Cuaca dan iklim tak memiliki batas antara negara atau yang disebut batas teritorial. Gangguan cuaca yang disebabkan oleh berbagai faktor meteorologi yang dialami oleh suatu negara pasti akan berdampak pada negara lainnya. Cuaca dan iklim tidak bisa dijaga dan dibatasi atau bahkan dilakukan "lockdown".
Cuaca seperti rantai yang saling terhubung antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tarikan pada satu titik di rantai tersebut, menyebabkan bagian rantai yang lain bergoyang, meskipun goyangan tersebut semakin berkurang bersamaan dengan jarak yang semakin jauh.
Pada kasus yang terbaru ini adalah siklon tropis "Charlotte" yang beraada di Barat Laut Australia berdampak bukan hanya di Indonesia, tetapi sampai ke Australia. Salah satu dampaknya adalah hujan lebat dan disertai petir yang terjadi beberapa hari sebelumnya pada ajang moto gp di Mandalika.
Salah satu kasus yang mungkin kita bersama ingat, dimana kita mendapatkan banyak protes dari negara tetangga adalah asap dari kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, bukan hanya menyulitkan penduduk sekitar dengan asapnya, tetapi juga sampai ke negara sekitar seperti Singapura dan Malaysia. Protes pun dilayangkan kepada Kementrian Lingkungan Hidup negeri ini.
Fenomena terbesar dari rantai cuaca dan iklim yang pernah terjadi di negeri ini adalah sewaktu meletusnya gunung Krakatau lebih dari 100 tahun yang lalu. Pada saat itu, letusan gunung purba tesebut bahkan menyebabkan turunya suhu rata-rata musim panas di berbagai tempat di belahan dunia.
Jika satu fenomena saja, bisa berdampak sebegitu hebatnya terhadap perubahan cuaca dan iklim di dunia, bagaimana jika fenomena-fenomena itu terjadi bersamaan?
Cuaca dan Iklim yang diibaratkan seperti sebuah rantai, harus disikapi oleh berbagai negara secara gotong-royong, bukan saling tuduh atau saling menyalahkan. Seperti kasus kebakaran hutan, dimana negara tetangga menyalahkan negara ini atas kasus kebakaran tersebut, padahal banyak dari penyebab terjadinya kebakaran adalah investor perkebunan sawit dari negara tetangga.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebenarnya telah membentuk Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai wadah bagi negara-negara dunia dalam menangani masalah perubahan iklim. Salah satu konvensi yang dihasilkan dari IPCC adalah membatasi peningkatan suhu bumi maksimal 20C sampai 2050 mendatang. Meksipun begitu negara-negara maju tidak menunjukkan upaya yang maksimal demi mendukung terwujudnya konvensi ini.
Negara berkembang yang memiliki banyak masalah, tentunya tak akan bisa mengatasi masalah perubahan iklim sendirian, tanpa adanya bantuan dari negara-negara maju. Jadi inilah saatnya bagi Indonesia, sebagai presidensi G-20, menekan negara-negara maju, agar lebih fokus terhadap penyelasaian masalah iklim.
Achmad Raflie Pahlevi
Prakirawan BMKG Maritim Lampung