Mohon tunggu...
Rafli Syahrizal
Rafli Syahrizal Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Sastra Indonesia, UI

Tinggal di Depok. Belajar di SMAN 10 Bogor, UI, dan di manapun. Blog: https://rafleee.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rajin Ibadah tapi Masuk Neraka, Kok Bisa?

23 Juli 2020   13:27 Diperbarui: 23 Juli 2020   15:14 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang tetua penjaga surau itu, kini telah tiada. Senarai kisah hidupnya yang terlihat memesona, menguap hilang ditelan kelam. Hari-harinya yang diisi dengan ketaatan  tak membuat akhir hidupnya indah penuh kepastian . Ia ahli ibadah yang kemudian berputus asa, dan mati sia-sia. Surau yang menaunginya, tak lagi tegak berdiri, kini sudah roboh. Roboh seroboh-robohnya, persis seperti keyakinannya pada Tuhan.

Cerpen AA. Navis "Robohnya Surau Kami" (selanjutnya RSK) masih membekas dalam benak saya. Ditulis tiga perempat abad lalu, RSK membawa semangat pembaruan, melawan dogmatis golongan yang dianggap konvensional dalam beragama.

Melalui RSK, nama Navis melambung tinggi. RSK menjadi legitimasi kesastraannya. Ia pun masuk ke dalam tokoh sastrawan masyhur angkatan 66. Walaupun dinamika sastra membawa RSK ke dalam karya yang dianggap kontroversi---dianggap mengejek Islam karena menjadikan tokoh ahli ibadah masuk neraka. Namun, senarai hikmah bisa kita dapatkan dalam cerita. Cerita yang masih relevan dengan kondisi masyarakat kini. Tak heran jika RSK adalah sarana untuk mengenal corak karya Navis dan menjadi karya memorable yang menjadi ingatan kolektif masyarakat hingga saat ini.

Melalui sudut pandang orang ketiga, tokoh "Aku" mengantarkan kita pada cerita hidup Kakek penjaga surau. Ia adalah seorang ahli ibadah. Hari-harinya diisi dengan salat, berzikir, membaca Al-Quran, dan segala amalan mulia lainnya. Ia keluar dari surau, hanya ketika ada orang memintanya tolong untuk mengasah pisau atau gunting. Lain keperluan, ia tak mau meninggalkan surau. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia mengandalkan sedekah Jumat, panen ikan mas tiap enam bulan sekali di kolam ikan yang terhampar depan surau, juga dari zakat setahun sekali yang diberikan warga. Ia hidup dalam kesederhanaan.

Tidak ada waktu untuk sekadar bersenda gurau bersama keluarga atau berceloteh bersama para tetangga. Ia hanya mau mengabdikan hari-harinya kepada Tuhan saja. Untuk Allah saja waktunya ia maksimalkan.
Waktu berlalu. Berita sedih itu datang kepada "Aku" yang kaget akan kematian "mendadak" yang terjadi pada Kakek. Terlebih, ia meninggal bunuh diri. Menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur. "Aku" terkesiap seketika, pikirannya menjelajah kepada satu waktu. Ketika si Kakek curhat kepadanya.

Kakek menceritakan ulang kisah yang disampaikan Ajo Sidi---orang kampung yang terkenal suka menyindir orang-orang dengan cerita pameo-nya---Ia terlihat begitu marah ketika bercerita. Ajo Sidi dianggap sudah merendahkan martabatnya sebagai hamba Allah.

                                                                                                                                      ***
Inilah kisahnya...

Alkisah, Haji Saleh, seorang yang terkenal suka beribadah semasa hidupnya. Kini, ia telah mati. Dirinya tengah antri menunggu peradilan Sang Maha Adil. Di dalam pengadilan Tuhan, dia melihat orang-orang menunggu dengan getir gilirannya disidang. Haji Saleh tak tampak takut, sebaliknya, ia mesem-mesem saja, terkesan berkata "Aku sih yakin...!" mengingat amalannya yang melimpah, rasanya.
Tibalah saat yang dinanti, Haji Saleh maju dengan percaya diri. Tuhan membuka sidang dengan bertanya:

"Engkau Saleh?," tanya Tuhan.

"Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku."

Kemudian Tuhan bertanya, "Apa kerjamu di dunia?"

Haji Saleh menjawab dengan rinci amalan ibadahnya selama di dunia dengan percaya diri.

Kemudian, Tuhan terus bertanya "Lain lagi?

Haji Saleh menjawab terus, hingga ia merasa telah menyebutkan semua amalannya, ia kehabisan kata-kata.

Keputusan sidang berakhir dengan dimasukkannya Saleh ke dalam neraka.

Di dalam siksa; Ia melihat kawan-kawannya dulu yang terkenal ahli ibadah, bernasib sama. Ia bingung, kemudian menggalang dukungan untuk protes kepada Tuhan, memastikan bahwa Tuhan tidak keliru dengan keputusannya. Namun, semuanya berakhir dengan jawaban yang menyadarkan mereka dan menjadi pembelajaran berharga bagi kita. Tuhan memiliki jawabannya:

1) Mereka memang memiliki kesalehan pribadi, namun kesalehannya itu tidak didayagunakannya untuk menyebarkan kesalehan sosial. Seperti Haji Saleh yang memilih hidup melarat. Namun, kemelaratan itu menyebabkan istri, anak, dan cucunya hidup dalam kemelaratan dan mereka teraniaya dengan itu. Ia tidak memenuhi hak keluarganya dengan baik.

2) Mereka suka berkelahi antara mereka sendiri, saling menipu, dan saling memeras. Mereka menghancurkan agamanya sendiri.

3) Suka beribadah saja, semata-mata karena ibadah tidak mengeluarkan penat yang lebih banyak ketimbang bekerja banting tulang, memenuhi hak manusia di dunia.

Haji Saleh dan kawanannya pun menyesali perbuatan mereka. Saleh sadar bahwa ibadahnya yang banyak tidak cukup membawanya kepada surga Sang Khalik. Saleh  sadar bahwa kasih sayang dan rahmat Tuhan-lah yang mampu menyelamatkan hambanya. Pun kesalehan pribadi itu ternyata tidak cukup,  kita tidak peduli dengan hak-hak orang-orang lain yang harus kita tunaikan. Kesalehan sosial juga penting.                                                                         

                                                                                                                                                    **

"Aku" pun sedih terhadap perilaku Kakek. Ia merasa menyesalkan perbuatan sang Kakek yang berputus asa, akibat cerita yang ternyata menyindir, tepat di kalbu Sang Kakek. Pun cerita Ajo Sidi, "Aku" begitu marah kepadanya. Di satu sisi, ia tidak menyangkal cerita Ajo Sidi yang dianggapnya bisa relevan dengan kehidupan nyata, di sisi lain, ia kesal karena akibat Ajo Sidi, Kakek meninggal dan mati dalam kesia-siaan.

                                                                                                                                                   **
"Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga."

"Engkau juga tidak ya Rasulullah?" beberapa sahabat dengan penasaran bertanya.

"Ya, Aku pun tidak. Itu semua (masuknya seseorang ke dalam surga) hanya karena karunia dan rahmat Allah SWT.
Dialog Rasulullah Saw., dengan para sahabatnya itu (dinukil dari HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) menegaskan bahwa kelak di akhirat yang menentukan kesudahan kita, di mana kita akan bernaung, bersama siapa kita tinggal, hanyalah kasih sayang dan rahmat Allah SWT. Keridaan dari-Nya adalah kunci kesudahan kita. Kunci kehidupan yang khusnul khatimah.

Kesalehan pribadi atau lebih akrab kita kenal sebagai hubungan kita dengan Allah habluminallah harus selaras dengan kesalehan sosial, hubungan kita dengan manusia habluminannas. Kesalehan sosial terwujudkan dalam sikap kepedulian seseorang dalam menunaikan hak sesama manusia, seperti humanis, ramah, bersahabat, toleransi, serta terpenting membangun ukhuwah antarsesama.

Wallahu alam bishawab...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun