Beginilah bila politisi gagal mengakui kekalahan. Kemudian desparado cari-cari masalah untuk menghina pemenang. Suku Jawa pun jadi sasaran dosa atas kemenangan Jokowi pada Pilkada Jakarta. Begitulah desparado ala pengusung Foke yaitu Ruhut Sitompul dan Melani Meilena. Mungkin dengan harapan agar mereka lepas tangan dari tanggung jawab karena dikalahkan faktor suku, bawaan lahir, benda mati.
Dua petinggi Partai Demokrat itu dengan gegabahnya "ngenyek" pemilih seakan begitu bodohnya milih kandidat hanya karena sesama suku.
Dikutip dari situs BeritaPolitik, 12 Juli 2012. Kata Ruhut Sitompul Ketua Partai Demokrat, "Saya tidak bicara SARA, tapi ini fakta mengapa Jokowi unggul karena dia dari Jawa."
Dikutip dari sumber yang sama. Menanggapi kemenangan Jokowi, berkatalah Melani Meilena, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, "Kami melihat di DKI Jakarta banyak Jawa-nya daripada Betawi."
Jelaslah dari statement di atas Mereka hendak menyampaikan pesan kepada publik bahwa kemenangan Jokowi semata karena faktor solidaritas etnis/suku. Dengan demikian Foke harus terima nasib apes karena terlahir dari rakhim suku Betawi. Dus, mereka berdua, pengusung Foke, tidak boleh dimintai tanggung jawab kenapa jagoannya kalah. Karena di luar jangkauan nalar... * Kesannya seperti itu.*
Benarkah semua itu?
Ternyata bohong besar. Buktinya kandidat dari Jawa lainnya terkapar jauh. Itulah Hidayat Nur Wahid yang berpasangan dengan Didik Rachbini, hanya memperoleh suara 11%. Sementara Foke (Betawi) 34%, Jokowi (Jawa) 43%. Bila tuduhan Ruhut dan Melani benar seharusnya bertukar tempat Foke dengan Hidayat dalam perolehan suara. Toh dua-duanya tokoh publik sama-sama dikenal luas. Tapi tidak demikian bukan?
Semua warga tau...
Meskipun semua Lembaga Survey menempatkan Foke sebagai unggulan teratas namun warga Jakarta punya kebijakan sendiri. Pilkada DKI Jakarta pada 11-07-2012 memberi peluang warga untuk unjuk rasa secara damai lewat pemungutan suara. Pernah 30 tahun saya tinggal di Jakarta hingga September 2011, keluhan warga pada jaman Gubernur Fauzi Bowo (Foke) umumnya adalah sbb:
1) katanya Bang Foke jagonya Jakarta, paling tau tentang Jakarta, koq 5 tahun nggak bisa ngatasi banjir, macet jalanan, kerawanan sosial.
2) katanya putra asli Betawi perlu diberi jatah jadi Gubernur Jakarta karena pasti lebih jago, koq setelah Foke diberi kesempatan tidak lebih baik daripada Gubernur sebelumnya yaitu Sutiyoso (suku Jawa)?
3) Bosen ah, pengen jajal gubernur yang baru siapa tau ada perbaikan. Gak peduli dari mana keq yang penting nyata hasilnya. * maksudnya Jakarta milik semua anak bangsa *.
4) Tambahan: dulu pada Pilkada 2007 banyak etnis Jawa milih Bang Foke karena yakin dialah pilihan terbaik untuk Jakarta. *tidak ada kaitan dengan suku*
Nah, rupanya uneg-uneg warga itu mampu disambut baik oleh tim sukses Jokowi. Kebetulan Jokowi masih muda, populis, bersih, sukses sebagai Walikota Solo. Tambah pula ngetop di luar negeri sebagai walikota teladan. Di Solo sendiri rakyat begitu cinta kepada Jokowi, serupa dengam rakyat Jakarta cinta Bang Ali Sodikin, dulu. Klop deh kedatangan Jokowi ke Jakarta bagaikan "pucuk dicinta ulam tiba". Mungkin begitu bagi warga pengharap perbaikan nasib.
Terakhir... Wajib dicatat inilah dia faktor yang amat menentukan hasil dan nasib sebuah pertandingan: Jokowi bintangnya sedang bersinar gemilang menuju puncak orbit, Foke bintangnya sedang redup menuju akhir masa edar.
:::
* "Desparado" adalah istilah dari dunia catur di mana pihak yang merasa akan kalah ogah ngaku kalah, lalu memangsa buah catur apa saja sekedar untuk pelipur lara, akhirnya kalah juga.
*rujukan berita:
http://kabarpolitik.com/2012/07/12/ruhut-jakarta-banyak-orang-jawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H