Aku sudah bosan dengan bau rumah sakit yang kian hari terasa meracuniku. Aku ingin menghirup udara luar lagi. Dua bulan lebih berada di tempat seperti ini rasanya seperti mau mati. Kebebasanku dibatasi oleh selang-selang yang menempel di tubuhku ini. Rasanya aku ingin melepaskan semua ini dari tubuhku satu persatu.
Aku ingin melihat langit barang sebentar. Aku juga ingin melihat pemandangan Kota Cahaya lagi di malam hari. Aku rindu pergi ke Notre Dame. Aku juga rindu dengan es krim gelato yang di jual di pelataran Menara Eiffel, menara yang menjadi salah satu dari keajaiban dunia dan perlambang cinta abadi itu selalu bisa membuatku takjub karena keindahannya. Aku ingin membagi perasaan takjub itu suatu hari nanti dengan seseorang yang aku cintai.
“Aku rindu Paris” gumamku. Suster Anne melirikku.
“Ini Paris, Adamus” katanya sembari mengganti infusku. Aku hanya cemberut,”Kau pikir kau ada di mana, Nak?”
“Aku di rumah sakit dan itu membuatku merasa lebih buruk dari sebelumnya”
“Nah, selesai” katanya sembari membereskan peralatan yang ia gunakan tadi,”Kau bosan di dalam sini? Baiklah, aku antar kau jalan-jalan” ia mendorong kursi roda yang ada di sudut ruangan lalu membantuku untuk turun dari ranjangku.
Aku diajak berkeliling taman yang ada di sekitar rumah sakit. Tapi tiba-tiba ada yang memanggil Suster Anne untuk keperluan lain. Ia pun memintaku untuk tinggal beberapa saat di bawah pohon ek rindang yang berada di tengah-tengah taman.
“Halo!” seorang gadis menepuk pundakku, ia tersenyum lebar padaku. Wajahnya ceria sekali. Ia memakai baju yang sama denganku. Ia juga pasien di rumah sakit ini. Gadis itu memakai tongkat yang ia selipkan di ketiaknya. Tangan satunya memeluk sebuah boneka anak lelaki bertangan monster.
“Selamat pagi!! Aku Airia. Senang bertemu denganmu” ia menyapaku dengan semangat. Aku tersenyum.
“Aku Adamus. Senang juga bertemu denganmu, Airia”
“Apa kau pasien baru? Aku baru melihatmu hari ini” tanyanya. Aku menggeleng.
“Aku sudah dua bulan lebih di sini. Bagaimana denganmu?”
“Hm, aku bahkan lupa sudah berapa lama aku di sini. Mungkin tujuh, atau delapan bulan ya?” ia menghitung dengan jarinya. Aku terkejut. Anak ini...lama sekali ia tinggal di rumah sakit ini. Apa ia tidak ingin hidup seperti sediakala layaknya anak seusianya? Sakit apa dia sampai tinggal selama itu di sini? Dan..kenapa ia masih bisa terlihat begitu senang?
“Kau sakit apa?” matanya yang bulat seperti buah lengkeng menatapku. Lucu.
“Aku kecelakaan dan mengalami pneumuthorax. Kau tau pneumuthorax?”
“Semacam sesak nafas di dada?”
“Bisa dibilang seperti itu, tapi ini lebih parah dari hanya sekedar sesak nafas biasa, Airia. Bagaimana denganmu? Kau sakit apa? Kenapa bisa selama itu kau berada disini?”
“Aku juga tidak tahu penyakit apa yang aku derita. Kata Dokter Rene, aku akan sembuh. Ia bilang, obat untukku sedang dibuat jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama”
Begitulah perkenalanku dengan gadis bernama Airia. Ia gadis yang ceria. Ia bilang, semua pasien di sini adalah temannya. Ia menyadarkanku kalau masih ada orang yang kurang beruntung dariku. Gadis itu, apa ia tidak merasa kebebasannya direnggut? Apa ia tidak rindu melihat dunia luar? Dan kenapa ia masih bisa tersenyum sementara ia tidak tahu apa yang ia derita? Delapan bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk seorang pasien yang tidak tahu apa yang ia derita. Itu seperti menunggu kematian, tak pasti.
Semenjak itu, Airia sering menjengukku. Ia bisa tiba-tiba tahu di mana aku dirawat padahal aku tidak memberitahu di mana kamar rawatku. Ia bilang, ia sudah tahu setiap sudut dari rumah sakit itu hingga ia bisa menemukan pasien yang ia cari dengan mudah. Kata-katanya itu terdengar ironis untukku. Itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan, Airia.
“Suster Anne, kau kenal gadis bernama Airia?”
“Gadis ceria itu ya? Nasibnya malang sekali”
Suster Anne pun menceritakan apa yang terjadi pada Airia. Gadis yang tinggal berbeda beberapa kamar dari kamarku itu rupanya menderita penyakit yang jarang sekali ditemui. Penyakit itu terjadi karena kemampuan otak seseorang yang terus berkurang seiring pertambahan usianya hingga kelumpuhan akan menggerogoti tubuh orang itu dan berakhir pada kematian. Masih belum ditemukan obat bagi penyakit yang satu ini karena hanya ada beberapa kasus saja di dunia sehingga masih sulit untuk diteliti.
Suster Anne juga bilang bahwa selama berada di sini, Airia hanya beberapa kali dijenguk oleh kedua orang tuanya. Bahkan teman dan saudara pun tak pernah ada yang menjenguknya. Menyedihkan sekali anak itu. Pantas saja ia selalu menyapa semua orang. Ia tidak pernah benar-benar memiliki seorang teman. Aku beruntung masih memiliki Rayne, kakak perempuanku dan kedua orangtua yang masih memperhatikanku. Mereka selalu ada ketika aku membutuhkan mereka.
Aku selalu bermain dengan Airia. Kami saling bertukar cerita. Dan ada beberapa topik yang selalu senang ia ceritakan padaku, yang pertama adalah kisah bonekanya yang bernama Kyutaro—alien yang menyamar menjadi manusia dan jatuh cinta pada seorang anak SMA, dan alien itu rela membalikkan waktu hanya untuk bertemu gadis yang ia cintai itu—Airia selalu suka cerita tentang Kyutaro. Ia bilang, kisah itu memberikan harapan untuknya. Kyutaro adalah sesuatu yang paling ajaib yang pernah ia baca. Selama masih ada harapan, manusia tidak akan pernah mati. Dan selama masih ada keajaiban, kehidupan manusia tidak akan berakhir, itulah kata-kata yang selalu aku ingat darinya.Yang kedua, ia selalu bercerita tentang betapa ajaibnya Perancis di matanya. Ia sempat bercerita tentang kotak pos ajaib yang ada di Bukit Mere, di daerah Champagne tepatnya. Kotak itu bisa mengirimkan surat ke mana saja tanpa perlu alamat, bahkan kita bisa mengirimkan surat kita kepada Tuhan dari sana. Ia bilang, tempat itu adalah tempat pertama yang akan ia kunjungi setelah ia keluar dari rumah sakit. Aku miris mendengarnya. Aku merasakan semangat hidup yang tinggi darinya. Gadis itu bisa tertawa begitu geli padahal kematian sedang menunggu waktu yang tepat untuk menjemputnya. Dan yang terakhir, ia senang bercerita tentang gadis yang sering menjenguknya. Ia memanggil gadis itu dengan Gadis Berry karena gadis itu senang sekali dengan buah berries. Gadis itu pula yang sering membaginya keindahan Kota Cahaya lewat foto-foto yang diambilnya khusus untuk Airia. Airia selalu suka Paris di malam hari. Itu mendorongku untuk melakukan hal yang sama untuk Airia. Aku ingin membagi keindahan dunia luar itu dengan Airia. Aku ingin menikmati Eiffel bersama dengannya.
Besok aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Aku senang, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benakku. Airia. Aku pergi ke kamarnya malam itu, tapi tiba-tiba beberapa orang dokter mendahuluiku masuk ke kamar Airia. Mereka seperti sedang dikejar waktu.
“Maaf, Suster. Apa yang terjadi dengan pasien yang ada di dalam?” tanyaku.
“Kondisinya menurun drastis. Tekanan darah dan detak jantungnya tidak stabil. Tiba-tiba saja kondisinya jadi sangat kritis”
Aku diam semalaman. Rayne tahu apa yang aku pikirkan. Aku sudah menceritakannya tentang Airia. Ia pun turut sedih dan berdoa untuk kesembuhan Ariria.
Siang ini aku akan pulang. Ibu dan Rayme membantuku mengepak semua barangku. Sebelum pulang, aku menyempatkan diriku untuk menemui Airia. Aku berharap semoga ia sudah baikan saat ini.
Aku menyembulkan kepalaku ke dalam kamarnya. Aku melihat ia masih tertidur. Aku mendekati ranjangnya. Banyak selang life support yang dipasangkan ke tubuhnya. Airia, kebebasanmu kembali direbut ya? Aku ingin sekali melepaskan semua benda ini dari tubuhmu, tapi hanya dengan ini kau bisa bertahan hidup. Airia, menurutmu mana yang lebih penting: hidup atau kebebasan? Karena saat ini, kebebasana yang kau miliki sangatlah bertentangan dengan kehidupan yang harus kau jalani. Aku menggenggam tangannya. Dingin. Airia, aku janji akan membawamu melihat Kota Cahaya di malam hari.
“Airia, aku bawa sekeranjang roti untukmu hari ini!!!” tiba-tiba seorang gadis masuk ke kamar Airia. Ia hampir saja berteriak, senang. Aku menoleh. Mata kami bertemu. Gadis itu hanya menatapku ingintahu ketika melihatku berdiri di samping Airia yang sedang terbaring lemah. Ia masuk lalu mendekati kami berdua,“Apa yang terjadi?”
“Semalam, kondisinya kembali kritis” kataku sembari menatap Airia.
“Airia, bangun!! Kau gadis yang kuat, Sayang. Bangunlah!!” ia mengguncang pundak Airia lalu menggenggam erat tangan Airia,“ Kau...keluarganya?” tanyanya tiba-tiba. Aku menggeleng.
“Setahuku, ia tidak punya keluarga selain kedua orangtuanya yang juga jarang menjenguknya” kataku singkat. Ia memiringkan kepalanya.
“Benarkah? Jadi, selama ini ia berbohong padaku? Ia bilang ia senang sekali memiliki kedua orangtua yang amat menyayanginya. Ia selalu bercerita seakan kedua orangtuanya itu selalu berada di sisinya. Astaga, kenapa kau seperti ini, Airia?” gadis itu mulai berkaca-kaca.
“Hanya ia yang tahu alasan untuk jawaban pertanyaan itu”
“Airia, lihat! Aku sudah bawa foto yang kau minta. Kau ingat, minggu lalu kau minta foto festival kembang api di Notre-Dame kan? Aku sudah membawakannya untukmu, Airia. Bangunlah!!” gadis itu mengeluarkan banyak sekali lembaran foto dari tasnya. Semua gambar itu terlihat indah. Sepertinya ia benar-benar berniat membagi keindahan itu untuk Airia. Aku jadi teringat akan janjiku. Aku pun melangkah pergi dari tempat itu.
“Mau ke mana kau?”
“Pulang”
“Pastikan kau melihatnya lagi ketika ia sudah keluar dari tempat ini” katanya. Aku hanya diam. Pintu tertutup secara otomatis. Aku pun berlalu dari tempat itu.
Aku sudah kembali ke sekolahku. Aku kembali ke kehidupan awalku. Kehidupan seorang remaja SMA yang diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Aku bertemu dengan teman-temanku. Mereka semua menyambutku. Rasanya hangat sekali. Aku beruntung memiliki teman-teman seperti mereka. Airia, andai kau bersama denganku sekarang, pasti kau juga akan merasakan kebahagiaan yang sama denganku.
Sore itu, aku datang ke rumah sakit untuk menjenguk Airia. Tapi aku tidak menemukan Airia di kamarnya. Aku segera menanyakan hal itu ke meja informasi.
“Airia sedang berada di taman. Kau temannya?” tanya suster itu, tapi aku segera pergi ke taman untuk menemui Airia.
Aku melihat gadis itu tengah merenung di pinggiran kolam ikan. Cahaya lampu taman di dekat kolam menerangi wajahnya. Ia tampak begitu sedih. Aku pun menghampirinya.
“Ikannya mati semua ya, sampai kau terlihat begitu sedih?” tanyaku sembari melihat ikan-ikan yang masih lincah berenang di dalam kolam itu. Ia menoleh ke arahku, aku meliriknya. Aku menemukan senyum yang biasanya tapi kali ini matanya berkaca-kaca. Aku balas tersenyum sembari menghapus air matanya yang mulai mengalir. Ia menuliskan sesuatu itu sebuah papan dengan susah payah. Meski tidak begitu bagus, aku masih bisa mengerti apa yang ia tulis.
