[caption id="attachment_127731" align="alignleft" width="101" caption="khotbah populer file wordpress.com"][/caption]
Budaya Ngamuk. Kalau ada yang mengaku nabi, bunuh saja! Kalau ada yang menghina nabi, bakar rumahnya! Siapa yang murtad (keluar dari Islam), sembelih! Kalau berani membangun rumah ibadah di wilayah muslim, hancurkan! Jihad dan pintu-pintu langit menuju surga telah dibuka, mari perang sampai mati sahid!!! Islam tidak boleh dihina, marah dong… marah dong… kalau nggak marah banci!!!
Sungguh mengerikan bukan sumpah-serapah di atas? Sungguh ironis agama Islam yang bangga dengan semboyan “rahmat untuk semesta alam” membumi oleh mulut-mulut murka menjadi “teror kepada semesta alam”. Lalu di manakah wajah Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyanyang? Di manakah kesejukan wajah ilahi Yang Maha Suci lagi Maha Mulia?... Ataukah mata nanar sebagian umat melihat bahwaAllah sedang stresskarena kurang diperhatikan hamba-hambanya?
[caption id="attachment_127733" align="alignleft" width="125" caption="answering wordpress.com"][/caption]
Dialog umat:
“Tuh liat nabi Muhammad dihina, ngamuk dong!!!”
“Lho, katanya disuruh hadapi orang yang menjazalimimu dg akhlak yang lebih baik…”
“Hush! Ngamuk itu bukti imanmu!!!”
“Lho, nabi aja dulu diludahi kepalanya waktu berangkat sholat ke masjid nggak ngamuk. Malah mendoakan yang baik-baik kepada si pelaku dan kirim makanan ketika si pelaku sakit.”
“Hush! Pokoknya harus ngamuk. Paling tidak bikin demo besar-besaran supaya tau kita siap perang!!!”
“Lho, para nabi nggak pernah maju perang hanya karena ada yang menghina.Bagi para nabi penghinaan itu semacam hiburan rakyat. Istilah modernnya iklan gratis yang bikin kian ngetop.”
“Hush! Preman yg nggak pernah sholat aja marah kalau nabi dihina!!!”
“Lho, kamu berakhlak mencontoh nabi atau mencontoh preman?”
“Hush! Pokoknya harus ada aksi balasan. Ayo serbuuu!!! Bakaaar!!! Bunuuuuh!!!”
“Lho, bilang aja kamu mau pamer bahwa kamu paling beriman. Dipancing-pancing koq mau, hehe…”
Tak mau pelajari sejarah.Sungguh mengejutkan ketika saya temukan banyak orang saleh dan guru agama hanya baca quran dan hadist nabi tanpa pernah baca sejarah para nabi - misal Tareh Islam karya Ibnu Katsir maupun bigrafi Nabi Muhammad karya Muhammad Haekal dari Mesir. Padahal di dalam dua kitan tsb banyak pelajaran bagaimana wahyu ilahi diturunkan, danprilaku nabi yg kontektual dg realita sosial dan budaya lokal pada jamannya. Quran dan hadist yg diturunkan secara dicicil selama puluhan tahun untuk menjawab tantangan dan kebutuhan jaman pada saat itu seakan dimaknai turun sekaligus satu bundel dari langit ke tujuh.
Coba Anda bayangkan apa jadinya umat yang merasa komplit hanya baca suatu ajaran tanpa peduli bagaimana sejarah ajaran itu diturunkan dan dalam rangka apa ajaran itu dipraktekan? Kacau bukan?!
Tafsir Kacau Dan Mandeg. Anda tahu , celakanya banyak pemuka agama ngotot bahwa tafsir ribuan tahun lalu adalah harga mati, pada saat yang sama mengklaim bahwa ajaran Islam selalu aktual sepanjang jaman hinga hari kiamat tiba. Sebagi umat Islam saya tidak percaya bahwa tafsir ribuan tahun lalu tetap actual. Sebagian mungkin masih, tapi sebagian besar mesti ditafsir ulang mengingat penafsir terikat oleh jaman dan oleh tempat di mana mereka hidup. Quran dalam bahasa Arab yang sangat tinggi sarat makna tak akan habis ditafsir dan dimaknai sampai akhir jaman, bahkan andaikata semua pohon dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta. Apakah Anda sepaham dengan saya bahwa wajah kolot ajaran Islam tak lain adalah buah tafsir jaman dulu yang dipaksakan relevan untuk jaman kini?
