JAKARTA. Jika Anda mengira gelandangan menomersatukan makan-minum dan masa bodo dengan tidur maka Anda salah besar. Gelandangan di kota besar jaman sekarang justru lebih cemas memikirkan tempat tidur daripada makan minum.
 Mengapa?
 Ijinkan saya bahas sesuai pengalaman pribadi. Pada dasarnya cari makan-minum untuk sekedar menyambung nyawa sungguh tidak sulit. Anda hanya perlu sepiring nasi dan segelas air. 3x sehari selesai. Untuk itu Anda bisa jual tenaga untuk jadi kuli atau pekerjaan lain yang lebih rendah. Dijamin tidak kelaparan. Tempat tidur lain lagi. Ini tempat jiwa raga beristirahat. Tidur yang sehat membuat jiwa raga kembali hidup bersemangat bagaikan matahari menyinsingkan baju di pagi hari.Â
Tapi sudah lumrah kita menyepelekan mahalnya nilai aktifitas tidur. Jika Anda dalam posisi gelandangan, atau berpengalaman menggelandangkan diri, maka pusat perhatian Anda berubah total. Yaitu ketika Anda jobless dan homeless (bahasa halusnya: tuna karya dan tuna wisma). Tiap hari Anda berpikir keras "MAU TIDUR DI MANA?"Â
Jangan harap orang lain tau pedihnya derita yang Anda rasakan karena setiap orang mengukur dengan kondisinya sendiri. Orang yang hidup normal pasti gagal merasakan pahitnya pergulatan gelandangan untuk mengatasi tekanan lapar, haus, dan ngantuk. Ini beda jauh dengan orang berpuasa satu bulan penuh untuk latihan merasakan hidup susah. Beda jauh sekali.Â
Orang normal yang berpuasa sudah punya jaminan sore nanti makan apa dan tidur di mana. Gelandangan tidak punya jaminan. Semua dalam tanda tanya.Â
Maka perbandingan rasa laparnya gelandangan jauh lebih dalam daripada laparnya orang normal yang sedang berpuasa. Bila Anda sedang berpuasa kemudian Anda yakin turut merasakan laparnya gelandangan maka Anda terbawa angan-angan. Laparnya Anda hanya permainan menunda waktu makan. Laparnya gelandangan adalah campuran antara perjuangan melawan perut kosong, harapan kosong, harga diri kosong, dan nyawa terancam.Â
Saya telah membuktikannya 2 tahun lalu.
Karena kebanyakan manusia gagal merasakan apa yang gelandangan rasakan akibatnya banyak yang tidak welas asih kepada mereka. Mereka lebih suka nyumbang buat membangun sarana fisik. Di lain pihak, gelandangan juga salah mengambil sikap. Mestinya berharap hanya kepada kasih sayang Tuhan, kasih sayang Allah. Berharap kepada manusia sih sering berbuah kecewa.
Bahkan para ahli ibadah pun banyak yang gagal ngerti dalam perkara ini. Mungkin mereka lupa bahwa salah satu sedekah terbaik menurut Nabi Muhammad SAW adalah memberi makan. Maka wajarlah bila kebanyakan pemilik dan pengurus rumah ibadah tutup pintu buat gelandangan. Tapi buka pintu 24 jam buat para pemberi sumbangan. Wajar pula bila kebanyakan gelandangan tidak menaruh harapan kepada ahli khotbah.Â
Kembali ke awal. Mengapa tidur bernilai amat mahal dan mewah bagi gelandangan?Â