“Kau sudah pulang. Kenapa kemari? Sedang check up?” aku melirik gadis yang sedang menatapku sekarang. Kenapa kau harus menulis sementara kau bisa berbicara? Airia, apa yang terjadi padamu?
“Aku rindu Airia” aku mengedipkan mataku. Ia tersenyum. Itu masih senyum yang sama dengan senyum yang terakhir kali aku lihat.
“Kau merasa lebih baik dari sebelumnya”
“Ya, berkat kedatanganmu kemari, aku merasa lebih baik”
“Kau ingat janjiku?”
“Janji yang mana?” ia memiringkan kepalanya.
“Aku akan membawamu melihat Kota Cahaya. Kau mau?” aku melihat matanya kembali berkaca-kaca. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan,”Aku akan menculikmu dari sini. Kau sudah lebih baik kan? Jadi, aku bisa membawamu keluar sebentar kan?”
Tanpa menunggu jawabannya, aku segera membantunya untuk berdiri dari kursi rodanya. Aku memakaikan mantelku padanya. Aku pun menggendongnya ke tempat aku memarkirkan sepedaku. Aku berusaha agar tidak terlihat oleh penjaga ataupun perawat yang lewat. Dan beberapa menit kemudian, aku sudah berhasil membawanya keluar dari rumah sakit. Aku mengayuh sepedaku dengan semangat. Ia memegangi kemejaku dengan erat. Aku tidak mendengar suaranya tapi aku merasa ia senang saat ini.
Lampu jalanan menyala, menerangi tiap meter jalan yang kami lewati. Malam ini tidak sesepi biasanya ketika aku pergi keliling kota sendiri, karena malam ini ada Airia di belakangku. Angin malam memeluk kami. Dingin. Tapi tidak sedingin biasanya, ini terasa lebih hangat. Ya, karena ada Airia di belakanganku. Ini perjalanan mengelilingi Paris yang paling sunyi yang pernah aku lewati, padahal ada seseorang yang duduk di belakangku.
Ketika satu-satunya keingangan yang kau inginkan sudah ada di depan matamu, akankah kau banyak bicara? Tidakkah menikmatinya dengan matamu itu sudah cukup? Karena kebahagiaan itu sedang mengalir deras keluar dari tubuhku.
Airia, kau dengar aku? Ayo kita hirup wangi kebebasan yang hanya kita punya beberapa jam ini saja! Ayo kita lihat bintang malam ini meski lampu-lampu kota menghalangi terangnya bintang-bintang itu sampai ke bumi! Ayo kita berharap akan ada bintang jatuh lalu kita buat permintaan, siapa tahu Tuhan mendengar doa kita! Aku percaya padaNya, meski Ia hanya diam di suatu tempat, melihat kita berdua. Melihatmu tersenyum di belakangku karena melihat ini semua. Aku akan mengembalikan ingatanmu akan Paris. Tempat ini, tempat di mana semua keajaiban berawal. Bagimu, bagiku.
“Kau tahu, malam ini adalah keajaiban untukku. Terimakasih banyak” aku membaca tulisannya itu lalu tersenyum. Kalau aku mempunyai seorang adik, apa aku bisa menjadi kakak yang baik untuk adikku itu? Dan jika adikku sepertimu, apa aku akan melakukannya hingga sejauh ini?
Aku mengajaknya untuk naik ke puncak Menara Eiffel. Aku tahu sebenarnya inilah yang selama ini ingin ia lakukan, tapi ia tak pernah punya waktu untuk sekedar melihat cahaya kota dari puncak tertinggi Kota Cahaya ini.
Beberapa menit kemudian, kami sudah ada di atas. Angin bertiup sangat kencang di puncaknya. Airia berteriak, tanpa suara. Tapi aku bisa mendengar suaranya yang senyap itu, terbawa angin. Mungkinkah itu jeritan hatinya yang terlalu perih menahan rasa sakitnya selama ini? Anak ini...tubuhnya terlalu mungil untuk gadis berusia sepuluh tahun yang menahan semua beban dan kesepiannya sendiri. Ia gadis yang kuat. Aku jarang sekali melihatnyanya menangis, mungkinkah ia sudah kehabisan air mata karena sudah terlalu sering menangis? Di depanku, ia hanya tertawa dan tertawa. Kadang ia ganti dengan senyuman lebar. Apa yang kau punya hanya kebahagiaan untuk di bagi?
