Pagi itu,
aku hampir lupa cara bahagia
sebab penyesalan selalu memaksaku
untuk mengingatmu.
Siang itu,
matahari merintih dibalik awan
berharap, langit merasakan tetesan air
yang berteduh dipipi bumi.
Kenangan itu bertamu lagi
meminta rindu untuk bertemu kembali
Sore itu,
jingga selalu menaruh keluh
dibalik senja,
menunggu kabar angin
untuk membuka rasa ingin.
Saat itu juga
dibenakku tertanam seraut kesah
yang selalu berpaling dibalik bekap
agar rasa tertahan untuk terungkap.
Malam itu,
bintang-bintang bernari mengelilingi purnama
diatas daun-daun gugur,
dan setangkup cahaya menyuburkannya
namun langit menggugurkannya kembali.
Aku hampir bangkit kembali
kedalam genangan air yang tenang
kedalam percikan hujan
yang turun ke lutut sungai;
lebih dalam,
kedalaman,
aku tenggelam,
lalu kemarau membebaskanku
untuk menghirup udara kembali.
Hari itu,
langit berwajah samar;
angin beriringan dengan hujan
bintang dengan bulan
dan aku bersama kenangan
hanya mengenang,
tidak terkenang,
lalu menggenang,
bersama penyesalan yang terus membentang
dihamparan karsa yang culas untuk mengurai rasa; hampa!
Rafly Febriansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H