Mohon tunggu...
Rafli Marwan
Rafli Marwan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bahasa, sastra, dan Budaya

"Seorang Penulis dapat melihat segi-segi lain yang umum tidak mampu melihat (Pramoedya)"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arteria "Benar", Tapi...

21 Januari 2022   04:16 Diperbarui: 21 Januari 2022   04:24 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Arteria Dahlan dalam rapat Komisi III DPR-RI dengan Kejaksaan Agung (17/1/2022) menuai kritik oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Sunda. Agar lebih jelas, saya mengutip tuturan Arteria yang akhirnya menjadi kontroversial di bawah ini:

"Ada kritik sedikit, Pak JA (Jaksa Agung). Ada Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) yang dalam rapat, dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda. Ganti (Kajati) pak, itu. Kita ini Indonesia, Pak. Jadi orang takut, kalau ngomong pakai bahasa Sunda entar orang takut, pak. Ngomong apa? Dan sebagainya. Kami mohon sekali yang seperti ini dilakukan penindakan tegas".

Terlepas dari kontroversi yang ada, saya ingin menanggapinya berdasarkan Peraturan dan Undang-Undang Tentang Bahasa Indonesia.

Pertama, negara kita Indonesia adalah negara hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk bahasa. Bahasa resmi negara Indonesia adalah bahasa Indonesia yang telah ditegaskan dalam UUD Bab IV Pasal 36.

Kedua, karena bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara Indonesia, maka setiap forum resmi kenegaraan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini telah tegaskan dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebanggsaan, Pasal 32 Ayat (1).

Ketiga, rapat kerja pada forum resmi wajib menggunakan bahasa Indonesia, seperti yang tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 33 Ayat (1) dan Perpres RI No. 63 Tahun 2009 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Pasal 14 poin (e).

Keempat, Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya ketika berpidato pada forum resmi, wajib menggunakan bahasa Indonesia, seperti yang telah diatur dalam Perpres No. 63 Tahun 2009 Pasal 5 dan 6. Pejabat lainnya yang dimaksud adalah MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi Yudisial, KPK, Menteri, Kedutaan, Gubernur, Bupati/Walikota, dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang, termasuk Kejaksaan.

Empat poin tersebut menjadi dasar penggunaan bahasa bagi setiap pejabat di lingkungan kerja lembaga negara.

Terlepas dari apakah yang dikatakan Arteria tentang Kajati itu benar atau tidak, yang pasti, pejabat negara yang menggunakan bahasa daerah di forum resmi lembaga negara, itu artinya dia sudah melangkahi undang-undang. Sebab, bahasa Indonesia-lah yang wajib digunakan.

Penggalan tuturan Arteria "Kita ini Indonesia, Pak", menurut saya, ada kalimat lain dibalik itu yakni "kalau kita orang Indonesia, wajib menggunakan bahasa Indonesia". Secara tidak langsung, Arteria ingin menegaskan perlunya penggunaan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. 

Jelasnya, yang tidak diperkenankan bukan hanya bahasa Sunda tapi juga tujuh ratusan bahasa daerah di Indonesia, bahkan termasuk bahasa asing. Tapi, saya tekankan sekali lagi, bukan persoalan merendahkan bahasa daerah, ini tentang menjunjung tinggi bahasa resmi negara, bahasa Indonesia.

Apa gunanya undang-undang kebahasaan kalau tidak implementasi. Apa gunanya merayakan Sumpah Pemuda yang di dalamnya menegaskan untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Bila dalam satu forum rapat kerja terdapat lima pejabat dengan bahasa daerah yang berbeda dan tidak saling memahami kemudian mereka menggunakan bahasanya masing-masing, bayangkan saja apa yang terjadi. Dipastikan terjadi kesalahpahaman. Ihwal semacam inilah bahasa Indonesia hadir sebagai pemersatu seperti yang tertuang dalam kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

Maraknya fenomena campur kode (penggunaan dua bahasa atau lebih dalam satu kalimat atau tuturan) atau istilah anak muda "keminggris", bukan saja terjadi pada remaja, tetapi juga pada pejabat-pejabat kita, termasuk Arteria.

Arteria, di satu sisi dia mengeritik orang "ngomong pakai bahasa Sunda", di sisi lain dia menggunakan satu kata berbahasa Sunda "ujug-ujug" (tiba-tiba/sekonyong-konyong) dalam tuturannya. Ini yang pandangan saya, konteks tuturan Arteria yang menjadi kontroversial itu mengadung kebenaran bila mencermati undang-undang, tapi dia sebagai pejabat pun termasuk melangkahi undang-undang tersebut.

Campur kode atau menggunakan bahasa daerah sepenuhnya di dalam forum resmi lembaga negara seperti Kejaksaan sama hal dengan mempersempit ruang hidup bahasa Indonesia. Forum resmi adalah ranahnya bahasa Indonesia, dan justru itulah penutur wajib menggunakannya. Bahasa daerah punya ranahnya sendiri yang telah diatur dalam kedudukan dan fungsi bahasa daerah.

Berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan ranannya berarti  mencintai NKRI, menghormati pejuang bangsa yang memperjuangkan bahasa Indonesia, dan menjunjung identitas bangsa Indonesia. Ini yang perlu diimplementasikan. Hanya saja, kadang pejabat kita ini sudah tak benar dan tak baik, ditambah pula tak menghormati pula bahasa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun