Ada adagium yang lazim didengar, mengatakan bahwa keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Menjadi pendidikan pertama karena anak akan mendapatkan banyak sekali pendidikan serta pengajaran dari lingkungan keluarga. Dan menjadi pendidikan utama karena anak paling banyak menghabiskan waktu mereka dengan berinteraksi dengan keluarga.Â
Ketika lingkungan keluarga mengajarkan tentang budi pekerti luhur, maka dalam diri anak akan terbentuk karakter seperti demikian. Pun sebaliknya, ketika anak dipertontonkan dengan sesuatu yang tidak baik, maka dalam diri anak akan terbentuk karakter yang kurang baik. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak yang berumur 0-4 tahun, akan tercermin pada anak saat mereka pada usia dewasa.
Namun, kesadaran tentang hal ini masih sebatas kekhawatiran belaka, tanpa tindak lanjut dengan pembuatan aturan dan tanggung jawab keluarga dalam pendidikan anak. Mungkin pernyataan Buchori (dalam Soedomo, 1990) masih relevan sampai saat ini, dimana beliau menyatakan bahwa penanganan pendidikan kita baru sampai pada pendidikan jalur sekolah atau formal. Oleh karena itu, pendidikan keluarga yang dalam hal ini pendidikan dari seorang ibu (yang mempunyai waktu berinteraksi lebih lama dengan anaknya dibandingkan ayah) menjadi langkah awal dalam pembentukan peradaban dimulai dari anaknya.
Faktor Gen, Ikatan Emosional dan Kecerdasan Anak
Masih menjadi perbincangan yang menarik, manakala membahas faktor genetik seorang ibu yang menurunkan kecerdasan kepada seorang anak. Lantas benarkah demikian? Pada tahun 1994, terbit sebuah jurnal Psychology Spot yang mengungkapkan bahwa gen kecerdasan seorang anak biasanya menurun dari ibu. Gen kecerdasan berada di kromosom X dimana wanita sendiri membawa dua gen kromosom X, yang artinya peluang penurunan gen kecerdasan kepada seorang anak, akan lebih mungkin diturunkan dari seorang ibu.
Penelitian ini dilakukan oleh Medical Research Council Social and Public Health Sciences Unit dengan melibatkan 12.686 responden yang berusia antara 14-22 tahun dengan menggunakan metode wawancara dengan pertanyaan terkait beberapa faktor termasuk ras, tingkat pendidikan, sosial dan status ekonomi dan pertanyaan serupa yang ditanyakan kepada ibu-ibu dalam penelitian tersebut.Â
Hasil analisa mengungkapkan bahwasannya penuruan gen kecerdasan terkait dengan kromosom X, yang mana kromosom X adalah kromosom utama milik wanita. Ditambah lagi bahwasannya wanita memiliki dua kali lipat jumlah kromosom X (laki-laki hanya memiliki satu) yang memungkinkan untuk mewariskan gen kecerdasan kepada anak-anak mereka.
Meskipun demikian, para ilmuan percaya bahwa gen bukanlah satu satunya penentu kecerdasan seorang anak, hanya sekita 40 - 60 persen kecerdasan diperkirakan bersifat turun temurun. Sedangkan penentu lainnya berasal dari lingkungan dimana anak itu tumbuh, termasuk lingkungan keluarga.Â
Para ilmuan selanjutnya menemukan bahwa seorang ibu (selain menurunkan gen kecerdasan) juga mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam membentuk kecerdasan non-genetik. Untuk itu, diperlukan sebuah ikatan emosional yang kuat antara ibu dan anak guna dapat membantu dalam menumbuh kembangkan kecerdasan anak baik melalui genetik maupun non-genetik.
Hal ini selaras dengan pendapat para peneliti di Universitas of Washington yang menemukan bahwa ikatan emosional yang baik antara ibu dan anak sangat penting dalam pertumbuhan beberapa bagian otak.Â
Kesimpulan ini didapat setelah para peneliti menganalisis cara sekelompok ibu dalam berinteraksi dengan anak-anak mereka selama tujuh tahun, dan hasilnya ditemukan bahwa anak-anak yang didukung secara emosional dan kebutuhan akan pengetahuannya terpenuhi memiliki hippocampus (area otak yang terkait memori untuk mengenali, mengingat, memahami dan merespon) 10 persen lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang jauh dari ibunya secara emosional.
Dalam tinjauan ilmu psikologi, ikatan emosional yang kuat juga akan memberikan rasa aman pada anak yang memungkinkan mereka menjelajahi dunia dan memiliki rasa kepercayaan diri untuk memecahkan masalah. Selain itu, ibu yang penuh dengan perhatian terhadap anak cenderung akan membantu anak dalam memecahkan setiap masalah, yang selanjutnya akan membantu mereka dalam mencapai potensi. Dalam tinjauan kesehatan, faktor gizi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan seorang anak, seorang ibu yang mengerti dan paham, pastilah akan menyediakan makanan dan minuman untuk memenuhi gizi anak mereka.