Apakah Anda sepaham dengan saya bahwa tafsir quran dan hadist paling aktual dan revelan adalah produk dari pemikiran dan penghayatan yang mendalam atas dasar kekinian dan kedisinian? Yang berarti bahwa tafsir ulama Arab Saudihanya pas untuk Arab Saudi, tafsir ulama Indonesia hanya pas untuk Indonesia, dst . dst.? Kalau tidak demikian lalu di mana letak klaim bahwa ajaran Islam bersifat universal bila tafsir ulama Arab Mesirharus dianggap nyambung dengan umat di Australia yang beda budaya-iklim-pendidikan? Ini belum menyertakan kapan tafsir itu dilakukan.
Dimensi Hukum dan Dimensi Spiritual.Adalah benar ketika Anda mengatakan agama adalah urusan pribadi: hubungan manusia dengan tuhannya. Pengalaman saya pribadi menyakini bahwa Allah benar-benar ada ketika pengalaman spiritual menghampiri tanpa diharapakan, bahkan kadang menolak saking kawatir semua itu hanya halusinasi tipuan ghaib – sebuah rangkaian penolakan yang akhirnya luntur berbuah keyakinan tak terbantah. Seabagian Anda pernah mengalami, tak perlu heran bahwa pengalaman semacam itu menghampiri orang-orang yangminus ilmu agama minus ibadah. Dan tak perlu kaget banyak ahli ibadah dan berilmu agama tinggi tak pernah mengalaminya. Allah punya kehendak kepada siapa kehadirannya dapat dirasakan secara "ainul yakin" maupun "haqqul yakin".
Formalisasi agama berujuddalil-dalil, kaidah-kaidah, hukum-hukum agama bisa dipilih-pilih untuk dihimpun dalam sebuah bejana sesuai hasrat dan kepentingan dengan kemasan paling suci-megah-menguras air mata sembari menyusupkan puluhan liter racun ular dan kalajengkingke dalamnya.Ketika bejana tsb berupa rumah ibadah maka yang lalu-lalang adalah wajah-wajah berbusana rapi-bersih-sopan-wangi membungkus dengan sempurna, sungguh sempurnanyasemangat benci-dendam-bakar-bunuh siapapun yang berbeda. Ketika berbeda adalah bid'ah, sebuah stempel lunasmengantongitiket “halal darahnya”. Teror paling sempurna tuk melenyapkan senyum, cahaya, wangi bunga, dan wajah penyayang nabi dan Allah.
Spiritualisme tak memerlukan seragam busana, seragam prilaku, seragam pikiran, seragam baris-berbaris, seragam rumah ibadah, seragam kitab, seragam tafsir, seragam idola, apalagi seragam partai politik.
Formalisasi agama mensyaratkan sirnanya dimensi spiritual karena cinta kekuasaan adalah tujuan akhir baik kekuasaan di pentas dunia mapun kekuasaan di alam akhirat dengan sedikit kudeta kepada Tuhanyang telah dimanusiakan menjadi panglima perang haus darah. Sementara spiritualisme mensyaratkan nisbinya dimensi hukum dan nihilnya formalisasi karenacinta ilahi adalah tujuan akhir melalui pengembaraan di samudera kasih sayang menggapai percikan-percikan cahaya nan indah tak terlukiskan dengan kata-kata. Teror paling sempurna tuk menghempaskan kebencian, ketakutan, kegelapan, dan wajah monster nabi dan Allah.
Wajah penyayang dan wajah monster pada nabi dan Allah kita sendiri yang menciptakan. Kita sendiri yang menciptakan karena di dalam diri kita bersemayam dua wajah tsb secara berdampingan. Anda ingin memenangkan wajah yang mana?
Bukan rahasia lagi bahwa selama ribuan tahun sejak wahyu ilahi diturunkan nyaris selama itu pula demi politik kekuasaan maka nabi dan Allah ditampilkan berwajah monster bengis - sebuah wajah tuk menakuti-nakuti umat agar menuruti tafsir tunggal demi napsu berkuasa dan mengeruk harta pemuka agama dan institusi di bawahnya? Dan ketika laskar-laskar di bawahnya adalah orang-orang fanatik bodoh, sempurnalah wajah monster, sempurna pula idiologi tindak kekerasan dalam beragama.
Tak sadarkah kita relakan Institusi agama sekedar partai politik yang bersebrangan dengan ajaran para nabi? Entahlah!
Salam tuljaenak, Ragile 27-apr-2010
*)ilustrasi dari khotbah populer.files.wordpress.com dan answering.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H