[caption id="attachment_321831" align="aligncenter" width="560" caption="http://aceh.tribunnews.com/2014/08/31/tuha-peut-pa-dan-eks-tripoli-gelar-pertemuan-tertutup"][/caption]
Sabtu lalu, Tuha Peut yang terdiri dari Malik Mahmud Al Haytar, Zaini Abdullah dan Zakaria Saman melakukan pertemuan tertutup dengan para mantan kombatan alumni Libya (eks Tripoli) di Pendopo Gubernur Aceh. Pertemuan yang berlangsung tertutup ini disebut-sebut sebagai puncak perseteruan antara Tuha Peut dan Ketua PA/KPA Muzakkir Manaf yang juga merupakan Wagub Aceh, yang sering berbeda pendapat dan cenderung menentukan arah tujuan Partai tanpa meminta pendapat para Tuha Peut.
Jika dilihat dari kronologisnya, konflik Tuha Peut dan Mualem berlangsung sejak awal tahun ini ketika dalam rapat pembahasan proyek di Aceh, Gubernur Zaini meminta Mualem untuk mengendalikan proyek-proyek liar di Aceh yang ditangani oleh mayoritas eks kombatan, namun Mualem justru meminta Gubernur untuk mengurus urusannya sendiri seraya meninggalkan ruang kerja Gubernur. Selanjutnya, perseteruan semakin memanas ketika jelang pilpres lalu, ketika Mualem sejak dari awal mendukung pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta (yang ternyata kalah) sementara di pihak lain, Tuha Peut mendukung pasangan nomor urut 2 Jokowi-JK. Selanjutnya, pertemuan-pertemuan berikutnya semakin tidka kondusif antara kedua belah pihak, dimulai dari Tuha Peut mengumpulkan para eks kombatan Tripoli beberapa bulan lalu yang selanjutnya disusul oleh Mualem yang mengumpulkan para eks Tripoli yang disebut-sebut sebagai upayanya menjaga tali silaturahmi dan kekompakan sesama eks Tripoli.
Memang belum ada berita yang menyebutkan isi dari pertemuan Sabtu lalu, namun saya memperkirakan bahwa situasi sulit tengah dihadapi oleh Mualem. Selama ini Mualem dikenal sebagai tokoh karismatik di kalangan eks kombatan karena keberanian dan kedekatannya dengan "anak buah". Karismanyalah yang pada akhirnya mengantarkan dirinya sebagai Panglima GAM saat konflik lalu. Namun tidak dapat ditampik juga bahwa Mualem merupakan salah satu pemuda yang direkrut oleh Malik Mahmud sekitar tahun 1980an untuk disekolahkan ke Libya, dan merupakan cikal bakal awal perubahan perjuangan GAM yang tadinya perjuangan untuk rakyat beralih menjadi perjuangan bersenjata yang membebani rakyat dengan "pajak nanggroe"nya. Secara psikologis, hubungan Mualem-Malik Mahmud tidak dapat diabaikan karena terbilang cukup dekat dan Mualem sendiri adalah "tangan kanan" malik Mahmud selama masa konflik lalu maupun dalam perjalanannya menuju ke tampuk kekuasaan menggantikan Hasan Tiro. Sementara itu, 2 tokoh lainnya, Zaini Abdullah dan Zakaria Saman, Mualem tidak banyak berhubungan karena masing-masing lebih sering berada di luar negeri daripada di Aceh sendiri. Suasana psikologis itulah yang mungkin menjadikan Mualem "lebih loyal" kepada Malik Mahmud daripada kedua Tuha Peut lainnya.
Selanjutnya saya juga memperkirakan bahwa dalam pertemuan tersebut bukan membahas persoalan Aceh apalagi rakyat Aceh melainkan lebih kepada disintegrasi kelompok eks kombatan yang sudah terdengar dan tercium oleh Wali Nanggroe. Oleh karenanya Wali Nanggroe merasa perlu untuk mengambil perannya sebagai "tokoh pemersatu" dalam hal ini untuk menyudahi konflik kepentingan antara "kelompok muda" dan "kelompok tua" di internal PA/KPA. Bahkan bisa jadi, Malik Mahmud mengambil langkah ultimatum kepada Mualem untuk lebih menghormati "kelompok tua" yang pilihannya hanya dua, tetap sebagai Ketua PA/KPA atau dilengserkan.
Sebagai orang awam yang sangat menaruh perhatian besar terhadap kondisi Aceh saat ini, saya tentu mengharapkan bahwa konflik kepentingan yang tak ada gunanya ini segera berakhir dan masing-masing pihak kembali kepada komitmen awalnya untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kelompoknya. Tidak perlulah, membangkit-bangkitkan romantisme masa lalu dengan mengumpulkan alumni-alumni eks Tripoli, buat apa? tidak ada gunanya, toh mereka juga sudah tidak eksis dan secara resmi organisasi yang mewadahinya (GAM) sudah dibubarkan melalui MoU Helsinki.
Lalu, untuk Wali Nanggroe sendiri sebaiknya kembali kepada perannya sebagai "pemersatu" Aceh bukan kelompok-kelompoknya sendiri dan justru ikut tergiring dalam romantisme masa lalu GAM. Wali sebaiknya kembali sebagai milik rakyat Aceh bukan justru milik Partai Aceh, KPA atau apapun namanya.
Saya juga mengharapkan kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk lebih cerdas dalam melihat dan menilai kondisi. Sebagai pejabat negara tidak seharusnya ia mengijinkan pertemuan partai ataupun kelompok di pendopo Gubernur yang merupakan kantor resmi negara. Artinya hanya di kantor itu saja perihal-perihal rakyat menjadi prioritas untuk dibahas, bukan justru kelompok. Coba bayangkan jika pertemuan Partai Demokrat dilaksanakan di Istana Negara?
Demikianlah harapan-harapan saya sebagai warga masyarakat biasa yang masih terdera dari berbagai himpitan ekonomi dan kesejahteraan yang tak kunjung datang. Jangan biarkan kami untuk terus bermimpi dengan janji-janji yang tak kunjung terjadi.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H