Menonton tayangan perdana Film Bumi Manusia di bioskop semalam, muncul adegan yang mengherankan, tapi bukan filmnya melainkan penonton. Ketika adegan pertama memunculkan Iqbal Ramadhan, penonton berdecak riuh: "dilaaan..., dilaaan,..., dilaan". Decakan riuh itu kembali lebih keras ketika Iqbal mencium tangan dan pipi Mawar Eva yang berperan sebagai Annelies. Mendengar itu, saya menepuk jidat, terheran: "astagaaa!".
Penonton sadar atau tidak bahwa sesungguhnya Iqbal yang mereka tonton bukan Dilan melainkan Minke. Atau jangan-jangan nama panggilan Minke adalah Dilan.
Sosok Iqbal yang tampan menyihir penonton. Rayuan dan kenakalannya di film Dilan mengontruksi fanatisme penonton untuk sulit melupakan.
Yang dilupakan
Dalam Novel, Minke adalah sosok pribumi yang berpikiran eropa. Seorang pelajar H.B.S. yang cerdas dan handal dalam membaca, berdiskusi, dan menulis. Bahkan menulis menggunakan nama khusus: Max Tollenar. Hal inilah yang dilupakan dalam film. Pada adegan pertama, kecerdasan muncul bukan pada Minke tetapi Robert Suurhof. Bahkan ketika berkunjung ke Buitenzorg, sosok Minke tidak mencerminkan pelajar handal, melainkan laki-laki yang datang belajar bercinta-cintaan. Dia tampil sebagai laki-laki berotak kosong ketika berhadapan dengan Nyai Ontosoroh. Harusnya diskusi kebudayaan Pribumi-Eropa hadir diantara mereka.
Minke bukan sosok romantis, melainkan intelektual (pelajar cerdas). Sebagai intelektual, dia tidak tampil kaku pada siapapun. Tapi justru dalam film adegan Minke bertemu dengan Nyai menunjukan kekakuan yang luar biasa. Padahal, harusnya sikap Minke pada posisi itu adalah kehati-hatian atau ikhtiar berhadapan dengan Nyai. Karena dia tahu sosok Nyai adalah pribadi cerdas yang belajar otodidak.
Di H.B.S. intelektual justru muncul pada Dapperste dan Robert Suurhof. Sementara Minke membisu, padahal diskusinya dengan Magda Peters tentang keadaan pribumi yang tertindas sangat penting untuk dimunculkan. Karena itu menunjukan sosok Minke secara subtansial. Untuk menunjukan nilai tertinggi kelulusannya sebagai pelajar H.B.S tidaklah cukup menggambarkan intelektualitasnya
Intelektualitas Minke hanya muncul dibeberapa adegan, diantaranya dia menulis sebagai pembelaan hak hukum perkawinan di muka agama dan di pengadilan Belanda. Selain itu, dia juga menerjemahkan bahasa Belanda di acara pelantikan Ayahnya sebagai Bupati.Â
Pada pelantikan itu, muncul Sarah dan Miriam yang melirik Minke dengan genit. Tetapi yang dilupakan adalah kegenitan mereka berdebat dengan Minke tentang rasial eropa terhadap pribumi.
Sosok Minke hampir sama dengan Nyai Ontosoroh: pribadi yang cerdas, keras, kuat dan suka melawan, bedanya hanya jenis kelamin. Minke jarang meneteskan air mata, apalagi air mata kekanak-kanakan.
Harapan