Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kapan Aceh Terbebas dari Aksi Terorisme?

27 Mei 2012   01:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:44 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, Sekretaris Partai Aceh, Syukri Abdullah  bersama seorang sahabat tewas di tangan OTK. Teror kembali terjadi di bumi syariah, Serambi Mekah yang semestinya memberikan kedamaian bagi siapapun yang tinggal di sana. Peristiwa tragis ini menambah panjang rentetan peristiwa terror dan kekerasan di Aceh. Kapankah hal ini berakhir?

Jelang akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, aksi-aksi terror di Aceh makin marak terjadi. Hal tersebut terus terjadi hingga masa kampanye dan pencoblosan pilkada Aceh berlangsung. Menurut catatan Komnas HAM, periode 14 Oktober 2011 sampai dengan 10 Januari 2012 data penembakan dan tindak kekerasan di Aceh terjadi sebanyak 14 kasus dengan jumlah korban 12 orang tewas dan 19 orang luka-luka. Selanjutnya periode Februari sampai April 2012 data peristiwa penembakan dan tindak kekerasan di Aceh sebanyak 30 korban luka-luka, kasus penganiayaan 14 kasus dan pengrusakan harta benda 27 kasus. Polisi sendiri sejauh ini telah berhasil menangkap terduga pelaku serangkaian aksi terror yang terjadi di Aceh yang diperkirakan saling berkaitan antara satu peristiwa dengan kejadian lainnya, sehingga pertanyaan yang muncul adalah “Siapa yang perintah teroris Aceh?”

Dari perspektif historis, kekerasan terjadi sepanjang sejarah umat manusia yang sedang mengalami krisis akibat proses perubahan sosial, politik, ekonomi, atau budaya secara cepat dan radikal. Ketidaksiapan masyarakat mengantisipasi dan merespons perubahan tersebut melahirkan krisis dan berujung pada terjadinya kekerasan, kerusuhan, konflik dan bahkan revolusi. Menurut Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang melakukan pendekatan studi perdamaian dan konflik menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi di era modern merupakan akibat dari proses transformasi masyarakat, dengan kekomplekan tata nilai dan struktur sosialnya, secara cepat dan dipaksakan. Ini semakin diperparah oleh berbagai kebijakan pembangunan yang dikeluarkan pemegang power (modal ekonomi atau kekuasaan) yang tidak memperhatikan emosi, tata nilai, budaya dan kepentingan masyarakat bersangkutan, dan terjadinya pemusatan aset-aset sosial, politik dan ekonomi pada sekelompok orang.

Aceh memiliki persoalan ini. Pasca penandatanganan MoU Helsinki, perdamaian menjadi “cover” dan landasan dari setiap kebijakan yang terkadang menafikan nilai-nilai kearifan Aceh masa lalu yang mengedepankan kaidah-kaidah agama Islam. Ekonomi dan sosial budaya banyak dikuasai secara sepihak oleh kelompok-kelompok eks kombatan yang seolah “menang” perang setelah kesepahaman damai. Mereka menguasai proyek-proyek pembangunan dan bahkan menuntut “pajak nanggroe” secara liar hingga 30% bagi setiap proyek yang berjalan di Aceh. Apabila tidak maka aksi-aksi terror dan intimidasi menjadi “jalan keluar paling efektif” bagi kelompok-kelompok ini. Hal-hal tersebut tentunya menurunkan minat investor untuk menanam modal di Aceh hingga berdampak pada kelambatan peningkatan ekonomi makro Aceh. Pemerintah Aceh pun seolah tutup mata dan menganggap momen-momen tersebut adalah hal yang wajar terjadi pasca konflik. Kerusakan tatanan ini tentunya berdampak pada kehidupan sosial budaya Aceh yang dekat dengan nilai-nilai keislaman sehingga mencemaskan masyarakat Aceh secara umum.

Sedangkan dalam perspektif politik, Arron T Back melihat adanya dua jalur kekerasan: cold calculated violence dan hot reactive violence. Pada jalur pertama kekerasan dijadikan sebagai instrumen mencapai kepentingan politik. Sementara jalur kedua terjadi akibat endapan kebencian (sosial, ekonomi, politik) yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dalam jalur kedua ini kekerasan akan mudah terjadi jika ada pemicunya, meski berupa persoalan sepele. Berkaca pada laporan KOMNAS HAM, aksi-aksi kekerasan di Aceh tampaknya merupakan instrumen untuk mencapai kepentingan politik. Ayah Banta, M. Joni dan Deugok cs maupun kelompok “si mayor” yang bertanggung jawab atas serangkaian pembunuhan dan penembakan di Aceh termasuk yang menewaskan Pon Cagee, mantan petinggi GAM merupakan tokoh-tokoh eks kombatan GAM yang juga merupakan anggota Partai Aceh. Motif politik sangat kental terasa dalam aksi-aksi mereka terutama di saat kematian salah seorang anggota timses pasangan Gubernur Irwandi-Muhyan yang merupakan pesaing utama kandidat dari Partai Aceh. Motif politik selanjutnya beralih dengan menciptakan “motif kebencian” dengan sasaran para pekerja pendatang Jawa demi menciptakan keadaan inkondusif di Aceh untuk menunda pelaksanaan pemilukada dan ternyata hal tersebut berjalan efektif.

Siapa yang Perintah? Kapankah akan berakhir?

Dalam konteks ini, mungkin saja aktor intelektual pelaku terorisme di Aceh adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh, berkuasa dan dikenal oleh masyarakat Aceh secara umum, namun akibat penciptaan keadaan yang demikian hebat dalam lingkungan sosial masyarakat Aceh, menjadikan aktor intelektual tersebut “berkuasa” di luar jalur pemerintahan dan diyakini oleh masyarakat lebih memiliki “kekuatan” daripada jalur yang “resmi”. Siapakah orang/mereka? Kita semua sudah tahu tampaknya, tetapi sama halnya dengan anda semua, saya pun takut membicarakannya termasuk menuliskan namanya, bagaikan Lord Voldermore dalam seri Harry Potter. Kapan ini semua berakhir? Apabila niat dan tujuannya adalah kekuasaan, maka selamanya terror dan intimidasi akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Mengerikan memang, namun demikianlah realitanya. Sebab, kekuasaan absolut selalu berkecenderungan untuk semena-mena dan akan selalu seperti itu.

Harapan besar tentunya terletak di pundak para pemangku kepentingan dan kebijakan keamanan “resmi” yang ada di Aceh saat ini untuk mengungkap berbagai kasus terror dan intimidasi yang terjadi sehingga secara gamblang dan transparan berhasil diungkap ke publik siapa sebenarnya “yang buat kacau Aceh”. Sekaligus langkah yang menimbulkan efek jera tidak saja kepada pelaku terror namun juga para elit yang senang memanfaatkan “jasa” para teroris untuk mencapai kepentingannya secara politik maupun ekonomi. Hanya berada di pundak mereka lah harapan-harapan kita semua digantungkan, seraya berdoa tidak ada “setan-setan ketakutan” yang menghinggapi perasaan para abdi negara ini dalam mengungkap kebenaran.

Semoga.

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun