[caption id="attachment_281471" align="aligncenter" width="576" caption="Sumber: Koran Serambi Indonesia Minggu 1 Desember 2013"][/caption]
Kunjungan mantan Sekretaris Negara merangkap Menteri Pendidikan ddan Penerangan Gerakan Aceh Merdeka (HAM) Dr. Husaini Hasan ke Meulaboh minggu lalu ternyata membawa kehebohan tersendiri, tidak saja bagi masyarakat Aceh namun juga para elit eks kombatan GAM yang sebagian besar telah bermetamorfosa menjadi bagian partai politik lokal terbesar di Aceh, Partai Aceh. Kunjungan Husaini minggu lalu tersebut menjadi headline di koran-koran lokal yang berisikan adu argumen antara Wali Nanggroe yang ditunjuk oleh DPRA dengan Husaini Hasan beserta para penentangnya. Wali Nanggroe kontra, inilah yang terjadi di Aceh saat ini, ketika sebagian besar rakyat Aceh tidak lagi dapat berjalan bersama dengan para pengemban amanah yang dipilihnya sendiri.
Dalam kunjungannya tersebut, Dr. Husaini menyebutkan bahwa terdapat penyelewengan sejarah oleh para eks kombatan yang menyebutkan bahwa Di dalam struktur yang ditandatangani almarhum Hasan Tiro selaku pemimpin perjuangan GAM kala itu, sama sekali tidak disebutkan adanya Malik Mahmud dalam struktur tersebut. Ia menjelaskan, Nama yang tertulis di dalam dokumen, yang menurut Husaini ditandatangani Dr Hasan Tiro, masing-masing dr Teungku Mochtar Y Hasbi (Majelis Meuntroe merangkap Mendagri dan Menteri Pertahanan Negara Aceh), Tgk H Ilyas Leube (Menteri Keadilan Negara Aceh), dr Husaini Hasan (Sekretaris Negara sekaligus Menteri Pendidikan dan Penerangan), dr Tgk Zaini Abdullah (Menteri Kesehatan), dr Tgk Zubir Mahmud (Menteri Sosial serta Gubernur Wilayah Peureulak), serta Anggota Majelis, Meuntroe Tgk Muhammad Daud Husin (Panglima Angkatan Darat). Dengan landasan itu, ia mempertanyakan mengapa nama Malik Mahmud yang muncul sebagai Wali Nanggroe? (Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/11/30/husaini-mengapa-malik-mahmud?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter). Oleh karenanya, ia menyarankan untuk rakyat Aceh untuk sebaiknya menunda pengukuhan Wali Nanggroe hingga masalah kontroversi Wali Nanggroe selesai dan tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat. (Koran Serambi Indonesia, Sabtu, 30 November 2013).
Hal tersebut tentu dibantah oleh Malik Mahmud selaku Pemangku Wali Nanggroe yang rencananya akan dikukuhkan menjadi Wali Nanggroe dalam waktu dekat, ia menyebut dirinya adalah minister of state yang ditunjuk secara langsung oleh Hasan Tiro (koran Serambi Indonesia, Sabtu 30 November 2013). Sementara itu, Pihak Partai Aceh pun tidak tinggal diam dalam menanggapi kunjungan mantan sekretaris negara GAM tersebut. Walik Ketua Umum Partai Aceh, Abu Razak menyebut bahwa kepulangan Dr. Husaini ke Aceh menebar propaganda untuk memperkeruh ketenangan Aceh (Koran Serambi Indonesia, Minggu 1 Desember 2013).
Bagi saya pribadi, sebagaimana saya pernah tuliskan dalam artikel-artikel sebelumnya, bahwa sejarah merupakan bagian terpenting dalam pembangunan sebuah bangsa, agar tidak lagi terjadi kesimpangsiuran landasan yang menjadi ciri khas dan indentitas penting sebuah bangsa. Di Aceh, saya melihat history lebih merupakan his story. Atau sejarah tidak dilandasi dengan fakta yang jelas sehingga lebih merupakan "ceritanya". Baik itu merupakan cerita Malik Mahmud maupun Husaini sendiri. Sebagai contoh, Malik Mahmud mengaku dirinya sebagai Minister of State yang ditunjuk secara lisan oleh Hasan Tiro, buat saya lho..itu kan katanya Malik Mahmud. Demikian pula dengan pernyataan dari Husaini Hasan yang menyatakan tidak adanya nama Malik Mahmud dalam struktur yang ditandatangani oleh Hasan Tiro, tentu bila ada dokumennya, alangkah baiknya bisa dipublish ke rakyat Aceh agar rakyat Aceh tahu benar sejarahnya.
Oleh karenanya, pelurusan sejarah yang dilengkapi dengan fakta-fakta sejarah yang dibangun atas dasar kejujuran dan pengakuan tulus terhadap perjalanan sejarah Aceh baik oleh pemerintah Aceh sendiri maupun rakyat Aceh, sangat diperlukan. Saya berpendapat lebih baik, kita membayar ahli-ahli sejarah yang hebat dan tentunya independen untuk menyelidiki dan merunut sejarah Aceh secara jelas daripada rakyat Aceh harus (lagi-lagi) terbebani biaya perjalanan dinas para pembuat qanun untuk berkoordinasi sana sini, ataupun membiayai Majelis Adat Aceh (MAA) yang tengah giat melakukan sosialisasi qanun Wali Nanggroe yang belum direvisi, atau biaya-biaya lain yang sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang juga tidak tahu persis sejarah Aceh.
Sejarah adalah bagian dari sebuah perjalanan bangsa yang tidak boleh dicampuradukkan dengan kepentingan-kepentingan maupun kekuasaan. Sebab apabila itu terjadi, maka sejarah hanya akan dimanfaatkan oleh para pemegang kepentingan untuk menjamin kekuasaannya tak terbantahkan.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H