Kalian tau namaku adalah Sultana. Kini ijinkan aku bicara kepada dunia selagi aku mampu membuka mulut untuk bersuara. Kalian mungkin ingin tau apa yang aku alami di dalam istana yang sangat mewah dan megah yang kalian dilarang menginjakkan kaki barang sejenak. Yang kalian tau kami-kami para putri di istana hidup sangat berlimpah harta dan kenikmatan dunia. Namun tahukah kalian bahwa kami adalah burung dalam sangkar emas. Kami tidak punya hak bicara dan tidak punya hak memilih. Semua tergantung kaum lelaki. Bahkan aku seusia dewasa ini pun harus tunduk kepada perintah bocah lelaki.
Ya, aku tercipta sebagai boneka bagi lelaki sepanjang umur hidupku. Apakah kalian puas?
Tuhan Allah katanya berfirman demikian. Katanya. Katanya. Katanya. Nyatanya? Kuasa lelaki tak rela perempuan menandingi. Kuasa lelaki memonopoli tafsir ayat suci untuk mengabadikan napsu diri. Kuasa lelaki mengingkari sabda nabi untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Kuasa lelaki melanggengkan adat badui. Adat jaman batu sebelum bersinarnya cahaya suci.
Kini usiaaku hampir 20 tahun dan tahukan kalian bahwa aku mengutuk kecantikan wajahku? Aku melaknat kemolekan tubuhku. Aku benci suara merduku. Aku menyesali keindahan bola mataku. Aku meratapi keagungan rambut panjangku.
Di kamar penganten ini aku sudah lulus ujian dari calon keluarga besan. Mereka membuka celana dalamku lalu memeriksa kemaluanku. Alhamdulillah aku terbukti masih perawan. Mereka puas aku masih suci untuk dihisap sari maduku oleh suami pilihan lelaki di sekitarku.
Namun sesungguhnya aku benci kepada diriku sendiri yang telah menarik hasrat ribuan lelaki - dari pemuda hingga bandot tua untuk meminangku sebagai istri muda entah yang keberapa.
+++
SIAPAKAH AKU? UNTUK APAKAH DIRIKU?
Akulah boneka untuk mainan lelaki di belakang punggungku. Dia memainkan aku untuk kepuasan dirinya. Dia mengatasnamakan aku untuk menutupi niat jahatnya. Dia dibantu oleh sesama laki yang takut terbuka kedoknya. Dia dilindungi oleh perempuan bergincu yang pandai bermanis kata sambil memberi aba-aba. Dia akan begitu selamanya kecuali kaumku sepakat untuk melawan dan berontak.
Entah sampai kapan aku, dan boneka boneka lugu seperti aku mereka tunggangi tanpa belas kasihan. Tanpa sesal. Malah bangga! Entahlah jiwa siapa yang sakit. Jiwaku atau jiwa mereka? Ku akui hatiku terluka. Hatiku sakit. Tapi aku yakin jiwaku tidak sakit. Karena aku bisa menerima kenyataan segetir apapun.
+++