[caption id="attachment_122267" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi dari omdhe.multiply.com"][/caption] Bulan puasa tidak jarang meninggalkan kenangan tertentu bagi seseorang. Entah karena terbawa irama suka cita hendak menyambut lebaran atau memang ada nuansa khas yang membekas.
Masa kecil saya dulu, puasa berarti boleh bermain pesta kembang api, meledakkan petasan bambu atau bermain petak umpet di malam hari. Belum terpikir mengenai indahnya baju atau sepatu baru karena mayoritas penduduk di desaku berkekurangan. Maka kegembiraan kami lebih nyata dengan bersama-sama mengisi waktu selama bulan puasa dengan berbagai permainan desa yang tentu saja tidak perlu biaya mahal. Petasan banting atau disebut “mercon ipret”, kami bisa membuat sendiri, tidak perlu beli. Demikian juga dengan petasan bambu atau “mercon bumbung”. Jika ingin tahu rupa mercon bumbung, maka itu dapat dilukiskan seperti meriam namun terbuat dari pohon bambu “petung”, yaitu pohon bambu yang besar dan tebal.
Untuk membuatnya mengeluarkan ledakan seperti meriam, pohon bambu ini cukup dipotong dengan panjang kurang lebih satu meter atau dua ruas bambu. Ruas bawah dibiarkan tertutup sedangkan ruas atas berlubang. Pada pangkal ruas bawah diberi lubang kurang lebih berdiameter dua sentimeter. Lubang ini digunakan untuk memasukkan abu dapur yang sudah dicampur dengan minyak tanah. Sebelum siap untuk membuat ledakan-ledakan serupa meriam, abu dibiarkan menyala dengan api selama beberapa menit sampai menguapkan minyak tanah. Uap minyak tanah inilah yang kemudian disulut dengan lidah api sehingga menyentak keluar dan menimbulkan bunyi ledakan keras. Sungguh permainan yang murah dan menggembirakan. Kami biasanya tertawa tergelak bersama sembari bergantian menyalakan mercon bumbung ini. Bukan saja karena bisa mengejutkan teman, tetapi lebih karena menikmati hasil karya bersama-sama, apapun agamanya.
Oh ya, memang bulan puasa menjadi begitu mengesan terlebih ketika sepertinya kami lupa bahwa kami berbeda-beda agama. Saat senja tiba, teman-teman kami memanggil-manggil satu sama lain. Kami berkerumun, bercanda ria menunggu saat berbuka tiba. Lalu ada yang membuat mercon. Yang lain menyiapkan menu berbuka puasa seadanya. Saat berbuka tiba, kami nikmati menu sambil sesekali bermain petasan atau mercon bumbung bersama. Usai berbuka dan sholat maghrib, biasanya kami isi dengan bermain petak umpet sampai panggilan isya berkumandang. Usai sholat isya, kami memukul bedhug bersama, mengiringi puji-pujian seusai taraweh. Begitulah saat senja menjelang lebaran kami di masa kecil dulu. Tidak pernah terlintas di benak kami bahwa kami berbeda dan perlu dibedakan. Semua berjalan secara alamiah dan sewajarnya. Bulan puasa secara otomatis menjadi bulan berkah bagi semua. Tidak ada ketakutan. Tidak ada keterpaksaan. Puasa menjadi begitu ringan dan menyenangkan hingga tiba-tiba kami harus sudah menyambut lebaran. Dan kami semua menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H