[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Mummy (yahoo.news.com)"][/caption]
Di balik gejolak Revolusi Mesir ada kisah nespata dari dua kota penting di dunia. Yang satu adalah Kairo, kota tua peninggaalan peradaban sejak Raja Firaun. Satu lagi Washington, tempat di mana remote control kuasa dunia dimainkan dengan canggih oleh negara super power, yang secara resmi diduduki oleh Presiden Amerika di ruang oval dalam gedung modern The White House. Akhir Januari 2011 lalu dua buah mummy dipenggal kepalanya oleh penjarah di tengah kekacauan negeri dalam kobaran demo anti Presiden Mesir Husni Mubarak. Pada saat yang sama sebuah mummy lain terpenggal kepalanya di dalam Gedung Putih, tanpa berita.
Adalah rakyat Mesir yang telah kehilangan kesabaran untuk menyarakan aspirasi untuk perubahan menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan berbangsa. Tekad mereka mendapat sambutan hangat dari anak muda melalui jejaring sosial via internet. Penggalangan massa begitu masif kian menggeliat berkat dukungan penuh stasiun TV Al Jazeera yang bermarkas di Doha ibukota Qatar. Ketika polisi menghilang sejak Jumat 28-01-2011, esoknya penjarah merangsek ke dalam Museum Mesir. Mereka mencara emas batangan yang diduga tersimpan dalam mummy. Dan ketika yang dicari tak ditemukan api kemarahan dilampiaskan dengan memenggal dua mummy yang berusia sekitar 2000 tahun.
[caption id="" align="aligncenter" width="405" caption="The White House logo (wikimedia.org)"][/caption]
Zahi Hawas, Mentri Urusan Benda Antik yang baru diangkat, mengkonfirmasikan bahwa dua mummy telah dipenggal tapi bisa disambung kembali. Tentu dengan bekas cacat yang tak bisa disembunyikan. Kepada The New York Time dia berujar tentang aksi demo anti Mubarak, dia berpesan kepada demonstran:
"Should give us the opportunity to change things, and if nothing happens they can march again. But you can't bring in a new president now, in this time. We need Mubarak to stay and make the transition."
Pesan semacam ini dari Hawas, yang menginginkan Mubarak bertahan, adalah mewakili hasrat dan harapan elit Barat pada umumnya baik di pemerintahan, media massa, maupun pebisnis. Sebuah harapan klise untuk menjaga status quo, sekaligus menghianati nilai-nilai demokrasi - sementara mereka gencar menohok sunyi demokrasi di China dan Korea Utara. Sikap ambivalen dan double standard yang memalukan bisa dicermati dari statemen Barrack Obama, Joe Biden dan Hillary Clinton sebelum demo jutaan manusia membanjiri kota-kota penting di Mesir.
Sangat menggelikan ketika sebuah kabar kecil menyusup keluar dari ruang oval Gedung Putih (The White House). Sebuah mummy berusia ratusan tahun dipenggal secara berjamaah oleh semua the powerful people yang hilir mudik setiap detik di Gedung Putih. Bukan jenazah raja masa lalu yang diawetkan, tetapi sebuah mahkota gaib yang diyakini menyinari kebebasan publik seantero bumi. Sebuah "Mummy Demokrasi" baru saja dipenggal kepalanya di akhir Januari 2011.
[caption id="" align="aligncenter" width="463" caption="Al Jazeera network, Doha, Qatar (digitalproductionme.com)"][/caption]
Kini Mahkota Demokrasi telah diambil alih oleh jaringan stasiun TV Al Jazeera. Sebuah kekuatan kecil dari negeri kecil jazirah Arab bernama Qatar. Sebuah kekuatan kecil yang selalu diintai oleh penggede Gedung Putih sebelum mengambil kebijakan. Sebuah kekuatan kecil yang memaksa mereka memasang ranjau agar publik di 50 negara bagian di Amerika kehilangan akses untuk melirik tayangan hidup paling gress, aktual dan komprehensif di Timur tengah. Dan sebuah kekuatan kecil yang mampu menumbangkan dominasi media barat di Timur Tengah. Bahkan rakyat Amerika sendiri banyak yang mencari akses ke Al Jazeera dengan peningkatan minat fantastis berkat kerjasama dengan The Huffington Post. Gap makin melebar antara rakyat Amerika dengan penguasa Amerika. Rakyat bersimpati dengan gelora demokrasi ala People Power Mesir, Gedung Putih ketar-ketir.
Pengamat dan analis pun gamang. Ketika perkembangan poltik begitu cepat merubah konstelasi, banyak pengamat ketinggalan langkah, bahkan menurunkan analisis usang yang berbekal prejudice. Maksudnya kesimpulan sudah digariskan sebelum mencerna perkembangan dan perubahan terkini. Generasi baru pengamat dan analis politik bertumpu dari update berita Al Jazeera untuk memahami secara utuh gambaran komplit apa yang sebetulnmya bergejolak di Timur Tengah beserta beserta pengaruhnya di belahan dunia lain. Bukan lagi dari media Barat yang telah menjadi mummy hanya dengan menyodorkan stereotype akan dunia-dunia lain yang ditaklukannya secara ekonomi.
"Siapa Yang Bermain Di Mesir?" Pengamat dan analis yang terjebak prejudice dan steretype Barat meyakini bahwa Revolusi Mesir adalah rekayasa Amerika, IMF, World Bank, dll hanya karena Mohamed Albaradei calon pengganti Mubarak. Atau paranoid atas kehadiran kelompok Ikhwanul Muslimin yang hanya menguasai tak lebih dari 20% simpatisan Mesir. Sebuah keyakinan dan kesimpulan ganjil dari para pengamat dan analis yang bisa jadi bahan tertawaan rakyat Mesir yang telah bergerak atas kesadaran penuh untuk menuntut haknya sebagai warga negara.
[caption id="" align="alignleft" width="282" caption="Professor Mark Levine (al jazeera.net)"][/caption]
Ketika Al Jazeera membongkar dokumen rahasia setara bobot bocoran Wikileaks hanya jurnalis-jurnalis progresif dari The Guardian Inggris yang bersedia turut menelusuri dan menafsirkan apa yang kemudian dikenal dengan dokumen "The Palestine Papers" sejak 23-01-2011. Tak kurang dari 1600 dokumen penting yang mengungkap dugaan kejahatan Mahmoud Abbas menghianati bangsanya sendiri yaitu Palestina. Dan menegaskan kedudukan Abas sebagai boneka Barat untuk menjamin pendudukan abadi Israel atas Palestina. Perang terbuka antara Palestine Authority (PA) dengan Al Jazeera tak bisa dihindari. Pada saat yang sama Al Jazeera kebanjiran jurnalis progresive dari penjuru dunia untuk bergabung.
Untuk mengammbil contoh salah satu dari sekian analis generasi baru adalah Mark LeVin. Seorang guru besar sejarah di UC Irvine dan senior visiting researcher di the Centre for Middle Eastern Studies di Lund University Swedia. Dialah pengarang buku "Heavy Metal Islam" dan "Impossible Peace: Israel/Palestine Since 1989".
***
RAGILE, 03-feb-2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H