[caption id="attachment_327776" align="aligncenter" width="620" caption="Monorel Project"][/caption]
Membahas soal transportasi massal monorail membuat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak mangkraknya konsep ini yang telah digagas masa Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dan telah disepakati Pemprov DKI dengan pihak swasta PT. Jakarta Monorail pada 2004 silam. Namun hingga bertahun-tahun waktu berlalu belum ada kejelasan. Apalagi tiang-tiang di beberapa titik telah berdiri kokoh, seperti di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta Pusat ataupun di Jl. Rasuna Said. Namun tiang hanyalah sekedar tiang yang tak berfungsi. Jelas saja dampak dari mangkraknya proyek bernilai trilyunan itu.
Efeknya masyarakat ibukota khususnya, kebingungan, "Ini proyek jadi ga seh?" Itu yang menjadi pertanyaan saya sebagai warga ber-KTP Ibukota dan mungkin demikian pula yang ada di benak warga Jakarta lainnya. Apalagi persoalan yang membelit dan diekspos beragam media, semakin mengukuhkan bahwa ada masalah rumit di dalamnya. Serumit apapun warga harus mengetahuinya. Judul tulisan ini adalah sebuah representasi sikap pesimis sekaligus optimis yang meninggalkan tanda tanya. Ada masalah apakah di dalamnya? Bola bergulir di kaki siapakah?
[caption id="attachment_327777" align="aligncenter" width="620" caption="Tiang pancang monorel yang mangkrak di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan."]
Maka dari itu, menurut saya pribadi patut diapresiasi adanya acara Kompasiana Nangkring Bareng PT Jakarta Monorail dengan tema: "Persoalan Infrastruktur atau Politik?" di Outback Steakhouse, Kuningan City, Jakarta 24 Mei 2014 lalu. Tentu saja harapan untuk memperoleh informasi detail dari narasumber yang terkait dan kompeten menjadi rujukan yang pasti. Ada empat narasumber yang dihadirkan, yakni John Aryananda (Dirut PT Jakarta Monorail/JM), Dharmaningtyas (Pengamat Transportasi), Tjipta Lesmana (Pakar Komunikasi Politik UPH) dan Lukas Hutagalung (Konsultan Bidang Infrastruktur Bappenas). Sayangnya narasumber kurang lengkap. Andaikan ada Wakil Gubernur (Plt Gubernur) DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama (Ahok) pasti akan lebih seru. Pasalnya pihak JM yang diwakili John banyak menyoroti ketidakharmonisan dengan Pemprov DKI Jakarta yakni yang diwakili Ahok.
Lumayan banyak informasi yang dapat diserap di acara itu, meski tentu saja tidak memberikan sebuah solusi selain memberikan pernyataan-pernyataan dan pandangan. Dipandu oleh Laksono Hari Wiwoho, Editor Megapolitan KOMPAS.com sebagai moderator memancing para narasumber memberikan pendapatnya masing-masing dihadapan 100an kompasianer yang diundang serta awak media dari televisi, radio, media elektronik dan media cetak. Luasnya Outback Steakhouse, ruangan acara bahkan seakan tak mampu memuat antusiame peserta yang hadir. Sebuah televise besar terhubung di tengah ruangan untuk mengakomodir peserta di bagian belakang yang tak bisa melihat para narasumber dengan leluasa.
[caption id="attachment_327778" align="aligncenter" width="620" caption="Acara Kompasiana Nangkring tentang Monorel. (foto pribadi)"]
Transportasi massal dibutuhkan
Begitu banyak hal diobrolkan dalam acara itu. Sesuai dengan tema Monorail tentu berkaitan dengan situasi kemacetan yang biasa terjadi di kota. Tjipta Lesmana menguraikan bagaimana sebuah kota besar di seluruh dunia, apalagi kelas ibukota, kebutuhan tranpsortasi massal adalah wajib. Sebut saja Thailand, Singapura, Filipina yang telah memaksimalkan kereta api bawah tanah maupun layang. Menurutnya ‘serbuan' para pekerja dari wilayah Jakarta sekitarnya seperti Bekasi, Karawang, Depok, Bogor, dan Sukabumi, Tengerang dan lain-lain mengakibatkan lalu lintas ibukota mengalami kemacetan. Banyaknya kendaraan pribadi menjadi salah satu penyumbang kemacetan itu.
"Kondisi macetnya sudah gila-gilaan," katanya.
