Pada tahun 1927-1942, kebangkitan nasional Indonesia mulai  bergaya kurang semarak. Dalam masalah politik, Gerakan anti-penjajahan melanjutkan Langkah-langkah yang tidak menghasilkan apa-apa. Rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindar dan paling konservatif dalam sejarahnya pada abad 20.  Rakyat daerah pedesaan tidak lagi memainkan peranan politik yang aktif karena dikecewakan oleh pengalaman mereka dengan SI dan PKI pada tahun-tahun sebelumnya dan juga karena, mulai tahun 1930 dan seterusnya, mereka lebih disibukkan dengan usaha untuk mengatasi masa-masa sulit yang ditimbulkan oleh Depresi.
      Pada tahun 1926 peran Soekarno muncul sebagai seorang yang menjadi harapan bangsa. Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno dan Algemente Studieclub memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Soekarno sebagai ketuanya yang pada tahun 1928 diubah namanya menjadi PNI. PNI merupakan partai politik penting pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan kemerdekaan Politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia sebagaimana yang ditentukan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan berideologi nasionalisme 'sekuler'. Selanjutnya Soekarno membentuk PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) sebagai wadah suatu gagasan nasionalisme seluruh Indonesia sebagai ukuran umum kini muncul semakin kuat. Akan tetapi, perbedaan-perbedaa tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah-belah gerakan-gerakan tersebut, dan persatuan yang dicapai oleh PPPKI tidaklah begitu mendalam. Pada tahun 1930, partai sarekat Islam mengundurkan diri dari PPPKI karena kelompok-kelompok lainnya menolak untuk mengakui peranan utama Islam, oleh para pemimpin islam perkotaan, dianggapp pantas. Memang negara sekuler seperti Turki, Mesir, Persia, dan Irak, yang memisahkan agama dan negara demi tercapainya modernitas. Namun Pimpinan Islam Indonesia tidak dapat menerima ide-ide tersebut, karena mereka erpikir bahwa jika nasionalisme yang tidak mempunyia ikatan kedaerahan dan agama merupakan dasar yang mengesampingkan kelompok-kelompok Isldam sehingga mereka akan tekucil dari arus utama kepemimpinan politik.  Di negeri Belanda pun muncul suatu kelompok kepemimpinan baru di kalangan para mahasiswa Indonesia yang bernama Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia terlibat dalam masalah-masalah politik. Pemimpin-pemimpin PKI yang diasingkan anatra lain, Tan Malaka dan Samaun, berpidato pada rapat-rapatnya dan organisasi tersebut bergerak keaarah radikal. Dua diantara pemimpin-pemimpin utamanya adalah orang Minangkabau, Mohammad Hatta dan Sutan Sjarir. Hatta kelak menjadi wakil Presiden dan Perdana Menteri dan Sjarir akan mmenjadi perdana Menteri. Dua orang jawa yang kelak menjadi perdana Menteri, Ali Sastromidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo, juga menonjol. Secara umum, mereka merupakan orang-orang terpelajar dan memiliki pandangan yang cukup jelas. Pada umumnya, mereka tidak romantic tentang dunia luar.
      Pada bulan September 1927, Hatta, Ali dan tokoh tokoh lainnya ditangkap dengan tuduhan menganjurkan dialkukannya perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan Belanda di Indonesia. Setelah disekap dipenjara selama lebih dari lima bulan, pada bulan maret 1928 mereka diadili di Den Haag dan dibebaskan, yang membuat pihak penguasa malu sekali. Hatta memanfaatkan pidato pembelaannya untuk melontarkan kecaman yang meyakinkan terhadap kekuasaan Belanda dan pembenaran atas Nasionalisme Indonesia.
      Pada kurun waktu itu, tepatnya pada tahun 1920-an dan 1930an gagasan-gagasan baru yang telah using tentang modernisasi bangsa Indonesia dan pertemuan budaya antara Lokal dan Modern (yaitu Eropa)-gagasan-gagasan yang mendasar bagi politik Etis takluk dihadapan rlativisme budaya dan deteminisme serial, seperti yang juga terjadi di negeri-negeri jajahan lain. Selanjutnya, Komunitas Eropa yang lebih konservati merasa sangat cemas dan sakit hati dikarenakan pada rapat besar Soekarno dan pemimpin-pemimpin lainnya dengan seenaknya mencerca penguasa kolonial. Gubernur Jendral Andries C.D> de Graeff (1926-31), yang cenderung memihak Politik Etis, masih enggan untuk mendukung tindakan represi umum. Meskipun demikian, pada tahun 1928, dia mengirim Tjipto mangunkusumo ke pengasingan di Banda (sampai tahun 19410 dan menyuruh penumpasan terhadap sisa-sisa terkahir Gerakan serikat buruh yang berhaluan kiri ketika pimpinan Sarekat Kaum Buruh Indonesia (berdiri tahun 1928) ditangkap pada tahun 1929.
      Pada akhirnya, pemerintah mengambil tindakan terhadap PNI dengan menangkap , Soekarno dan pemimpin-pemimpin lainnya. Soekarno dihukum dengan tuduhan membahayakan ketertiban umum dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun di penjara Sukamiskin, Bandung. Dengan ditangkap dan dipenjarakannya pemimpinnya itu, maka lumpuhlah PNI dan berhentilah kegiatan-kegiatanyya. Tanpa Soekarno, PNI nyaris tak ada apa-apanya. Namun gagasan tentang identitas nasional Indonesia tersebutmulai diterima secara luas di kalangan elite dam kini ditopang oleh perkembangan-perkembnaggan dibidang budaya. Suatu kesastraan baru mulai muncul yang di dasarkan pada bahaya melayu. Dengan berkembangnya keasastraan ini, kaum terpelajar Indonesia tidak lagi menyebutnya 'bahasa melayu', melainkan 'bahasa Indonesia'. Dari sinilah lahir Bahasa Indonesia sebagai sarana persatuan nasional. Pada bulan Oktober 1928, kegiatan-kegiatan budaya dan politik kea rah persatuan Indonesia bergabung secara resmi pada Kongres Pemuda yang diadakan di Batavia. Di dalam Sumpah Pemuda sendiri berisi menyetujui tiga pengakuan; satu tanah air, Indonesia ; satu bangsa, Indonesia ; dan satu bahasa, bahasa Indonesia.
      Pada tahun 1930-an, bangsa Indonesia mengalami depresi ekonomi yang melanda dunia. Sebagaimana ada gejala krisis yang akan terjadi di negara-negara idnsutri sebelum kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929, maka demikian juga di Indonesia aa indikasi bahwa kemakmuran yang tampak pada akhir tahun 1920-an tidak akan bertahan lama. Indonesia sangat bergantung pada ekspornya, terutama produk minyak bumi dan pertanian. Pada tahun 1930, sebanyak 52% dari produk-produk ini dieskpor ke negara-negara industry Eropa dan Amerika Utara. Krisis ekonomi dikedua daratan ini yang berakibat diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu krisis ekonomi yang tak pernah sepenuhnya teratasi sebelum penaklukan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942.
      Seluruh harga ekspor di Indonesia turun drastis yang menimbulkan bencana pada tahun 1929. Pada tahun 1935, nilai ekspor turun hingga tinggal sekitar 32% dari nilai yang diperoleh pada tahun 1929. Volume ekspor juga turun karena menciutnya pasar dan diberlakukannya kebijakan proteksi. Karena ekspor turun, maka impor pun perlu dikurangi, termasuk bahan makanan. Pendapatan pemerintah diperoleh dari retribusi dan pajak terhadap pendapatan dan pengeluaran. Oleh karena itu, Batavia sekarang menghadapi krisis pendapatan. Pajak tanah yang dibayarkan terutama oleh rakyat Indonesia juga turun, tetapi tak secepat harga beras, produk pertanian besar, sehingga beban pajak riil bagi rakyat Indonesia naik.
      Dampak Krisis ini terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius. Bahwa pekerja Indonesia cenderung kembali ke pertanian untuk menyambung hidup, namun juga benar bahwa banyak di antaranya tidak memiliki kesempatan itu sama sekali. Dalam kenyataanya, ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hingga tahun 1934. Pada tahun 1937, pendapatan per kapita mungkin telah meningkat hingga seperti tahun 1929, tatapi hal itu tidak menunjukkan sama sekali pemerataan pendapatan.
      Seperti halnya tidak ada alasan untuk optimis dalam bidang ekonomi pada tahun 1930-an, demikian pula tidak ada alasan yang sama di bidang politik. Gubernur jendral Bonifacius C. de Jonge, mantan Menteri peperangan dan Direktur Royal Dutch Shell, ia menentang semua bentuk nasionalisme dan juga tidak ingin melihat Volksraaf maminkan peranan penting. Rapat-rapat politik orang Indonesia seringkali dibubarkan oleh pihak polisi dan para pembicaranyya ditangkap. Selanjutnya, sebagai pengganti de Jonge, Alidius W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer, sedikit lebih luwes, namun tidak membawa perubahan besar. Menteri urusan daerah jajahan di Den Haag mulai tahun 1933-1937 adalah Hendrikus Colijin, orang yang sangat menentang ide-ide etis dan pernah menjadi DIektur Shell. Dalam lingkungan seperti ini, maka tidak mengherankan apabila nasionalisme hanya mendapat sedikit kemajuan. Pada tahun 1930-an, Belanda benar-benar menguasai Indonesia dan bertekad untuk tetap begitu.
Pada tahunn 1930-an, M. Husni Thamrin membentuk Kelompok nasional yang bertujuan untuk memperjuangkan semacam bentuk otonomi Indonesia di dalam kerja sama dengan Belanda. Banyak organisasi yang terbentuk seperti Taman siswa dan PBI yang memiliki tujuan yang berbeda namun memiliki visi yang sama dalam membuka jalan kebenaran bagi bangsa Indonesia.
Pada bulan Desember 1931, Soekarno dibebaskan. Dia segera berusaha mempersatukan kembali Gerakan Nasionalis, tapi gagal. Pada bulan Agustus 1932, dai bergabung dengan Partindo yang tampaknya juga mempunyai naluri seperti yang dimilikinya dal hal aksi massa. Pada bulan Juli 1933, Partindo menyatakan mempunyai anggota sebanyak 20.000 orang. Pada bulan agustus 1932, Hatta pulang setelah sebalas tahun tinggal di negeri Belanda dan mengambil alih pimpinan atas PNI-baru. Â Namun, Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan dan adanya perpeecahan antara mereka. Reaksi pemimpin Islam terhadap perkembangan nasionalisme 'sekuler' tersebut pada umumnya bersifat memusuhi. Orang Miangkabau lainnya, Mohammad Natsir yang merupakan sebagai seorang ahli polemic islam yang terkemuka menjadi akrab dengan pemikiran islam modernis yang ekstrem dari Persatuan Islam dan, pada tahun 1932, dia mengambil alih pemimpin atas sistem sekolahnya yang baru. Natsir juga menulis artikel-artikel yang menyatakan bahwa hanya Islamlah yang dapat menjadi dasar bagi suatu kebangsaan Indonesia.
Pada dasarnya, Pemimpin Islam Modernis tidak menerima adanya Nasonalisme Sekuler adalah karena hal ini dapat mengakibatkan terkucilnya Islam dalam bidang politik. Hal ini juga menyebabkan terkucilnya elite nasional dari rakyat, karena pada waktu itu baru islamlah yang dapat memberikan pertalian-pertalian keorganisasian yang potensial antara pemimpin-pemimpin yang berpendidikan di kota-kota dengan masyarakat pedesaan.
Karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jendral de Jonge, maka munculullah suatu petisi yang diajukan oleh sutarjo kartohadikusumo. Petisi Sutarjo ini diusulkan pada 15 Juli 1936 kepada pemerintah Ratu serta staten General (Parlemen) di negeri Belanda. Usul petisi yang kemudian dikenal dengan nama petisi Sutarjo diajukan pada tanggal 15 juli 1936 kepada pemerintah Ratu serta staten General (parlemen) di negeri Belanda. Adapun isi petisi ialah bermohon supaya diselenggarakan suatu musyawarah, antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu Pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas Undang-undang dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur di jalankan dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan di tetapkan oleh sidang permusyawarahan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraat reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunnyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan. Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah soeara Khatolik menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengari cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini. Menurut harian Pemandangan saat usul ini dimajukan sangat telat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur jenderal de Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda yang menurut pendapat waktu itu. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
Pada tanggal 21 Mei 1939 didalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasillah didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Ditegaskan juga bahwa masing-masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai - partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Untuk pertama sekali pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amin Syarifuddin, Abikiusno Tjokrosuyoso. September 1939 GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang kemudian dikenal dengan nama Manifest GAPI. Isinya ialah mengajak rakyat-rakyat Indonesia dan negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme dimana kerjasama akan lebih berhasil apabila kepada rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan GAPI disokong oleh semua lapisan rakyat Indonesia. Seruan itu disambut hangat oleh pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar mengenai GAPI bahkan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme juga diuraikan secara khusus. GAPI sendiri juga mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12 Desember 1939 dimana tidak kurang dari 100 tempat di indonesia mengadakan rapat memprogandakan tujuan GAPI. Selanjutnya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Kakyat Indonesia diresmikan sewaktu diadakannya kongres rakyat Indonesia yang pertama tanggal 25 desember 1939 di Jakarta. Tujuannya adalah Indonesia Raya bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempatan cita-citanya. Dalam kongres ini berdengunglah suara dan tututan "Indonesia berparlemen".
Pada saat itu, Belanda melakukan dua Langkah penting dalam rangka persiapan menghadapi perang. Langkah pertama adalah menyingkirkan beberapa orang yyang berpotensi menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pada tahun 1941 kepolisian menangkap Tahmrin, yang sedang sakit gawat, karena menjalin hubungan dengan pihak jepang bersama-sama dengan Douwes Dekker yang menjabat sebagai sekretaris Kamar Dagang Jepang. Lima hari kemudian, Thamrin wafat di dalam tahanan. Selanjutnya, masalah pertahanan yang telah mengilhamibangsa Indonesia untuk mengusulkan pembentukan Volksraad pada tahun 1914-8 mengakhiri sejarah Volksraad. Kaum nasionalis Indonesia di dalam Volksraad berpendapat bahwa seharusnya tidak ada miisi tanpa adanya parlemen penuh. Meskipun demikian, usulan tentang milisi tersebut disahkan Volksraad pada bulan Juli 1941 karena mendapat dukungan dari anggota yang ditunjuk oleh pemerintah dan yang berkebangsaan Eropa.
Tetapi, kini kekuasaan Belanda berada pada saat saat terakhirnya. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, Filipina, dan Malaysia. Pada tanggal 10 januari 1942, penyerbuan Jepang ke Indonesia dimulai. Pada tanggal 8 Maret 1942, pihak Belanda di Jawa menyerah dan Gubernur jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan oleh pihak jepang.
Pada akhirnya, selesai sudah kekuasaan Belanda di Indonesia. Ia hanya memninggalkan sedikit sahabat di kalangan rakyat Indonesia. Bahkan, kalangan elite yang telah mengharapkan berlangsungnya evolusi melalui kerja sama kini benar-benar menyangsingkan niat baik pihak Belanda. Dan di antara orang-orang Indonesia yang di tangkap diselurug kepulauan ini terdapat suatu generai pemimpin yang memandang kolonialisme Belanda sebagai beban berat yang tidak dapat ditahan lagi.
        Paling utama dalam perjuangan adalah adanya persatuan dan kesatuan. Hal ini dibuktikan setelah jalur perjuangan rakyat Indonesia berubah menjadi jalur politik maka pemerintah Hindia Belanda mulai kerepotan untuk mempertahankan kedudukannya karena rakyat tidak bisa lagi dipecah belah dengan politik devide et impera
Â
DAFTAR PUSTAKA
GINTING, J. S. (n.d.). PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA TAHUN 1927-1942. SEJARAH , 1-17.
RICKLEFS, M. (2008). SEJARAH INDONESIA MODERN 1200-2008. JAKARTA: Program Pustaka.
ROHMADI, N. (n.d.). Fraksi Nasional: Multikulturalisme untuk Indonesia. SEJARAH, 75-78.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H