Pas Wakil Presiden Boediono dan Mentri Keuangan berkunjung ke Jawa Tengah, seorang asisten membisikan pesan ke mereka agar jajal mampir ke tempat Mbah Marijan. Siapa tahu Mbah yg eksentrik dan sakti itu punya solusi praktis mengatasi gelombang masalah yg sedang mereka hadapi. Khususnya kasus Centurygate dan Pansus DPR, serta demo besar-besaran yg menuntut mereka mundur dari jabatan. (Hmmm, kebetulan nih, obat apapun dijajal siapa tahu mempan!)
Mereka paham betul apapun keputusan dan sikap mereka mengandung implikasi yg sulit diprediksi arah dan akibat lanjutan dari manuver politik yg ganas membakar rambu-rambu hukum dan moralitas. Singkat cerita merekapun mendatangi tempat istirahat Mbah Marijan di lembah sebuah gunung berapi.
Boediono     : "Mbah, kami mau tanya bagaimana caranya supaya tidak kena banjir?"
Mbah Marijan:Â "Gampang. Tinggal saja di atas gunung seperti saya."
Sri Mulyani  : "Bukan begitu, hehehe... maksudnya banjir gosip, bukan banjir air."
Mbah Marijan:Â "Gampang. Tinggal saja di atas gunung seperti saya. Wartawan mau ke gunung?"
Boediono     : "Kalo banjir demo?"
Mbah Marijan:Â "Gampang. Tinggal saja di atas gunung seperti saya. mau demo ke gunung?"
Sri Mulyani  : "Kalo banjir tuntutan DPR?"
Mbah Marijan:Â "Gampang. Tinggal saja di atas gunung seperti saya. DPR mau ke gunung?"
Boediono dan Sri Mulyani saling pandang. Keduanya kecewa berat. Dalam hati mereka berkata, "percuma jauh-jauh cuma disuruh tinggal di gunung. Emangnya jaman batu?"
"Apa kalian bilang? Jaman batu?" Mbah Marijan mencongkel lintasan pikiran dari batok kepala mereka. Keduanya tergagap tak menyangka Mbah Marijan menangkap sinyal grendengan di bawah rambut kepala. Sebelum mereka sempat lakukan koreksi, Mbah Marijan memotong. Khas dengan logat jawanya medok.
"Kalian datang ke sini atas kemauan sendiri tokh? Minta nasehat tanpa saya dorong-dorong tokh? Saya menjawab hanya pertanyaan yg kalian ajukan. Saya tidak kepengin bertanya-tanya. Maaf yach, saya lebih ketarik bertanya kepada pohon-pohon, berapa lama lagi generasi mereka diberi lahan hidup oleh kebijakan pejabat, bukan? Saya lebih ngenes buat kasih semangat kepada hewan-hewan agar mereka tetap melahirkan keturunan walaupun tempat bermain mereka terus babat habis, dan air minum mereka campur racun dari pabrik. Iya tokh? iya tokh?"
"Maaf, Mbah... Maaf, Mbah....Bukan kami yg melakukan koq." Hampir berbareng Boediono dan Sri Mulyani berucap sambil sedikit membungkukkan badan.
"Kalo kami mengundurkan diri apa bisa bebas dari semua banjir-banjir itu?"
"Hahahaha.... Ndak bisa."
"Terus gimana caranya supaya bisa?"
"Gampang. Tinggal di atas gunung saja seperti saya."
"Ada cara lain, Mbah?"
"Ada. Tinggal saja ke tempat yg lebih tinggi. Di atas awan."
Keduanya melongo. Solusi Mbah Marijan mustahil dijalani untuk mereka. Frustrasi dg jawaban Mbah Marijan mereka siap-siap pamitan pulang. Baru beranjak dari tempat duduk tiba-tiba terlintas penasaran. Boediono bertanya lirih, "Apa tidak ada alternatif lain, Mbah?"
"Alternatif??? Koq kalian demen sekali dg yg serba alternatif... Alternatif selalu lebih baik?"
"Memang kenapa, Mbah?"
"Kalo istri kamu sedang ke luar kota satu bulan, apa cari istri alternatif?"
"Kalo kepalamu senut-senut rasanya mau pecah, apa perlu dicopot dan ganti dg kepala anternatif?"
"Hahahaha... Mbah, bisaaa aja!"
"Maksud kami Mbah, selain tinggal di gunung dan tinggal di awan, tinggal di mana lagi supaya kami bebas dari semua itu?"
Mbah Marijan mikir-mikir sebentar. "Ada sih. Di tempat yg lebih tinggi. Tapi belumm tentu kalian mampu."
"Apaan tuh?" sergah Sri Mulyani.
"Saya bilang, di tempat yg lebih tinggi tapi belum tentu kalian mampu."
"Iya Mbah, tolong.... kami harus tinggal di mana?"
"Cepetan Mbah, kami harus tinggal di mana?"
Mbah Marijan mesem-mesem lalu buka jawaban dg nada tinggi, "Tinggal dikubur!!!" ( Nah lo, emang enak? )
Bluk! Boediono dan Sri Mulyani lemes badan. Juga sebel. Tidak menyangka segitu sinis jawaban Mbah Marijan. Keduanya segera pamitan dg muka kecut. Mbah Marijan mesem-mesem memperhatikan kedua pejabat tinggi itu buru-buru naik mobil lalu ngeloyor pergi dg sentakan agak keras ketika starter mobil dijalankan.
Sekitar dua menit kemudian HP mereka berdua berdering, ada SMS masuk. Ketika dibuka ternyata SMS dari Mbah Marijan. Bunyinya bikin mereka terkejut bukan main:
"Tinggal dikubur maksudnya kubur saja semua banjir persoalan itu seolah-olah bukan persoalan. Jalani sajah dg hatinurani dan introspeksi."
*
*
Salam Tuljaenak,
Ragile, 14-feb-2010
*)mohon maaf kisah di atas hanya fiksi belaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H