“Langit ini terlalu luas untuk dinikmati sendiri. Jika nanti kau dan aku sudah tidak bisa bersama lagi seperti saat ini, maukah kau menemukan orang lain untuk berbagi demi aku?” aku diam sesaat. Ini bukan kalimat perpisahan kan, Airia? Aku hanya ingin memastikan yang satu itu.
“Sahabat kecilku, kenapa aku harus menemukan orang lain sementara di tempat lain—yang jauh sekalipun—kau menikmati langit yang sama juga bukan? Kita akan tetap berbagi.Ya kan?”
“Kau lelaki yang baik. Aku yakin, kelak akan ada begitu banyak orang mencintaimu dan menyayangimu. Karena hanya ada seorang Adamus yang sepertimu. Andai aku harus dilahirkan kembali, aku memilih menjadi wanita yang bisa kau cintai” aku tersenyum membaca kalimat terakhirnya. Apa itu berarti kalimat pengakuan cintanya? Tapi ia tersenyum, sangat tulus. Aku juga tidak menemukan wajahnya yang malu-malu ketika menatapku.
“Kau gadis yang manis, Airia. Di suatu tempat yang mungkin tidak kau ketahui, pasti ada seseorang yang sedang menunggumu”
“Ingat ya, gadis itu berambut hitam, lurus dan panjang. Ia tidak bisa ditebak seperti buah berries. Mungkin saja gadis itu Gadis Berry?”
Aku tersenyum, mengacak-acak rambutnya yang berwarna coklat. Kali ini rambutnya yang bergelombang layaknya ombak di pesisir itu tidak diikat. Mata lengkengnya yang bulat bicara lebih banyak daripada kata-kata yang ia tulis. Aku mengerti apa yang ia maksud.
“Kita lihat saja nanti, Airia. Pastikan ketika aku menikah nanti, kau duduk di antara para saksi pernikahan yang datang”
“Baik. Aku akan ingat itu, Adamus”
Aku mengantarnya kembali ke rumah sakit ketika hari sudah larut. Entah akan diapakan aku oleh para perawat atau dokter yang mengurusnya bila tahu ia keluar hingga larut dengan kondisi seperti ini. Di jalan, ia menepuk pundakku. Aku berhenti. Ia menunjuk ke sebuah toko es krim. Ia ingin es krim. Aku pun turun dari sepeda dan menyuruhnya untuk tidak pergi ke mana-mana sampai aku kembali. Ia pun mengiyakannya. Aku pun berlari kecil ke arah toko es krim itu. Aku memesankan beberapa rasa untuknya. Entah kenapa malam itu aku merasa senang. Senang karena apa? Aku saja tidak tahu.
Aku keluar dari toko es krim itu dan menemukan ada kerumunan orang di sekitar tempat di mana tadi aku memarkirkan sepedaku. Aku segera berlari ke sana. Menembus kerumunan dengan susah payah. Hingga aku menemukan Airia sudah terkulai lemah di pangkuan seorang gadis yang meneriaki namanya. Gadis itu... gadis yang waktu itu menjenguk Airia, Gadis Berry.
“Airia!! Bangunlah! Siapa yang membawamu kemari?!!Siapapun bantu aku!!” gadis itu terus saja berteriak namun tidak ada yang membantunya. Aku menghampirinya.
“Apa yang terjadi dengannya? Kenapa bisa begini?”
“Kau...kau yang membawanya kemari?” tanyanya, tatapannya sinis padaku. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Aku...” aku tidak tahu harus berkata apa.
“Pikir apa lagi?! CEPAT BANTU AKU!!! teriaknya padaku. Aku pun mencoba mengangkat tubuh Airia meski dengan susah payah, hingga datang seorang lelaki memintaku untuk memindahkan tubuh Airia ke tangannya. Lelaki itu yang membopong Airia sementara aku dan gadis itu mencoba memberhentikan taksi yang lewat.
“Izinkan aku ikut” pintaku pada gadis itu sebelum ia menutup pintu taksi. Ia masih menatapku dengan penuh emosi.
“Mati saja kau!” katanya, membanting pintu mobil dengan keras di hadapanku. Aku melihat taksi pergi menjauhiku. Begitu pula Airia.
