu bukan aku,” sahut kuntum terbata
kemarin mata telanjangnya menembus awan-awan penghalang
memandang lepas paras mentari terindukan
tak seperti kini
tersisa adalah perih dan pedih
dia kehilangan pandang sang pangerang terang
“aku menunggu selepas kabut”
entah kapan warna-warna pekat memedihkan mata akan lenyap
kuntum yang tak berkesudah kesabaran
menangis kering di sela nafas tersengal dan isyarat kegeraman
dulu sampah yang dibakar, sekarang para ‘sampah’ berpesta membakar
***
Jakarta – 16 Oktober 2015
@rahabganendra
Sumber gambar Ilustrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H