Kematian Sudain dibakar massa menghantarkan demam tinggi sekujur langit. Domba yang dicuri oleh Sudain menuntut balas. Mewujud hantu-hantu kulit domba, menyusup di setiap kelopak mata. Hari ini Desa Teror terlahir dari abu jasad Sudain. Tangisnya menancapkan pedang di kitab besar kerajaan langit. * *
*
[caption id="attachment_238034" align="aligncenter" width="275" caption="Topeng... Topeng.... Kowe sopo? (ksuponiter.com)"][/caption]
Usai mandi sore Siti berkaca di atas air sungai. Bedak Viva digosok ke pipi, lipstik sisa dioles ke bibir. Cengar-cengir memuji diri sambil nyanyi-nyanyi kecil. Ketika membetulkan rok dalam, dia melongo. Siluet serpihan kulit domba terpampang ngambang di pangkal paha. Bagai tattoo kecil mengapung.
"IIIHHHH... APAAN NIH? Tidak mungkin... Tidak mungkiiiin...!!! Ibuuu..." jeritannya melengking, leher tercekik teror penampakan. Lalu raib. "Tidurlah Siti..." teguran dari kamar, "Jangan diingat-ingat peristiwa tadi. Kamu penakut. Perasa. Eh. Maling kudu dihukum bakar biar Mampus!!!" sang ibu yakin. "Bila perlu bakar sekeluarganya. Biar Bebas Maling. iya toh Bu...?" si Bapak menimpali.
*
Bergidik bulu roma, rumah horor membayang, Siti melek sampai pagi. Desa nan indah dan ramah berubah warna. Bau amis darah ada-tiada. Ada apakah gerangan? Karena arus pendatang? Tak percaya aparat hukum? Ragu manfaat jentrak-jentrik ibadah? Ataukah adopsi gaya Arab Saudi "potong tangan maling" dengan sedikit improvisasi? Dalam hati Siti bertanya-tanya. * * Pagi. "Buat apa dipikir? Ikut gue aja Siti... Enjoy... Enjoy..." cibir Reena lalu bersiul-siul di depan kandang domba. Ratusan domba dipotret dalam frame jurus sedih. Ribuan pamflet disulap seharum ziarah surgawi. "SITI. Sekarang jaman edan. Kudu pinter-pinter. Kayak gue nih," pamer Reena. "Pinter apa? Palsuin masa lalu? Jualan foto orang miskin? Menyadur kisah? Dagang ibadah agama? Hi hi hi... Aku nggak bisa. Terlalu bodoh untuk gituan, Reena. Sorry." "AHAAA... Kamu bisa. Kemaren ngebohongi Bapak. Bilang mau les, nggak taunya nonton bioskop, " sindir Reena. Jari tangan Reena bergerilya di atas komputer. Dalam riep-riep setengah sadar terketiklah kalimat:
"SEKARANG JAMAN NARSIS, NGGAK NIPU NGGAK EKSIS"
* *
Siang. Segerombolan bocah-bocah jalanan mengais-ngais sisa makanan dari tong sampah. Kontan Siti merogoh uang jajan untuk diberikan, rasa berdosa bergelayut di kepala. Segumpal awan putih bertahta pualam memayungi Siti. Bocah-bocah sumringah menggamit erat lengannya. Seakan sebuah janji untuk menerbangkan Siti melintasi titian rambut dibelah tujuh, melayang sambil senyum-senyum.
*
Reena buruan ambil foto bareng si miskin untuk dijajakan. "Bukti" mahluk suci maha kasih. Donatur diterawang untuk disetel dalam nada dasar dan koor "kasian". Serentak ratusan hantu tertunduk malu, buruan berbaris di belakang Reena. Saking salut dan minder!!! Reena cekakakan. Puas. Dia paham kekuatan sebuah gagasan (the power of an idea):
Bisnis kemiskinan tidaklah mirip pencuri domba yang bisa dibakar oleh massa
*
Salam tuljaenak,
RAGILE 26-ags-2010
*
* postingan sebelumnya: Topeng Siti Topeng Reena * juga silakan klik tulisan kawan di bawah ini: - @Della Anna………..  KRI Dewaruci Begadang Di Pelabuhan Amsterdam…. - @Ouda Saija………..  Ketiadaan Yang Mematikan - @Dian Kelana………  Cara Mengetahui Tabung Gas Bocor - @Iden Wildensyah… Nalar Induktif Dan Nalar Deduktif - @Silveria Verawati… (Mereka) Berjaga Dengan CCTV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H