Aku segera mengayuh sepedaku dengan cepat menuju rumah sakit di mana Airia dirawat. Aku memarkirkan sepedaku begitu saja sesampainya di sana. Aku segera berlari ke bagian informasi menanyakan Airia. Ia masuk unit gawat darurat. Aku bertemu dengan Gadis Berry itu di ruang tunggu, ia sedang terisak. Gadis itu memeluk erat boneka Kyutaro di tangannya, boneka lusuh yang selalu Airia bawa ke mana pun ia pergi. Aku mendekati gadis itu. Ia menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan benci. Mungkin ia sedang menyumpahiku karena telah berbuat sesuatu yang mencelakakan Airia.
Setelah malam itu, aku tidak pernah kembali ke rumah sakit. Bukan karena aku takut tapi aku tidak diperbolehkan oleh Ayah keluar hingga larut malam tanpa alasan yang jelas. Rayne sudah coba menjelaskannya pada Ayah, tapi ia tidak mau mengerti.
Hingga suatu hari, aku berhasil mencuri waktu untuk pergi keluar dengan alasan ingin membeli buku untuk persiapan ujian dengan teman-temanku yang lain. Aku pun pergi ke rumah sakit. Dengan semangat aku memasuki kamar nomor 201, tempat di mana Airia tinggal selama ini. Tapi aku tidak menemukan siapapun di sana. Kali ini berbeda. Aku tidak menemukan semua alat yang seharusnya terpasang di tubuh Airia sedang dalam keadaan ditinggalkan pemiliknya, melainkan kamar itu benar-benar kosong tanpa penghuni. Aku bertanya pada perawat yang lewat.
“Ah, Airia ya? Aku rasa tiga hari yang lalu ia dipindahkan oleh orang tuanya”
“Ke mana?”
“Aku tidak tahu, kau bisa menanyakannya ke bagian informasi” Aku pun segera berlari ke bagian informasi di lantai bawah.
“Airia, ke mana dia dipindahkan?”
“Mungkin maksudmu Airiana ya? Tunggu sebentar” petugas itu mencari data yang ada di komputernya,”aku rasa ia dipindahkan ke rumah sakit lain. Kedua orang tuanya tidak melampirkan rumah sakit yang jelas di sini. Tapi rasanya, mereka pernah bilang kalau Airia akan di bawa untuk berobat di luar negeri” kata petugas itu.
Sembilan tahun kemudian
Semenjak malam itu—malam terakhirku bersamanya, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tidak pernah mendengar berita tentangnya lagi. Hingga detik ini, detik di mana aku akan menikah dengan wanita yang aku cintai. Aku lupa dengan khayalannya mengenai wanita yang akan menikahiku. Yang aku ingat, hanya janjinya padaku untuk duduk di antara para saksi pernikahanku nanti. Tapi rasanya, ia tidak akan menepati janjiku.
Ini detik-detik di mana aku harus menunggu pengantin wanita datang ke hadapanku untuk mengucapkan sumpah sehidup semati kami bersama di hadapan pendeta. Pandanganku menyapu seluruh mata yang menatapku. Aku melirik Rayne yang tersenyum lebar padaku tapi tiba-tiba ekor mataku menangkap seorang gadis bergaun putih, bertopi bunga-bunga lebar warna-warni mencolok yang membawa sebuah rangkaian bunga duduk di antara para saksi. Tapi ketika aku melihat ke arahnya, aku tidak melihat siapapun. Tempat itu kosong. Aku pun menepis pikiran burukku.
Kini kami sudah berada di acara resepsi pernikahan kami, aku dan wanita yang aku cintai. Kami semua bersuka cita hingga untuk kedua kalinya, aku melihat seorang gadis bergaun putih, bertopi bunga-bunga lebar warna-warni yang mencolok sedang membawa karangan bunga dan sebuah boneka. Aku mencari gadis itu di antara kerumunan, tapi aku tidak menemukannya. Hm, siapa gadis itu? Apa ia seorang kenalan istriku? Tapi rasanya aku sangat familiar dengan penampilannya, meski aku belum sempat melihat jelas wajahnya.
Sore hari, ketika para senior mengunciku di luar karena tidak memperbolehkanku untuk kembali ke apartemenku, aku menemukan sebuah surat tergeletak di depan pintu apartemenku. Surat tak bernama dan tak beralamat. Aku pun membukanya.
Dear Adamus,
Aku harap kau baik-baik saja saat ini. Semoga surat ini sampai tepat waktu ke tempatmu. Sebelum aku pergi, aku sengaja menyempatkan diri datang ke tempat ini. Champagne. Kau ingat? Aku tidak terlalu percaya dengan legenda tapi aku percaya akan keajaiban. Kau tahu itu, Adamus.
Maaf, aku pergi tanpa memberitahumu. Semenjak hari itu, kau tidak pernah lagi datang ke rumah sakit untuk menjengukku. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku yakin kau punya alasan untuk itu, dan itu hakmu. Aku tidak tahu ke mana aku harus menghubungimu. Aku harap dengan adanya surat ini, kau bisa tahu kalau aku baik-baik saja di sini (setidaknya hingga detik di mana aku menuliskan surat ini padamu). Aku harap kau juga baik-baik saja.
Jika suatu hari nanti kau menemukan gadis itu, kau harus ingat aku dan berterimakasih padaku karena aku sudah memberitahukan ciri-ciri gadis itu. Haha, aku bercanda. Tapi seandainya benar, gadis berambut hitam, lurus dan panjang yang mirip dengan buah berries itu benar adanya, tandanya aku sedang beruntung ketika aku mengatakannya. Tapi aku yakin bagaimanapun bentuk gadis itu, ia adalah gadis yang baik. Karena kau juga adalah orang yang baik. Kata Gadis Berry itu, wanita yang baik diciptakan untuk lelaki yang baik pula. Kau orang yang baik, pasti akan mendapatkan gadis yang baik pula. Tapi jika kau mendapatkan Gadis Berry itu, percayalah, itu benar-benar keajaiban yang wajar ^_^
Aku akan menepati janjiku padamu. Meski aku tidak tahu di mana kau berada sekarang, tapi aku sudah berjanji padamu. Apapun yang terjadi nanti aku akan berusaha datang untukmu. Aku ingin membuktikan sendiri kata-kataku malam itu. Aku ingin melihat siapa wanita beruntung itu. Ini janjiku padamu.
Adamus, terimakasih. Kau sudah mewujudkan satu keajaiban itu. Aku merasa seperti hidup kembali dari mati suriku. Kau...berbeda dengan yang lainnya. Aku beruntung mengenalmu. Tuhan sangat baik telah mempertemukanku denganmu. Mungkin malam itu adalah malam terakhirku melihat Paris di malam hari, karena setelah ini aku tidak akan lagi tinggal di Paris. Tapi jauh...jauh sekali dari tempat ajaib yang satu itu. Dan tentunya jauh darimu.
Aku pasti akan sangat merindukanmu, Adamus. Jaga dirimu.
Sampai jumpa suatu hari nanti.
Airiana Bruni
PS:
Jika nanti kau lupa siapa aku, aku akan berpakaian paling mencolok di antara yang lainnya. Kalau perlu aku akan menggunakan gaun serba putih dan topi bunga warna warni yang mencolok, agar kau mengenaliku :)
Aku jatuh terduduk. Mungkinkah gadis yang tadi pagi aku lihat adalah...Airia? Ia...
***
Di suatu tempat yang jauh, tiba-tiba saja bendera sebuah kotak pos yang berada di sebuah bukit itu berdiri, pertanda ada surat yang masuk.Ia menunggu untuk sampai ke alamat yang ia tuju.
Dear Adamus,
Aku sudah melihatnya. Wanita itu benar-benar mirip seperti yang aku katakan padamu ya? Dan andai kau tahu, wanita itu mirip sekali dengan Gadis Berry yang pernah aku ceritakan padamu. Mungkinkah ia adalah Gadis Berry itu? Jika benar, maka keajaiban itu sungguh terjadi ya? Andai keajaiban itu ada padaku dan terjadi di dalam hidupku. Setidaknya aku sudah menepati janjiku kan? Aku sudah datang. Apa kau melihatku? Semoga saja kau sempat melihatku, karena hadir di antara kerumunan itu sulit sekali. Tapi aku turut bahagia atas kebahagiaanmu. Teruslah hidup seperti hari ini. Karena kau orang yang baik. Kau adalah lelaki yang mudah dicintai. Aku akan merindukanmu, selalu.
Airiana Bruni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H