Solusi pilihannya adalah transportasi massal yang cepat, aman dan murah. Menurutnya, dia sudah lama menegaskan perlunya transportasi massal itu mengingat mobilitas warga yang semakin meningkat. Pertimbangan transportasi itu adalah sebagai pilihan bukan untuk mengatasi kemacetan. Melihat bahwa warga 'penglaju' dari sekitar Jakarta setiap hari yang mencapai 1.500.000, maka menurut Tjipta pilihan tepat adalah Monorel.
Sejalan dengan pandangan Tjipta, bahwa rencana pembangunan sistem tranportasi massal di Jakarta sudah lama menjadi wacana. Hal itu mengindikasikan bahwa tranportasi massal ‘diamini' untuk diwujudkan menjadi pilihan warga Jakarta dalam mobilitasnya. Pada 2004 terwujud kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail. Kerjasama itu berupa kesepakatan membangun monorail dengan jalur yang akan terintegrasi dengan jalur kereta api bawah tanah. Namun ternyata kerjasama tidak berjalan mulus yang berdampak megaproyek monorel itu mangkrak.
Pilihan moda transportasi itu tentu bukan tanpa alasan. Selain kapasitas monorel mencapai 230 orang per gerbong, adalah soal efektivitas waktu. Monorel disebut-sebut mempunyai kecepatan yang jauh lebih cepat dibanding moda lainnya seperti busway maupun bus umum. Pasalnya monorel mempunyai jalur terpisah yang tak diganggu dan mengganggu transportasi lainnya.
Lalu mengapa proyek yang telah disepakati itu tersendat-sendat dan mangkrak sedemikian lama? Sejak tak berlanjut di jaman Gubernur Fauzi Bowo, ketika pasangan Gubernur baru, Joko Widodo dan Ahok menjabat, mereka bertekad meneruskan kembali. Tindakan nyata dilakukan dengan mengecor tiang-tiang yang mangkrak itu. namun baru berjalan tahun kedua lagi-lagi tersendat dan mangkrak kembali.
Dari pemaparan para narasumber saya menyimpulkan ada tiga hal yang patut diperhatikan dan menjadi penyebab mangkraknya proyek transportasi ini, yakni tiadanya kepercayaan (trust), adanya politisasi, dan komunikasi bermasalah.
"Memang kita tidak bisa menyediakan total dana, namun kami sudah menawarkan proposal dengan membentuk konsorsium. Namun sampai saat ini kami tak memperoleh respon," jelas John. Konsorsium yang dimaksud John adalah bekerjasama dengan perusahan dari Tiongkok dan Singapura. Sikap menunggu adalah pilihan yang terpaksa PT JM pilih.
"Jadi atau tidak jadi proyek monorel ini, menjadi bukan masalah kita lagi. Kita hanya sebagai pelaksana," tambahnya dengan nada tegang.
Kondisi itulah yang akhirnya berlarut-larut, karena tidak adanya titik temu dan simpang siurnya permasalahan. Sementara publik hanya bisa bertanya-tanya dan mengetahui informasinya dari media. Informasi dari media inipun dituding pihak PT JM tidak tepat dan tidak berimbang. Sementara itu di media Ahok menilai bahwa terganjalnya proyek monorel dikarenakan hingga kini PT JM masih belum menyelesaikan beberapa hal yang dipersyaratkan oleh pemerintah DKI untuk pembangunan proyek transportasi itu, yakni pengkajian mengenai teknis konstruksi jalur monorel, serta modal.
Yang Dibutuhkan, Yang Tercampakkan
Mengingat urgensi dan solusi yang telah diambil dengan pembangunan megaproyek monorel itu, seyogyanya bisa segera lancer terwujud. Mengabaikan soal politis demi kepentingan publik yang lebih penting. Membangun komunikasi, kepercayaan rekanan harus dilakukan segera secara bertahap. Jika tidak, sampai kapan tiang-tiang monorel itu tetap menghiasi ibukota? Lalu bagaimana dengan mobilitas warga yang semakin tinggi dari tahun ke tahun? Kita berpacu dengan waktu. Semoga PT JM dan Pemprov DKI Jakarta yang terkait langsung soal transportasi massal ini bisa segera menemukan titik temu dan menguntungkan bagi publik. Sayang sekali bila monorel yang sudah dijalankan, terus dicampakkan. Ada dana rakyat di dalamnya, yang harus dipertanggungjawabkan. (*)
[caption id="attachment_327779" align="aligncenter" width="620" caption="Acara Kompasiana Nangkring tentang Monorel. (foto pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H