Hari Ibu: Urgensi dan Implikasi Peranan Seorang Ibu Terhadap Pendidikan Anak
Sedikit menyinggung terkait Hari Ibu, Â dimana keputusan penetapan 22 Desember sebagai hari ibu diawali dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-28 Desember 1928 dengan tujuan untuk menyatukan perkumpulan perempuan Indonesia dalam satu perhimpunan. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah kebangkitan pergerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, pada kongres pertama tersebut dimaksudkan membangun kesadaran berorganisasi kaum perempuan, menyikapi akan beberapa hal seperti perkawinan anak, kawin paksa serta pemberian beasiswa untuk anak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Dalam kongres tersebut kemudian dibentuk Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang digunakan sebagai wadah para perempuan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia II pun diselenggarakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta, yang berhasil membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf (BPBH) dan membahas perlakuan tidak adil terhadap buruh perempuan perusahan batik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Melihat kontribusinya yang luar biasa terhadap perempuan, maka tanggal 22 Desember ditetapkan menjadi Hari Ibu dalam KongresÂ
Perempuan Indonesia III di Bandung pada 22 Desember 1938. Tanggal tersebut dipilih untuk mengingat awal persatuan gerakan perempuan pada Kongres Perempuan Indonesia I. Penetapan ini diresmikan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur oleh Presiden Soekarno.
Disadari atau tidak, dengan diperingatinya Hari Ibu di Indonesia, mengisyaratkan tentang betapa pentingnya peranan seorang Ibu dalam mencetak generasi penerus yang hebat. Orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya, sebagaimana telah diatur oleh Pemerintah yakni pada ketentuan pasal 26 ayat 1 UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dimana pada point (a) menyatakan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.Â
Kewajiban mendidikan anak ini juga telah termaktub dalam pasal 45 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Dari kedua Undang-Undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anaknya, yang juga secara implisit menekankan orang tua supaya tidak lepas tangan terhadap pendidikan anaknya dengan pasrah terhadap lembaga pendidikan atau sekolah. Pemikiran dan pemahaman semacam ini sangat perlu untuk diluruskan.
Aktivitas mendidik, menyangkut pola asuh dan pembiasaan. Pola asuh dan pembiasaan yang baik akan mempunyai implikasi yang baik pula bagi anak. Sebagai contoh pola asuh dan pembiasaan anak untuk selalu bergerak, baik bergerak dalam arti olah raga maupun bergerak untuk membersihakan kamar, rumah dan halaman.Â
Selain untuk disiplin waktu dan tanggung jawab, pembiasaan ini menurut hasil penelitian Georgia Health Sciences University AS (dalam Jalaludin Rakmat, 2016) menyatakan bahwa mengerakkan badan bagi anak tidak hanya bermanfaat untuk kebugaran dan mengurangi resiko kelebihan berat badan, akan tetapi juga bisa meningkatkan perkembangan otak anak. Semakin sering anak bergerak aktif, maka akan dapat meningkatkan koordinasi motorik dan kemampuannya untuk fokus dan konsentrasi, sehingga memengaruhi nilai kecerdasan anak. Banyak gerak membuat anak cerdas dan semakin sering dilatih maka fungsi otak akan berkembang.
Secara khusus, peranan seorang ibu dalam keluarga sangat mendominasi dalam tumbuh kembang seorang anak. Pada konteks anak sebagai peniru yang handal, maka seorang ibu dituntut untuk senantiasa harus memberikan keteladanan yang baik terutama terkait pemahaman budi pekerti.Â
Lebih lanjut, pada konteks kesehatan anak, maka Ibu dituntut memberikan makanan dan minuman seperti pemberian ASI, pemberian makanan 4 sehat 5 sempurna, tempat atau lingkungan yang bersih dan sehat, yang kesemuanya itu akan berimplikasi pada tumbuh kembang anak.Â
Kemudian pada konteks tema pendidikan, tugas ibu sangatlah berat yakni bertanggung jawab akan keyakinan beragama, nilai budaya, nilai sosial, ketrampilan anak dan pengembangan kepribadian seperti sopan santun, mematuhi aturan masyarakat, menghargai orang lain dan sebagainya (Pidarta, 1994).
Khabib Ahmad Santhut (dalam Imam M. Syahid, 2015) mengatakan bahwasanya peran seorang ibu itu senantiasa mempersiapkan diri untuk mengasuh anak dan rela berkorban untuknya baik di waktu istirahat atau sibuk. Dia akan tetap sabar. Sikap pengasih inilah yang sering membuat ibu tidak dapat tidur meskipun anaknya terlelap.
Khairiyah Husain Thaha (dalam Ani Nur Aeni dan Dadan Djuanda, 2019) menyatakan bahwa orang tua terutama ibu yang banyak bergulat dengan anak, mempunyai tugas yang amat besar untuk mendidik anak baik pendidikan jasmani, intelektual dan mental spiritual, sehingga melalui teladan yang baik atau pelajaran yang berupa nasehat-nasehat, kelak ia dapat memetik tradisi-tradisi yang benar dan pijakan moral yang sempurna dari masa kanak-kanaknya.
Penjabaran di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan seorang ibu sebagai pendidik dan itu semua berimplikasi terhadap karakter, kepribadian dan tumbuh kembang anak. Lebih lanjut, menurut Lydia Harlina Martono (1996), kegiatan mendidik (mengasuh, membimbing dan membiasakan) anak berimplikasi nyata terhadap kepribadian anak untuk berkembang dengan sebaik-baiknya, sehingga menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Ibu Sebagai Mitra Utama dalam Mencapai Tujuan Pendidikan
Pemahaman orang tua terkait memasrahkan anak kepada lembaga atau instansi pendidikan secara penuh agaknya perlu dirubah. Mengapa? Lembaga pendidikan sifatnya membina dan mengembangkan peserta didik dengan berbatas waktu dan tempat. Anak-anak banyak menghabiskan tempat dan waktu mereka dengan keluarga dan lingkungan. Maka, guna mengsinkronkan antara lembaga, keluarga dan lingkungan perlu adanya kesepahaman untuk saling mendukung satu dengan yang lainnya. Itulah mengapa, orang tua, keluarga dan lingkungan masyarakat merupakan mitra sekolah yang tidak boleh lepas tangan atau tanggung jawab dalam pembentukan karakter, pribadi dan pendidikan anak.Â
Penelitian Daud (1994) menyatakan bahwa pendidikan keluarga memberi dukungan 24-76 persen (%) terhadap prestasi belajar anak melalui 8 faktor yakni kebiasaan bangun pagi, fasilitas belajar di rumah, jumlah waktu untuk belajar mandiri, situasi belajar di rumah, belajar berkelompok, kecilnya absen di sekolah, keterlambatan berangkat ke sekolah dan pendidikan tambahan.
Mengaca dari Negara Finlandia di Eropa Utara yang sejak tahun 2000 selalu diunggulkan sebagai Negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Selain sistem pendidikan dan kurikulum yang sangat mendukung tumbuh kembang anak sesuai dengan porsi dan potensinya, ternyata peranan dari lingkungan keluarga (red. orang tua/ibu) sangat kuat pengaruhnya. Kemitraan orang tua dan guru sudah terbentuk secara sistematis dan aplikatif, bahkan dapat dikatakan terjalin suatu perjanjian, komitmen dan persahabatan yang kuat untuk saling mendukung dalam mendidik anak-anak.
Berbeda dengan orang tua Indonesia yang cenderung secara penuh menyerahkan pendidikan dan keberhasilan anak pada guru dan lembaga sekolah (dan ketika anaknya tidak sesuai ekspektasi mereka, maka guru yang akan disalahkan), orang tua di Finlandia justru mempunyai pandangan dan paradigma yang berbanding terbalik dengan orang tua Indonesia. Dikutip dari laman resmi Sahabat Keluarga Kemendikbud dijelaskan tentang 6 pemahaman orang tua Finlandia terhadap guru dan sekolah dalam bermitra:
1.Menghormati
Orang tua di Finlandia sangat menghormati guru dan sekolah. Mereka menempatkan guru sebagai "orang tua kedua" dan sekolah merupakan "rumah kedua".
2.Memahami Profesi
Orang tua di Finlandia memahami bahwa pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks dan penuh dinamika sehingga perlu didukung dalam semua aspek.
3.Mendukung Bukan Menyalahkan
Apabila guru mengalalami kesulitan dalam menjalankan tugas mengajarnya kepada siswa, orang tua akan membantu semaksimal mungkin dan bukan malah menyalahkan gurunya.
4."Pahlawan" Setiap Kesuksesan
Orang tua Finlandia menganggap guru adalah pahlawan kesuksesan bagi anak-anak mereka. Yang sering terlihat di rumah-rumah, banyak siswa menghias dan memajang foto guru di kamarnya bahkan dengan tambahan kalimat "you are my inspiration" dan tidak ada istilah "guru killer"
5.Pemahaman Awal Yang Baik
Pada awal anak masuk sekolah, guru akan menjelaskan kepada orang tua dan siswa bahwa sekolah bukan tempat menyeramkan yang menyebabkan tekanan batin dan ketegangan.
6.Mengkritik Dengan Santun
Orang tua di Finlandia menyampaikan kritik kepada sekolah dengan cara yang santun. Mereka memahami bahwa pekerjaan mengajar bukanlah pekerjaan yang ringan. Guru di Finlandia senang menerima kritik sebab menjadi saran yang sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan belajar anak-anak.
Paradigma orang tua di Finlandia, setidaknya menjadi acuan bagi ibu-ibu dan orang tua siswa untuk berusaha menjadi mitra yang baik bagi sekolah anak. Bukan hanya sebagai pengkritik yang handal saja, akan tetapi harus menempatkan diri sebagai mitra dan bersungguh-sungguh berkomitmen dalam mencerdaskan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H