Mohon tunggu...
Ragil Koentjorodjati
Ragil Koentjorodjati Mohon Tunggu... -

pengelola http://retakankata.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benang Kusut Radikalisme

11 Mei 2011   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 1306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_107444" align="alignleft" width="283" caption="ilustrasi: infopublik.depkominfo.go.id"][/caption] Ada beberapa istilah yang cukup semrawut dan campur aduk mendadak popular beberapa bulan terakhir ini. Sebut saja misalnya istilah radikalisme, lebay dan kafir. Tiga istilah yang tiba-tiba menjadi begitu penting dan harus diintimi telinga seluruh rakyat negeri Indonesia tercinta ini. Tetapi saya tak hendak kemaruk mengakrabi ketiga kata tersebut. Cukup satu, radikalisme. Dua lainnya, mungkin sebagai bumbu penyedap saja.

Penting tidak jika saya mencantumkan pengertian kata radikalisme? Menurut saya, itu cukup penting mengingat acapkali tukar menukar baju menyebabkan kita sulit membedakan mana radikalisme, mana revolusi, dan mana anarkisme. Oh ya, satu kata lagi yang sering melengkapi ketiga istilah tersebut, yaitu kekerasan. Saya ingin bercerita secara sederhana tentang keempat kata tersebut. Mudah-mudahan tidak terjebak pada labirin alur yang membingungkan.

Kamus Besar yang dijunjung tinggi para pengguna bahasa Indonesia menyebutkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menganut cara radikal dalam politik. Radikal yang dimaksud berarti amat keras dalam menuntut perubahan secara drastis, menyeluruh, baik perubahan undang-undang maupun pemerintahan. Apakah penjelasan “amat keras” tersebut sama arti dengan kekerasan? Atau dengan kata lain, apakah setiap kaum penganut radikalisme selalu menggunakan kekerasan? Menilik dari pengertian katanya, dapat dikatakan tidak, tetapi hampir selalu berujung dengan tindakan kekerasan. Secara harfiah, penganut radikalisme dapat dianggap sama dengan sikap keras kepala, ngotot, ngeyel, merasa paling benar serta tidak mau negosiasi dan kompromi dengan segala yang berseberangan dengannya. Dan belum tentu sikap tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan. Saya akan bercerita bagian ini lebih lanjut. Tetapi nanti.

Perlu saya menyisipkan dulu tentang revolusi dan anarkisme. Singkatnya, revolusi diartikan sebagai perubahan sosial atau ketatanegaraan yang dilakukan dengan kekerasan. Sedang anarkisme disebut sebagai suatu paham yang menentang kekuasaan negara. Tetapi Caspar Schmidt yang hidup di tahun 1806-1856 menambahkan bahwa penolakan tidak hanya terhadap pemerintah tetapi juga terhadap kaum sekular dan religius, terhadap segala bentuk ide-ide -seperti ide tentang Tuhan- yang pada intinya membelenggu individu untuk secara mutlak menentukan nasibnya sendiri. Apakah anarkisme kemudian sama dengan tindak kekerasan? Menurut saya, belum tentu. Bisa saja penganut anarkisme bersikap pasif dan tidak melakukan tindakan apa-apa. Yang jadi prinsip utama adalah bahwa individu bebas secara mutlak menentukan nasibnya sendiri.

Seperti yang saya janjikan sebelumnya, saya akan bercerita apakah radikalisme itu selalu menggunakan kekerasan atau tidak. Cerita ini saya anggap menarik mengingat bahwa pemicu popularitas istilah radikalisme adalah peristiwa-peristiwa peledakan bom yang dilakukan beberapa oknum yang di Indonesia kebetulan beragama islam. Bahwa bentuk radikalisme dengan kekerasan bisa dilakukan siapa saja sudah tersedia bukti yang memadai. Geger 30 September 1965 contoh konkrit radikalisme yang diikuti kekerasan. Radikalisme dengan kekerasan muncul dalam bentuk revolusi, sehingga peristiwa tersebut lebih sering disebut revolusi 30 September. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa fanatiisme sempit terhadap suatu ideologi mudah mengarahkan orang pada perilaku radikal yang diikuti dengan kekerasan.

Orang-orang yang menolak ikatan ideologi, pada kutub yang lain telah mengikatkan dirinya pada aliran anarkisme. Pemaksaan, indoktrinasi dan tindakan cuci otak dari para radikal kiri dan radikal kanan menumbuhkan sikap antipati pada masing-masing individu yang tidak mau terikat dengan apapun. Pada titik tertentu, secara perlahan penolakan pun mengarah pada radikalisme anarkis bahwa setiap orang adalah bebas, sebebas-bebasnya. Bagaimana dengan negeri kita sekarang ini?

Dengan memperhatikan pengertian istilah radikalisme, siapa orang di Indonesia yang tidak ingin melakukan perubahan secara menyeluruh? Hal tersebut, terlebih dipicu pemerintah yang dalam beberapa kali telah menunjukkan radikalisme-nya tanpa mengenal kata kompromi atau pun moderasi. Kebijakan liberalisasi yang dipaksakan telah merubah secara drastis pola hidup dan pandangan masyarakat di pelosok. Migrasi meningkat secarabesar-besaran. Pendidikan kehilangan orientasi. Dan yang paling radikal adalah penggunaan ukuran-ukuran kuantitatif sebagai alat ukur kesuksesan. Wakil-wakil rakyat menunjukkan ideologi radikalismenya secara kasat mata. Ambil contoh sikap ngotot anggota DPR dalam memperjuangkan gedung baru. Pola-pola perekrutan anggota gerbong, kalau tidak boleh dikatakan anggota geng menampilkan sosok radikal yang tidak perduli lagi akan pentingnya sebuah kompetensi. Istilah berbagai mafia yang kebal hukum meraja lela. Pola hidup hedonis secara radikal merubah orientasi wakil rakyat dari pengabdian menjadi profesi perwakilan. Secara terang-terangan eksekutif dan legislatif abai terhadap kata kompromi dan moderasi yang menggiring radikalisme pada tindak kekerasan. Kekerasan fisik maupun psikologis. Ada yang berhipotesis, apakah pemerintah dan DPR sedang terjangkit radikalisme kapitalis?

Singkat cerita, perilaku eksekutif dan legislatif tersebut mendorong rakyat untuk melakukan aksi radikal, apapun ideologi dan agamanya. Sehingga saat ini bertebaran radikal agamis, radikal atheis, radikal sosialis, radikal anarkis, yang kesemuanya mencoba sesegera mungkin melakukan perubahan secara menyeluruh. Menjadi masuk akal bahwa ketika semua merasakan ada yang tidak beres di negeri ini dan perlu dilakukan perombakan secara besar-besaran, maka radikalisme muncul dengan sendirinya. Pada saat yang sama, alasan tersebut juga menjadi pembenaran bagi pihak-pihak yang mementingkan kelompoknya, suku maupun agamanya sendiri. Radikalisme menjadi bahaya laten ketika cara-cara kekerasan mulai digunakan. Persis seperti yang terjadi pada pelaku peledakan bom.

Pada titik tertentu, sikap radikal tersebut akan terus menerus mencoba untuk melakukan revolusi dan saling merevolusi satu sama lain, menjadikan bangsa ini bonyok-bonyok di sana-sini keseringan bentrok. Apakah ini akibat radikalisasi ideologi Pancasila yang dilakukan pemerintah sebelumnya? Apakah radikalisme itu sesuatu yang buruk? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan tidak saja pemikiran tetapi juga perenungan. Bersediakah kita sebagai sebuah bangsa mengambil sikap kompromi dan moderasi untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan? Jika bersedia, maka pemberdayaan kembali Pancasila menjadi suatu yang mendesak untuk dilakukan. Para pendiri bangsa telah memberi contoh bagaimana sikap kooperatif dan moderat untuk kompromi dengan realita bahwa kita bangsa majemuk. Mereka secara mendasar mengelaborasi cara hidup lama menjadi cara hidup baru dan memberikan landasan atas sikap tersebut dengan nama Pancasila. Dalam kelima butir Pancasila tidak ditemukan radikalisme tetapi sebaliknya, musyawarah/mufakat. Lalu mengapa radikalisasi Pancasila dulu dapat terjadi?

Pada titik ini pemerintah diharapkan tidak mengulang kesalahan yang sama. Di sisi lain, pemerintah dan DPR semestinya menjadi lokomotif utama yang mengambil inisiatif dengan mendasarkan kebijakan dan peraturan pada falsafah bangsa. Langkah tersebut juga perlu diikuti peran serta tokoh agama dan masyarakat yang merasa sebagai pemikir. Bukan saatnya lagi kita membongkar pondasi ketika atap sudah mulai dipasang. Dan yang utama, jangan mengharapkan rakyat untuk mengambil inisiatif pada tataran filosofis, karena yang mendasar bagi mereka adalah kebutuhan biologis dan psikologis. Secara sederhana, jika perut mereka tidak kosong, tidur dengan nyaman dan aman, sulit untuk mendorong mereka menjadi penganut radikalisme kiri atau kanan atau anarkisme. Perubahan pada hidup yang lebih baik selalu membutuhkan proses. Proses yang membutuhkan sinergi. Sinergi membutuhkan kompromi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun