Mohon tunggu...
Ragil Nugroho
Ragil Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

editor

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seribu Wajah di Cermin Retak (Bagian 1)

26 Januari 2011   08:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Yaa!!" teriakku senang.

Dengan agak menyeret langkah, karena sebelah kakiku mulai kebas, kupaksa berjalan cepat menghampiri Melan. Saking tergesanya, hampir saja aku terjatuh.

"Yuk, Mel. Kita cabut aja biar cepat sampai rumah," ajakku begitu sampai di dekatnya.

Terlihat Melan tersenyum kikuk.

"Mm...Sori, Ra. Kayaknya, malam ini kita tidak bisa pulang sama-sama, deh. Aku masih mau jalan-jalan dengan Om Yus. Tidak apa-apa, kan?" jelas Melan dengan nada bersalah dan tatapan mohon pengertian. Aku tahu maksud kata 'jalan-jalan' dalam kamus Melan. Itu artinya ia lembur untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya: menemani tidur para laki-laki kesepian.

Aku tersenyum maklum. Untuk mengejar uang, kita memang terkadang harus merelakan seluruh waktu kita-meski untuk bernafas sejenak sekalipun-dibeli oleh mereka yang berpunya. Di saat sudah tidak ada lagi yang bisa dijual, waktu, tubuh dan bahkan nafas termasuk yang bisa diperjualbelikan jika ada yang mau beli. Dan Melan termasuk tipe orang yang akan menjual semuanya demi adik-adiknya yang masih kecil-kecil dan yatim piatu. Melan yang sudah kehilangan keperawanannya sejak remaja memang berprofesi ganda; sebagai pelayan biasa di night club dan sebagai WTS di luar jam kerja. Sedangkan aku, benar-benar bekerja jujur sebagai pelayan. Aku masih punya kehormatan dan keperawanan yang harus kujaga.

"Nggak apa-apa, kok. Aku kan juga biasa pulang sendiri," jawabku tetap ramah. Walau awalnya aku agak risih juga melihat temanku akan dibawa om-om senang seperti Om Yus.

"Sekali lagi maaf ya, Ra. Harusnya tadi tidak kubiarkan kau menunggu lama di parkiran. Abis..." Wajah cantik tapi kuyu Melan dipenuhi rasa bersalah.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa, kok." Kutepuk bahu mungilnya yang telanjang karena baju yang dipakainya memang tidak berlengan; kemben ketat warna merah marun yang ditaburi manik kecil-kecil. "Sana pergi, gih. Om Yus sudah menunggumu di mobil."

Di parkiran, lampu BMW metalik milik pria kaya setengah baya itu berkedip tak sabar.

"Iya deh, Ra. Aku pergi dulu, ya?"

"He-eh. Hati-hati di jalan, Mel."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun