Mohon tunggu...
Raga Sajatining Harsa
Raga Sajatining Harsa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

untuk tugas perkuliahan aku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kronologi Gugurnya Jenderal Achmad Yani Berdasarkan Kegiatan Keachmadyanian

4 Juli 2024   15:49 Diperbarui: 4 Juli 2024   16:02 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profil Jenderal Achmad Yani

Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani merupakan pahlawan revolusi Indonesia. Achmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah dan meninggal dunia pada 1 Oktober 1965 (43 Tahun) di Lubang Buaya, Jakarta. Achmad Yani merupakan komandan TNI Angkatan Darat ke-6 yang menjabat pada 23 Juni 1962 hingga 1 Oktober 1965. Beliau meninggal karena dibunuh oleh Anggota Gerakan 30 September saat akan menculiknya dari rumah.

Profil Singkat Jenderal Achmad Yani

Nama : Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani
Lahir :  Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, 22 Juni 1922
Wafat : Jakarta, 1 Oktober 1965
Pendidikan :

  • HIS (setara SD) Bogor, tamat tahun 1935
  • MULO (setara SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
  • AMS (setara SMA/ SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
  • Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
  • Pendidikan Heiho di Magelang
  • Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
  • Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955
  • Spesial Warfare Course di Inggris, tahun 1956

Jabatan:
Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) (23 Juni 1962 -- 1 Oktober 1965)

Gugurnya Jenderal Achmad Yani

Gugurnya Jenderal Achmad Yani bermula kala penembakan Letjen Achmad Yani dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa (Tjakrabirawa). Pimpinan penculikan bernama Mukidjan, pangkatnya Peltu, yang memimpin sekitar 100 anggota. Setibanya di kediaman Jenderal Achmad Yani, hal pertama yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa bukanlah masuk ataupun mengetuk pintu rumah bagian depan, melainkan mengetuk pintu bagian belakang. 

Sekitar pukul 4 subuh, mereka menyekap, melucuti, dan mengikat pasukan pengawal, lalu mereka mengepung kediaman Jenderal Achmad Yani. Setelah mengetuk pintu rumah bagian belakang, orang pertama yang membuka pintu dan bertemu dengan pasukan Tjakrabirawa yaitu pembantu rumah tangga bernama Mbok Milah. Mbok Milah ditanya berbagai hal mengenai Jenderal Achmad Yani oleh pasukan Cakrabirawa dan merasa bingung dengan keberadaan pasukan tersebut. Jikalau kondisi negara sedang genting, Mbok Milah berpikir harusnya Jenderal Achmad Yani sudah tahu dan tidak perlu dijemput oleh banyak pasukan. 

Saat Mbok Milah ditanya oleh pasukan Cakrabirawa, putra bungsu Jenderal Achmad Yani bernama Irawan Suraedi, yang saat itu berusia sekitar tujuh tahun, terbangun karena mendengar suara berisik dari dapur. Melihat keberadaan putra Jenderal Achmad Yani, anggota Cakrabirawa bertanya dan memerintahkan Irawan Suraedi untuk membangunkan Jenderal Achmad Yani yang sedang tidur. Dia (putra bungsu Jenderal Achmad Yani) ditanya oleh tentara dan diperintahkan membangunkan Jenderal Achhmad Yani dan memberitahunya bahwa ada tamu dari istana. 

Setelah itu Irawan Suraedi membangunkan Jenderal Achmad Yani dan mengabarkan ada tamu dari istana yang saat itu berada di dapur. Mendengar hal itu, Jenderal Achmad Yani mengatakan dirinya hendak mandi dan bersiap-siap terlebih dahulu sebelum bertemu Presiden. Saat Jenderal Achmad Yani kembali ke ruangan utama, ia diikuti oleh tiga orang pasukan Cakrabirawa. Ketika hendak memegang gagang pintu, salah satu anggota pasukan mengatakan bahwa Jenderal Achmad Yani tidak perlu mandi karena di istana ada kamar mandi. Mendengar hal tersebut Jenderal Achmad Yani marah dan menampar salah satu anggota pasukan tersebut karena dinilai tidak sopan telah mengatur dirinya. Satu sudah kena tampar, sisa dua orang pasukan. 

Saat Jenderal Achmad Yani masuk ruangan, beliau ditembak dari balik pintu dengan tujuh butir peluru. Dari tujuh peluru yang ditembakkan, lima peluru menembus badan Jenderal, sedangkan dua peluru lainnya tertinggal di dalam badan Jenderal. Lima peluru yang menembus badan Jenderal Achmad Yani rusak karena mengenai beberapa titik lokasi. Dua peluru mengenai pajangan foto dan tiga peluru mengenai lemari di ruang utama. Jenderal Achmad Yani ditembak dan jatuh ke depan dengan posisi tertelungkup. Mereka (dua pasukan Cakrabirawa) membalikkan tubuh Jenderal Aachmad Yani menggunakan kaki. Kemudian Jenderal Achmad Yani diseret melewati lorong, lalu keluar melalui pintu belakang rumah, di mana pasukan Cakrabirawa pertama kali masuk. Peristiwa penembakan Jenderal Achmad Yani tersebut rupanya disaksikan oleh putranya bernama Untung Mufraeni yang bersembunyi di balik tembok. Setelah keluar dari rumah kediaman, jenazah Jenderal Achmad Yani langsung dilarikan dan dibuang ke Lubang Buaya di Jakarta Timur. 

Pukul 07.00 WIB, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Tjakrabiwa bahwa G30S PKI telah berhasil mengambil alih di beberapa lokasi strategis Jakarta beserta anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.

Operasi penumpasan G30S PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 bermula kala pagi hari di awal Oktober 1965 yang bersuasana sepi namun tegang. Sintong Panjaitan bersama beberapa personel RPKAD tengah bersiap hendak diberangkatkan ke Kuching, Malaysia jadi relawan. Namun agenda itu buyar, dia mendadak dipanggil oleh Feisal Tanjung. Bersama para komandan kompi di RPKAD dia kemudian menghadap Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Mereka diberi tahu bahwa suasana negara sedang genting. Sejumlah perwira tinggi di tubuh TNI termasuk Jenderal Achmad Yani menghilang. Mereka ditugaskan mencari keberadaan para jenderal yang hilang itu. Mereka juga diperintahkan memulihkan situasi keamanan di Jakarta. Khususnya, merebut kembali kantor RRI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat serta Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur. Dua tempat penting tersebut sempat dikuasai kelompok G30S. 

Kisi-kisi lokasi keberadaan para jenderal yang diculik datang dari Agen Polisi Dua Sukitman. Pada 1 Oktober subuh, dia juga ditangkap pasukan Pasopati. Ketika itu Sukitman tengah berpatroli di dekat rumah jenderal DI Panjaitan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Beruntung dia berhasil melarikan diri ke Markas Komando RPKAD di Cijantung, Jakarta Timur. Pada 3 Oktober 1965, RPKAD menerima laporan intelijen kesaksian Sukitman itu. Para jenderal dibawa ke Lubang Buaya, sebuah desa di timur Jakarta yang masih sepi penduduk. Di Lubang Buaya tercatat hanya terdapat 13 rumah. Berdiri terpencar jauh satu sama lain. Tak mudah bagi pasukan RPKAD menemukan titik lokasi penyekapan para jenderal. Lebih-lebih, Sukitman tak tahu persis tempatnya. Dibantu warga, pasukan Sintong menyisir seluruh tempat yang ada di desa itu. Berjam-jam menyisir, sering kali mereka menemukan gundukan tanah yang diduga sebagai timbunan baru, tapi gagal. 

Para jenderal dicurigai telah dibunuh dan dibuang ke sumur. Kecurigaan itu muncul setelah seorang warga menunjukkan tempat lain di bawah area pohon pisang. Tempat itu berupa sumur tua yang sudah ditimbun dan disamarkan. Sintong lalu meminta semua personel Peleton 1 Kompi Tanjung terus menggali lubang secara bergantian dengan warga. Di sumur itu ditemukan timbunan dedaunan segar, batang pisang, dan pohon lainnya. Mereka makin yakin para jenderal ditimbun di sana setelah menemukan potongan kain. Sumur tua itu berkedalaman 12 sampai 15 meter. Namun baru di kedalaman 8 meter sudah tercium bau busuk. Malam semakin larut, seorang personel RPKAD berteriak. Dia menemukan kaki tersembul ke atas dari dalam timbunan. Sintong meminta penggalian terus dilakukan dengan hati-hati. Jasad para jenderal ditemukan, bertumpuk di kedalaman 12 meter. 

Proses pengangkatan jenazah bermula kala temuan itu langsung dilaporkan kepada Feisal Tanjung dan diteruskan kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Esok paginya, 4 Oktober 1965 digelar evakuasi dengan menerjunkan pasukan penyelam KKO. Menurut catatan, setidaknya ada 11 orang yang melakukan pengangkatan jenazah tersebut. Mereka adalah: Purnawirawan Pembantu Letnan Marinir Dua Sugimin, Winanto, Sutarto, Saparimin, J. Kandouw, A. Sudardjo, Hartono, Samuri, I. Subekti, dokter gigi Baharudin Sumarno, dan dokter tentara Kho Tjioe Liong. Proses pengangkatan jenazah tersebut diperkirakan berlangsung pada pukul 11.00 dan berakhir pada pukul 15.00. Ketika itu beredar informasi bahwa para jenazah ditemukan dalam keadaan dipotong-potong. Akan tetapi pada 2017, seorang sumber mengatakan bahwa jenazah para jenderal itu tidak seperti cerita yang beredar. Semua jenazah dalam keadaan utuh. Tidak ada yang matanya dicungkil atau kemaluannya dipotong, seperti cerita yang beredar, Saat itu pasukan evakuasi hanya dapat melihat kaki para jenderal yang dibuang. Hal ini menunjukkan jenazah dibuang dengan posisi kepala terlebih dahulu. Jenazah pertama yang diangkat adalah Pierre Tendean dan yang terakhir DI Panjaitan. Jenazah Jenderal Ahmad Yani dan Sutoyo sempat terjatuh kembali ke dasar sumur karena tali yang tidak kuat. Pada 5 Oktober, jenazah para perwira TNI AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Lalu, pada 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI--AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun