[caption id="attachment_322773" align="alignnone" width="700" caption="http://aceh.tribunnews.com/2014/09/05/kodim-0710-pekalongan-sita-ribuan-bendera-gam-dari-penjahit"][/caption]
Jumat lalu, Kodim Pekalongan menyita setidaknya 1200 lembar bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari H. Imam Kamaludin, seorang warga desa Bener, Wira Desa Pekalongan. Dari tangannya aparat TNI menyita setidaknya 1200 lembar bendera GAM yang diakuinya merupakan pesanan rekannya yang masih kerabat yang berada di Pondok Pesantren Gontor dengan jumlah pesanan 5000 lembar.
Situasi ini sontak mengagetkan warga setempat dan bisa jadi merupakan kejadian paling heboh sejak pertengahan 2011 lalu. Juni 2011, warga Pekalongan juga dikagetkan dengan adanya penangkapan teroris Bom Bali I, Kuncoro alias Husen. Menurut sumber kepolisian, Kuncoro diduga kuat bersama Imam Samudera, Mukhlas dan Amrozi terlibat dalam pelatihan militer di Pulau Buru. Ia juga diduga pernah ke Malaysia bersama Dulmatin dan Maulana untuk bertemu Umar Patek. Selanjutnya, tersangka teroris lainnya, Muhammad Sibghotullah dan Yuwardi juga pernah terlibat dalam pelatihan militer di Aceh dan diduga kuat merupakan tersangka pelaku penyerangan anggota Polri di Poso dan pemboman masjid Polres Cirebon.
Kejadian 2011 disusul dengan penetapan Said Ahmad Sungkar, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Pekalongan dalam daftar Teroris Global pada September 2013 oleh Departemen Keuangan AS, karena memiliki hubungan kuat dengan Dulmatin yang merupakan pemimpin tertinggi dan komandan militer Jamaah Islamiyah serta instruktur pelatihan terorisme di Jantho, Aceh Besar.
Kembali kepada penemuan bendera GAM di Pekalongan, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah hubungan antara terorisme dan separatis? dan apakah jaringan terorisme global tengah memanfaatkan isu separatis sebagai jalan masuknya ke Indonesia?
Secara sederhana dan singkat, terorisme dan separatis saya ibaratkan sebagai teman seperjalanan yang saling bantu satu sama lain. Separatisme lebih kepada tujuan utamanya untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang sah sementara terorisme menjadi salah satu jalan/cara yang dipilih untuk mencapai tujuan. Keduanya saling berhubungan dan berkait satu sama lain. Namun terkadang, karena isu terorisme jauh lebih besar dan meng-global maka bukan tidak mungkin isu separatis menjadi "pintu masuk" jaringan terorisme global.
Oleh karenanya, saya menilai penemuan bendera separatis GAM dalam jumlah massive di Pekalongan tersebut, bukan hanya persoalan separatisme semata namun bisa jadi jauh lebih luas daripada itu. Persoalan GAM di Aceh secara resmi berakhir pada Agustus 2005 lalu dengan kesepahaman damai RI-GAM. Namun sejalan dengan perdamaian yang ada, adanya tuntutan sebagian masyarakat yang menginginkan Bendera GAM tersebut dijadikan sebagai sebagai bendera Provinsi Aceh adalah persoalan lain, sebab Pemerintah RI dan Aceh tengah membahasnya secara terus menerus. Di lain pihak penemuan bendera GAM di Pekalongan yang ternyata dipesan bukan dari Aceh menjadi pertanyaan, buat apa? Toh, orang GAM bisa membuat benderanya sendiri di Aceh tanpa harus jauh-jauh ke Pekalongan.
Oleh sebab itu, saya berkesimpulan bahwa adanya aktor lain "yang bermain" dengan memanfaatkan isu separatisme di Aceh yang memang masih sangat rentan sehingga sangat mudah terinfiltrasi oleh berbagai isu dan ideologi seperti ISIS yang tengah "booming" saat ini (http://hankam.kompasiana.com/2014/08/05/bisa-jadi-aceh-menjadi-pintu-masuk-isis-ke-indonesia-667233.html).
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H