**Kebebasan Berekspresi vs Etika Profesi: Implikasi Hukum Pidana**
Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dilakukan untuk melindungi hak orang lain, ketertiban umum, keamanan nasional, dan etika tertentu yang relevan, termasuk dalam konteks etika profesi.
### **Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Etika Profesi**
Dalam dunia profesional, terutama pada profesi tertentu seperti jurnalistik, hukum, kedokteran, atau pendidikan, kebebasan berekspresi sering kali diatur lebih ketat oleh kode etik profesi. Hal ini dilakukan untuk menjaga profesionalisme, kepercayaan publik, dan integritas dalam menjalankan profesi. Contohnya:
1. **Jurnalistik:** Kode etik jurnalistik mengharuskan wartawan mematuhi prinsip kebenaran, akurasi, dan tidak menyebarkan berita yang menyesatkan. Penyimpangan dapat menimbulkan tuntutan hukum seperti pencemaran nama baik.
2. **Hukum:** Advokat dilarang memberikan pernyataan yang dapat merusak reputasi pihak lain tanpa dasar hukum yang jelas.
3. **Kedokteran:** Dokter harus menjaga kerahasiaan pasien, yang jika dilanggar dapat berimplikasi pidana berdasarkan Undang-Undang Kesehatan.
### **Tantangan dalam Implementasi**
Ketegangan sering muncul ketika kebebasan berekspresi dianggap melanggar norma etika profesi atau bahkan hukum pidana. Contohnya, kritik terhadap suatu institusi atau individu yang dilakukan oleh seorang profesional dapat dinilai melanggar kode etik dan berdampak hukum pidana jika mengandung unsur pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP) atau penyebaran berita bohong (UU ITE Pasal 28 ayat (2)).
**Kasus Relevan:**Â Â
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana kebebasan berekspresi berbenturan dengan etika profesi: