Mohon tunggu...
raframa yahya
raframa yahya Mohon Tunggu... -

Saellvertu I IR UA'15

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Musik, Penggerak Pengembangan Negara

19 Februari 2016   00:21 Diperbarui: 19 Februari 2016   00:36 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua golongan pendengar musik di dunia ini. Pertama, penikmat musik. Yang mendengarkan lalu tergila-gila dengan musik yang didengarkan atau musisi yang memainkannya. Kedua, pecinta musik. Yang mendengarkan musik dan lirik lalu kemudian diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari. Poin kedua terdengar seperti umat beragama yang membaca alkitab lalu melakukan amalannya pada kehidupan sehari0hari. Tapi bisa jadi seperti itu.

Contoh penikmat musik adalah para ‘fans karbitan’. Julukan yang akhir-akhir ini ramai terdengar, seiring dengan beberapa konser band luar negeri yang akan diadakan di Indonesia dan memicu histeria massa. Mulai dari penjualan tiket yang menguntungkan calo hingga penjualan merchandise yang menguntungkan beberapa pihak. Penikmat musik juga identik dengan fans yang tidak pernah absen di tiap konser yang diadakan si artis. Tentu dengan berbagai aksesori pelengkap konser.

Seperti t-shirt yang menunjukkan identitasnya sebagai fans, atau dengan tanda tangan yang didapatkan hasil berjubel dan mengantri berjam-jam untuk sekedar bertemu dengan idola. Penikmat musik bisa diketahui dari bagaimana golongan ini ‘mengagung-agungkan’ karya musik idola. Seperti mempromosikan musik yang didengarkannya pada teman-temannya atau dengan membantu mempromosikan konser demi konser yang dimiliki idola.

Sementara golongan kedua, pecinta musik, adalah bentuk senior dari penikmat musik. Yang boleh dikatakan sebagai bentuk kreatif dari penikmat musik. Yang tidak hanya tergila-gila atau begitu gandrung, melainkan juga berkarya dan berkontribusi untuk kelanggengan grup musik atau musisi yang diidolakannya. Bila penikmat musik datang ke konser idola dengan t-shirt sebagai identitas, maka pecinta musik biasanya memproduksi t-shirt tersebut sebagai hasil karyanya menggandrungi karya musik seseorang. Atau karya yang dimaksud disini juga bisa berarti lain. Seperti seorang penulis mengabadikan imajinasinya ketika mendengarkan musik menjadi sebuah karya tulis. Bisa juga dicontohkan dengan film Surat Dari Praha, yang diangkat dari lagu Glenn Fredly.

[caption caption="Efek Rumah Kaca membawakan Debu-Debu Berterbangan bersama Barasuara"][/caption]Pada akhirnya, musik untuk dinikmati. Untuk semua golongan. Sebagai pelepas penat dari dunia yang penuh dengan lara. Terlepas anda masuk golongan penikmat atau pecinta musik, toh tidak ada gunanya bagi industri musik kan? Yang terpenting adalah bagaimana penikmat dan pecinta musik mampu menghargai karya para musisi. tidak hanya dengan membeli hasil karya mereka secara legal, namun tetap mendukung mereka dengan mendengarkan karya-karya mereka.

Terutama musisi indoensia yang ketenaran dan kemapuannya mulai diragukan seiring dengan banyaknya grup musik dari luar negeri. Jangan salah, lho. Indonesia punya banyak band-band berkualitas. Dari band indie hingga band besar. Sebut saja Barasuara yang mengomposisikan lagunya dengan lirik yang menggunakan bahasa baku. Atau Silampukau yang mengangkat tema urban dengan fokus warga Surabaya menjadi tema dari album Dosa, Kota, Kenangan.

Simak saja Dialog Dini Hari, yang seolah membawa pendengar pada nuansa liburan di berbagai wilayah terpencil di Indonesia. Bisa jadi Pandai Besi mampu mengalahkan Queen dengan musiknya yang begitu rumit namun renyah didengar dengan komposisi musiknya yang beragam. Jika anda pecinta berita politik, tentu anda pernah mendengar Marjinal, grup musik rock yang selalu mengangkat tema politik di tiap karyanya. Dan yang terakhir, Efek Rumah Kaca dengan album Sinestesia sebagai sindiran halus terhadap berbagai hal anomali yang terjadi di masyarakat sekitar.

Mengenai musikalitas Indonesia. Tinggal menunggu dukungan dari warga dengan aktif mendengar, memahami, dan mempromosikan. Jangan heran dengan Korea yang memiliki gelombang K-Pop. Selain karena pemerannya yang begitu bening, K-Pop didukung warganya dengan ikut menikmati dan mempromosikan. Siapa tahu, Indonesia dapat menyebarkan gelombang I-Pop yang nantinya juga berpengaruh pada perekonomian dan pengembangan negara ini sendiri. Siapa tahu? Tahu bahwa sesuatu yang besar harus dimulai dari yang kecil. Benar bukan?

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun