Mohon tunggu...
Rafly Ramadhan
Rafly Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Intelijen dalam Penegakan Politik Sipil

27 Juli 2021   11:58 Diperbarui: 27 Juli 2021   12:31 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesiacollege.com

Oleh: Rafly Ramadhan 

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkeinginan membentuk lembaga intelijen baru di Indonesia, yaitu Badan Intelijen Pertahanan (BIP) yang akan berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Dinilai janggal ketika Kemhan di beberapa negara memiliki badan intelijen tersendiri, sedangkan di Indonesia termasuk Kemhan justru tidak memilikinya. Kemhan menilai rencana ini bukan hal yang baru, karena sudah diwacanakan sejak tahun 2008.

Bainstranas merupakan satuan kerja di Kemhan yang dibentuk sejak 2014, yang bertugas memberikan informasi intelijen kepada Menhan untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan. 

Keinginan ini menjadi polemik, menurut mantan Kepala Badan Intelejen Strategis TNI, Soleman B. Ponto, karena tugas Menhan membuat kebijakan pertahanan, sedangkan penyelenggaraannya dilakukan oleh Panglima TNI dan lembaga terkait menurut bentuk ancamannya. Sehingga informasi intelijen yang diperlukan Kemhan dapat disuplai dari Bais TNI, BIN, dan Atase Pertahanan. Di luar itu, Kemhan juga sudah memiliki Ditjen Strategi Pertahanan guna menganalisis kebijakan.

Intelijen pertahanan merupakan produk intelijen strategis yang berinstrumen dalam perumusan strategi pertahanan raya guna menjadi dasar penyusunan kebijakan umum dan kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara. Rangkaian kegiatan intelijen pertahanan terdiri dari perkiraan intelijen pengamatan terhadap lingkungan untuk mengategorikan ada negara bersahabat dan yang tidak bersahabat, dan perkiraan ancaman.

Muncul resistensi, gagasan intelijen pertahanan dapat menciptakan birokrasi baru komunitas intelijen dan sekedar alokasi jabatan di kalangan perwira TNI. Distorsi pemahaman ini diperkuat trauma sejarah politik intelijen yang digunakan untuk kepentingan politik rezim. Penggunaan intelijen yang mengabdi pada kekuasaan rezim menyebabkan terjadinya aksi pelanggaran HAM saat Orde Baru.

Pelanggaran ini melibatkan aparat, unsur militer yang terlibat lepas dari jerat hukuman melalui impunitas yang diterapkan, sementara kepolisian dan lembaga yudisial adalah lemah. Di masa menjelang runtuhnya Orde Baru, jaringan BAIS tersebar hingga pelosok Koramil di tingkat kecamatan/kelurahan. 

Masalah koordinasi merupakan hal krusial yang memerlukan pembenahan berkelanjutan terhadap kinerja komunitas intelijen. BAIS TNI misalnya, bertanggung jawab pada Mabes TNI, BIN bertanggung jawab pada Presiden, sementara Polri pada Presiden.

Secara struktural, intelijen yang diproduksi oleh BAIS dapat diberikan pada Presiden atas diskresi Panglima TNI, sementara Presiden dapat memberikan intelijen yang dihasilkan BIN pada Dephan dan bukan sebaliknya. Reformasi intelijen Indonesia tidak terlepas dari konteks supremasi sipil. 

Hal ini kemudian secara riil dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001, yaitu dengan perubahan BAKIN menjadi BIN dan pertanggungjawaban intelijen pada Presiden dan DPR. Sebelum lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berada di bawah kendali pemerintahan hasil Pemilu (supremasi sipil), dengan Kepala BIN yang ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden. Meskipun kemudian lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN dianggap masih mengadopsi karakter militeristik yang konservatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun